Layar Perak di Pantai Barat Donggala (2)

Pernah menonton film Janji Joni? Inilah film yang bertopik bioskop yang menjadi awal dari kritikus film Joko Anwar menjadi filmaker. Janji Joni menjadi pertaruhan Joko Anwar menempuh dunia perfilman secara kaffah. Dan, itu dimulai dari film bertopik bioskop lewat pandangan seorang pengantar rol film bernama Joni yang diperankan oleh Nicholas “Rangga” Saputra.

Saya menonton film Janji Joni ini pada medio 2005 persis di bioskop yang menjadi lokasi pengambilan gambar, bioskop Metropole, Jakarta Pusat. Apa yang saya bayangkan saat film ini terus berputar?

Ya, sosok semacam Joni itu pernah menyertai dan membekap imajinasi saya jelang remaja.

Tepat di titik ini, saya ingin melihat jejak layar perak di Pantai Barat dari sudut pandang pembawa rol yang selama dua dekade berusaha menepati janji bahwa film diputar “tepat waktu”.

Bukan saja soal itu, dari suara pembawa rol itu kita bisa mendapatkan sekaligus sejarah jalan raya, moda kendaraan, infrastruktur jembatan, dan tentu saja jalan panjang bagaimana rol itu sampai di bioskop desa.

Mari kita mulai dari istilah “pembawa rol”. Istilah ini merujuk kepada sosok yang mengantarkan rol dari satu bioskop ke bioskop yang lain. Namun, dalam perkembangannya, istilah ini mengalami perluasan makna.

Untuk menyebut tokoh jagoan atau protagonis dalam cerita film, orang Pantai Barat kerap menamainya “pembarol”. Ya, pembawa rol. Si jagoan itu, ya, “pembarol”. Sementara itu, si pembawa rol mereka namakan “pembawa kaleng”. Sebab, rol itu ditaruh dalam wadah kaleng. Sudah jelas sampai di sini?

Pembawa kaleng yang berisi rol itu adalah jagoan karena ia menjadi salah satu nadi penting berputarnya sebuah film di banyak bioskop dalam suatu waktu. Di Pantai Barat, terdapat lima bioskop yang mesti diputar secara bersamaan dalam satu malam dengan hanya satu rol film. Untuk itu, pembawa rol atau “pembawa kaleng” menjadi sangat signifikan untuk membawa secara estafet rol-rol itu.

Di Pantai Barat Donggala, terdapat lima gedung bioskop di lima desa dalam tiga kecamatan. Bioskop Mustika itu terdapat di Kecamatan Balaesang (Desa Labean), Sirenja (Desa Tompe, Tanjung Padang, Tondo), dan Sindue Tobata (Desa Oti). Semua bioskop itu diputar serentak di malam hari. Bioskop di Desa Labean paling ujung utara hingga Oti yang paling selatan.

Bagaimana agar film bisa diputar tepat waktu? Di sinilah pentingnya posisi pembawa kaleng film itu. Salah satu pembawa kaleng legendaris di Pantai Barat adalah Irfan. Sosok yang kerap disapa dengan Ripo ini sudah menjadi pengantar kaleng film sejak 1982 hingga bioskop di Pantai Barat kukut pada 1996.

View post on imgur.com

Ripo lupa bagaimana Haji Nawir, si juragan bioskop Mustika, mempercayakan kepadanya untuk mengantar kaleng-kaleng film itu. Bisa jadi, Ripo di tahun itu sudah memiliki motor Honda CB 125. Selain itu, ia memiliki keahlian sebagai montir.

Tentu saja, Ripo tidak sendirian dalam praktik estafet kaleng film di lima bioskop itu. Ia punya tiga rekan yang lain, yakni 3B: Burhan, Bohar, Bembe. Sebagaimana lari estafet dalam dunia atletik, keempat orang inilah yang menjadi pengantar film dalam satu malam. Demi film, demi penonton.

