Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih akrab dipanggil Gus Baha dari Narukan, Kragan, Rembang mengutarakan unek-uneknya soal ngaji kitab. Ia bilang, ketimbang pengajian umum, digalakkan kembali pengajian kitab. Dengan seorang pemandu yang otoritatif, sebuah kitab dibaca secara perlahan-lahan; dari kalimat per kalimat, dari paragraf ke paragraf; dari halaman ke halaman.
Apa yang digelisahkan Gus Baha itu saya takzimi sebagai cara persentasi sebuah buku kepada publik. Pengajian yang membutuhkan seorang penceramah dengan kecakapan seorang aktor monolog di atas panggung pertunjukan (artikulasi suara, gerak, tata cahaya, dan manajemen waktu) berbeda dengan pengajian yang dirindukan Gus Baha untuk digalakkan kembali di dunia pesantren. Ia merindukan intensitas, konsentrasi, kelambatan, kedalaman, refleksi dengan dipandu seorang yang memiliki otoritas atas buku yang disajikan.
Gus Baha memberi jalan keluar dengan kembali metode klasik bagaimana menghidupkan buku dalam kalbu masyarakat. Alih-alih berkampanye untuk membaca buku dalam pengertian melakukan drop buku sebanyak-banyaknya ke desa-desa agar akses bacaan kepada “masyarakat awam” terbuka, Gus Baha itu memberikan metode membaca.
Kita tahu, buku/kitab adalah benda yang elitis. Menjangkau kedalamannya pun butuh sebuah tindakan-tindakan yang khas: waktu luang, perangkat pengetahuan, ketahanan fisik, konsentrasi, dan seterusnya.
Buku dan segala dunianya merupakan dunia kaum terpelajar, dunia “kelas elite”. Di abad 10, hanya kelas tertentu yang memiliki akses kepadanya, kaum pujangga, kaum brahmana. Nah, untuk menghubungkan buku dengan publik, diselenggarakan “pengajian” di malam-malam tertentu, terutama malam purnama. Buku dibacakan, publik mendengarkan dan menyimak. Praktik semaan pertama itu berlangsung pada 14 Oktober 906 M di Kediri.
Poin utama yang ingin saya sampaikan, sejak awal, kultur buku ini adalah kultur yang elitis. Sepenuhnya, kultur ini milik kaum terpelajar yang irisan jumlahnya sangat sedikit dibandingkan kelas masyarakat lainnya seperti petani, buruh, nelayan, dan seterusnya.
Buku adalah adonan padat dari budaya pemikiran, budaya intelektual. Oleh karena itu, hanya kalangan tertentu saja yang bisa mengaksesnya secara lebih baik. Suatu kelas yang sejak dini dibiasakan dan dipersenjatai dengan perangkat ilmu tertentu untuk masuk ke dalamnya.
Sebab, membaca itu bukan perkara mudah. Bukan soal rajin dan malas. Ia meminta pengorbanan banyak hal dan menyaratkan banyak perkara. Membaca buku juga bukan soal cepat dan lambat, melainkan “keikhlasan” untuk masuk dalam jeratan sebuah dunia yang nonrealitas, sebuah diskursus.
Dengan tesis seperti itu, saya sejak lama gelisah dengan kampanye menyuruh masyarakat awam untuk rajin membaca buku dari kalangan pegiat literasi. Bukan kelas itu, bukan kelas petani, buruh, nelayan yang didekatkan dengan buku, melainkan kelompok kecil yang potensial menjadi “kelas elite”, yakni kelompok terpelajar, guru, dosen, fasilitator pendidikan masyarakat, mahasiswa. Kelompok-kelompok ini memiliki syarat minimal untuk masuk dalam dunia buku: kemelekan literasi dasar, waktu luang, berpikir abstrak, dan seterusnya.
Hentikanlah mengajak dan berkampanye membaca buku di desa. Apalagi, bikin perpustakaan di desa yang mengganjili perpustakaan di sekolah. Itu hanya menjadi rumah hantu dan buang-buang uang hasil pungutan pajak. Itu proyek salah sasaran. Sasaran utama proyek membaca buku adalah melatih dan berkampanye di kalangan yang paling potensial dengan kultur buku yang sudah saya sampaikan di paragraf-paragraf atas. Latihlah secara habis-habisan, misal, para guru untuk memiliki habit dasar atas kultur buku. Kebiasaan sang guru itulah yang menular kepada anak didiknya.
Jadi, pegiat literasi yang potensial itu sesungguhnya guru. Anggarkanlah dana semaksimal mungkin untuk pengembangan kapasitas mereka. Dalam hal ini, hidup dalam kultur buku.
Jikapun ada usaha mendekatkan buku kepada publik, ubah metodenya. Metode yang diberikan para elite masa silam yang dibahasakan kembali Gus Baha dari Rembang bisa dijadikan pilihan. Bukan kuantitas buku, melainkan kedalaman. Satu buku yang dibaca selama setahun atau dua tahun tidak mengapa asal dilakukan secara intensif.
Diterbitkan pertama kali oleh harian Fajar (Makassar), 16 Februari 2020