“Kami biasanya berunding, siapa yang duluan lari. Kalau saya tidak ada keperluan sehabis magrib, saya langsung ke Labean menunggu kaleng satu dan dua selesai diputar,” kisah Ripo.

Show di bioskop Mustika Labean diputar pukul 19.00, yang disusul Mustika Tompe satu jam kemudian. Maklum, perjalanan dari Labean ke Tompe mesti melintasi satu gunung dan jalanan penuh lubang. Giliran Mustika Tanjung Padang 20.30 dan disusul Mustika Tondo yang terkadang dimulai pukul 21.00 atau 21.30. Mustika Oti yang mendapat giliran paling akhir: 23.00.

Ingat, karena hemat dana, hanya satu kopi film yang diputar untuk lima bioskop itu. Pun jika ada, biasanya Mustika Labean dan Mustika Oti memutar film yang berbeda. Artinya, tidak diperlukan kerja estafet dari para pembawa kaleng. Namun, ini jarang terjadi. Sebab, seusai diputar, film-film itu dikembalikan lagi ke Kota Palu untuk selanjutnya dioper kembali ke hulunya di Makassar dan berlanjut ke Jakarta, rumah muasalnya.

Bagi Ripo, hanya satu yang ada di pikirannya ketika menjadi pembawa kaleng, penonton tidak kecewa karena film terputus lantaran kaleng datang telat.

Oleh karena itu, sebagai pembawa kaleng, dua syarat wajib yang dipegang Ripo. Satu, fisik harus kuat. Kedua, motor mestilah fit untuk selalu gaspol. Kecepatan motor tinggi di jalan desa berlubang-lubang dan tidak dialiri listrik, membutuhkan fisik yang sangat prima.

Hujan bukan halangan buat datang terlambat. Maklum, di Pantai Barat setiap pengendara tidak punya “tradisi” memakai mantel hujan. Tradisi itu berlaku hingga cerita ini ditulis. Jika hujan lebat, kaleng-kaleng itudibungkus plastik, dimasukkan dalam jaket. Dan, tiba ke bioskop, si pembawa kaleng basah kuyup.

Satu-satunya yang membuat pengantar kaleng seperti Ripo ini memakai “mantel” darurat adalah saat Gunung Colo di Pulau Una-Una, Teluk Tomini meletus pada 1983. Lantaran cakrawala bermandi debu dan bioskop harus terus hidup, jalanan yang pekat abu itu mesti ditembus Honda CB 125. Beberapa tahun kemudian motor ini diganti dengan Enduro dengan warnanya yang khas: kuning.

Derita kecil paling sering dialami adalah saat ban motor bocor. Mestinya, ini sudah diantisipasi siang hari jika ban motor sudah botak. Namun, misteri di jalan yang rusak parah selalu tak bisa diprediksi.

Jika ban bocor dan tentu saja tidak ada jasa “si penempel ban” di pinggir jalan, solusinya adalah menunggu pengantar estafet berikutnya. Film otomatis berhenti berputar yang membikin penonton berhamburan keluar bioskop untuk menunggu dan sekaligus menghirup udara segar.

Maklum, lantai bioskop adalah tanah, tidak dikeraskan dengan semen aci. Juga, tidak ada jamban di dalamnya. Debu dan aroma kencing bersekutu menghasilkan udara yang pesing dan pengap.

“Paling menderita kita kalau musim barat tiba. Hujan lebat yang membuat kuala (sungai) banjir. Nandasa!” cerita Ripo.

Ripo memberitahu dua kuala paling berbahaya yang harus mereka lintasi di malam gelap-gulita itu. Maklum, belum dibangun jembatan. Sungai Tompe yang luas dan kuala Lero yang sangat deras.

Jika banjir datang, tidak ada jalan lain kecuali harus menunggu. Saat itulah, lanjut Ripo, tim estafetnya harus menunggu. Dan, jam putar bioskop menjadi sangat telat. Dan, ini tentu saja soal waktu yang terus merambat di mana malam makin malam.

“Pasang telinga saja dimaki-maki penonton yang kecewa. Bagaimana lagi, mau ditembus kuala yang meluap, bisa hanyut kita bersama motor dan film,” imbuh Ripo.

Tak pernah dilupakan Ripo, bagaimana ia nekat menyeberangi kuala Lero yang tak seberapa luasnya itu, tetapi airnya sangat deras.

Lero adalah dua dusun terakhir sebelum sampai di bioskop terakhir, Mustika Oti. Motor Enduro dengan warna kuning khasnya terjungkal karena menabrak sebongkah batu besar. Kaleng terpental. Sekira satu jam dalam gelap malam itu ia mencari kaleng film yang tercecer. Keterlambatan itu, selain membuat baju Ripo basah, film pun diputar pukul 12 malam.

Derita Film India

Saat mengetahui hari itu film India diputar, lemaslah para pembawa kaleng film ini. Artinya, mereka bakal pulang pagi. Film India memerlukan sebelas kaleng. Bandingkan dengan film Indonesia atau Hongkong yang hanya 5 atau 6 kaleng. Kecuali film Pengkhianatan G30S/PKI butuh 16 kaleng.

Estafet pertama biasanya membawa dua rol film, lalu disusul estafet kedua tiga rol, tiga rol, dan terakhir juga tiga rol. Film India terkenal dengan durasinya yang panjang. Tentu saja, bukan hanya si pembawa kaleng yang menderita lahir batin, tetapi juga penonton. Terutama, yang terkena giliran terakhir pemutaran di Mustika Oti.

“Penonton keluar bioskop setelah azan salat Subuh. Dan, kami berempat pulang ke rumah masing-masing saat matahari sudah kelihatan,” papar Ripo.

Keempat pembawa kaleng film itu biasanya bertemu di bioskop Mustika Oti. Jika memungkinkan, mereka menonton film yang mereka bawa. Namun, mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berbicara di luar bioskop tentang apa saja. Atau, langsung terkapar tidur. Minat menonton biasanya sudah habis karena keletihan.

Ripo dan ketiga rekannya mesti pandai-pandai mengalkulasi tenaga. Jika tak bisa mengatur irama, mereka bisa habis lebih cepat. Sebab, setiap hari tanpa ada jeda satu hari pun film diputar.

Dan, mereka tetap berdoa, film India tidak terlalu sering diputar. Namun, harapan itu sirna lebih cepat. Sebab, film jenis ini menjadi salah satu film yang paling banyak muncul di lima bioskop itu. Industri film India memang sangat royal mengeluarkan judul. Walhasil, sepekan bisa tiga judul film India diputar.

Dua Show dalam Semalam

Derita lain muncul jika film Rhoma Irama muncul. Nama ini adalah magnet bagi penonton. Saat nama ini diumumkan Arsyad pada siang hari, giranglah orang-orang desa. Tua muda. Petani, guru, dan bahkan siswa semuanya bergembira menghabiskan semalam suntuk mendapat siraman ruhani sekaligus musik dangdut dari Bang Haji.

Artinya, ini saatnya juragan bioskop Mustika panen uang karcis. Disebut panen karena bioskop akan membeludak. Jika begini suasananya, show dilakukan dua kali dalam semalam.

Yang pusing adalah para pengantar kaleng. Artinya, mereka bekerja dua kali; mengukur jalanan dari Labean ke Oti dan balik lagi. Jika pertunjukan pertama dimulai pukul 19.00 di Mustika Labean, pertunjukan kedua dimulai pukul 10 malam. Artinya, bioskop paling akhir, Mustika Oti, show kedua dimulai pukul, ya, tidak salah, pukul tiga pagi. Sinting!

Penonton kabur? Tentu saja tidak. Yang tidak mendapatkan karcis show pertama rela menunggu di luar dengan karcis show kedua di tangan.

Para penonton ini sudah tahu risikonya bakalan menghabiskan malam di lingkungan bioskop bersama gade dan segala macam burasa, lalampa, kacang, buah lonja, durian yang dijual ina-ina sepanjang jalan masuk bioskop.

Yang menakjubkan, film yang dibintangi Rhoma Irama itu ada 26 judul dalam tiga dekade yang nyaris semuanya pernah diputar di lima bioskop Pantai Barat Donggala ini dengan sistem dua kali show.

Selain film Rhoma, film yang potensial mendapatkan jatah dua kali show adalah film yang pernah muncul versi serial sandiwaranya di radio. Gelombang sandiwara radio Ramayana yang disiarkan dari pusat pertokoan Palu itu juga sampai di radio-radio warga Pantai Barat. Tidak salah lagi, film seri pertama Tutur Tinular dan Saur Sepuh membikin bioskop menjadi lautan manusia.

Mereka yang Berkeringat di Belakang Layar

Ripo mengaku nyaris tidak pernah menonton secara utuh film yang dibawanya. Betapa tidak, mereka hanya membawa kaleng sesuai jatah estafet.

Belum lagi, mereka harus menghemat tenaga. Jika film sedang diputar, mereka umumnya menunggu film itu habis diputar dengan jalan tidur di atas balkon berdekatan dengan ruang si pemutar film.

Untuk itu, Ripo sangat hafal siapa saja pemutar proyektor di lima bioskop itu. Lengkap dengan nama penjaga bioskop. Dua bagian itu berurusan langsung dengan pekerjaan pengantar kaleng. Wajah yang pertama ditemui di pintu bioskop adalah sang penjaga. Lalu, ia membawa kaleng-kaleng itu naik ke balkon bioskop.

Di Mustika Labean, tutur Ripo, ada Husen yang ditugaskan sebagai penjaga dan kamar proyektor dipercayakan kepada Hali. Mustika Tompe dipegang duo Ahmad yang masing-masing sebagai penjaga pintu dan proyektor.

Di Mustika Tanjung Padang, selain sebagai penjaga, Arsyad juga dipercaya menjadi publisis. Sementara, ruang proyektor dipegang Amrin.

Yuwang dan Saha masing-masing menjadi penjaga dan pemutar proyektor di Mustika Tondo. Adapun di Mustika Oti dipegang Liong sebagai penjaga dan Kusman yang berada di kamar proyektor. Nama Liong ini kerap ditugaskan menjemput kaleng film di Kota Palu.

“Sebelum Mustika ditutup seluruhnya karena tidak ada lagi penonton, selama dua tahun saya ditunjuk menjadi penjaga bioskop Mustika Oti menggantikan Liong,” pungkas Ripo atau kerap disapa Papa Ari.

Kisah dari sadel motor Ripo dan kawan-kawannya ini adalah cerita betapa jauh sebuah kopi rol film diputar. Ini bukan sekadar hiburan, namun sejarah kebudayaan pop lengkap dengan seluruh imajinasi yang dipancarkannya dibangun hingga di bioskop-bioskop desa.

Ripo dan kawan-kawan se-etafetnya menjadi salah satu sekrup penting dalam cahaya penuh warna yang dipancarkan proyektor-proyektor pembawa hiburan di desa-desa yang terus bermimpi malam-malam mereka diguyur cahaya lampu penerang pikiran. Dan, bioskop menjanjikan cahaya ajaib itu. Juga, suara sepeda motor mereka yang berlari membelah malam biru dihapal oleh warga bahwa pintu bioskop telah dibuka.

Kini, suara itu, cahaya itu telah sirna dari Pantai Barat Donggala.***

Bioskop Mustika Tondo (sekarang masuk dalam wilayah Desa Ujumbou setelah pemekaran). Tertinggal bekas pondasi dan dikelilingi pohon-pohon sawit. Foto: Marwia

 

* Pertama kali dipublikasikan di Harian Mercusuar (Palu), 19 dan 20 Desember 2019