Semangat Literasi Ternate: Wallace, Nuku, Buku

Ternate Book Festival yang diselenggarakan di Kota Ternate selama sepekan, 10-16 Februari, merupakan festival buku pertama yang datang dari generasi baru dengan pembiayaan secara kolektif antarkomunitas yang berjejaring. Dari fakta itu saja, TBF menjadi gelanggang energi baru yang menjanjikan.

Ada semacam kerinduan masa silam yang saya rasakan saat antusiasme itu diberikan peserta dalam dua kali diskusi sehari jelang Hari Valentine tiba.

Spirit riset Alfren Russel Wallace dan literasi armada maritim yang dihelat sang kapitan patriotik Nuku. Jazirah Maluku yang bergemuruh ini sekaligus berhimpitan dengan fakta sebagai bumi buangan bagi tokoh pers Indonesia awal, Tirto Adhi Soerjo, pemingitan tokoh pergerakan politik macam Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, serta kamp kerja paksa bagi ribuan cendekiawan kiri.

Pada Wallace, anak-anak Maluku, terutama Ternate, mewarisi daya budi tentang keteguhan berjalan di atas titian pengetahuan. Wallace, bukan sebuah kebetulan, memilih Ternate sebagai tanah kesaksian lahirnya sebuah surat legendaris di ranah ilmu pengetahuan yang kita kenal dengan Teori Evolusi.

Surat dari Ternate, juga tulisan tangan Charles Darwin, sebagaimana diulas dengan sangat bagus oleh Sangkot Marzuki saat majalah Tempo mengumumkan 100 Teks Paling Berpengaruh pada 19 Mei 2008, dibacakan di hadapan forum perkumpulan ilmuwan di Inggris pada 1 Juli 1858, Linnean Society. Di situlah nama keduanya, Wallace dan Darwin diumumkan sebagai co-discoverer atau penemu bersama Teori Evolusi.

Tesis utama Surat dari Ternate yang didapatkan Wallace saat ia terkapar di lembah Gamalama karena serangan malaria adalah individu yang sehat terhindar dari penyakit. Mereka yang tercepat, terkuat, dan tercerdik terhindar dari musuh. Individu yang inferior akan mati lebih dahulu, sedangkan superior bertahan. The fittest would survive.

Namun, Wallace terlupakan dalam narasi teori evolusi. Ia “termangsa” oleh teori itu sendiri lantaran ia penjelajah muda partikelir, bukan pula dari kalangan kaya pula. Semangat riset tanpa batas dan keteguhan jiwanya justru bisa kita jadikan spirit membangkitkan literasi Ternate yang surut dan terlupa. Surat dari Ternate adalah warisan agung menjadi traktat literasi bagaimana pengetahuan dimuliakan oleh anak muda. Surat dari Ternate ditulis Wallace saat berusia 35 tahun.

Jika Wallace kita diajak memperteguh daya budi pemuliaan pengetahuan dengan kerja riset, pada Pangeran Nuku van Tidore kita mewarisi kepemimpinan mempertahankan teritori daya alam. Nuku, kita tahu, selain seorang laksamana perang laut, adalah pembangkang yang liat terhadap korporasi transnasional bernama VOC.

Sang kapitan yang wafat pada permulaan awal abad 19 itu mengorganisasi pembangkangan bersama persekutuan nelayan-nelayan pesisir antarpulau melawan kekuatan raksasa yang menganeksasi, tidak saja alam, tetapi juga penghancur hayat dan kedaulatan tanah dan air. Nuku sang pahlawan nasional ini adalah sumur penting dari mana kita mencari teladan dari masa silam bahwa bentang alam dari jazirah Almulk merupakan rumah bagi keragaman hayati atau biodiversitas. Apa yang dijaga dengan segenap-genap daya oleh Nuku dan panglima-panglimanya di segala titik pesisir adalah pemuliaan alam atas eksploitasi perusahaan jahanam bernama VOC.

Kita tahu, sang pangeran yang gagah berani ini “kalah”. Kalah tidak sama dengan menyerah. Kalah adalah konsekuensi dari patriotisme yang sudah dilantangkang.

Tiga puluh tahun setelah Pangeran Nuku kalis dari perairan Maluku lewat “Perang Kora-Kora”; saat VOC mengangkat sauh dan melanjutkan aneksasinya di tanah yang dijuluki Jawa Dwipa, muncul patriot lain bernama Pangeran Diponegoro.

Diponegoro adalah generasi patriotik pasca-Nuku. Diponegoro melahirkan Perang Jawa yang monumental dan sekaligus dikenal dengan pembangkangan petani yang diorganisasi oleh sosok yang oleh pengikut setianya yang kebanyakan petani dipandang sebagai Ratu Adil. Java Oorlog yang berlangsung selama lima tahun itu disebut-sebut nyaris membangkrutkan VOC.

Akhirul Kalam, pada Wallace dan Nuku, mari kita berhikmat, terutama ikhtiar mencintai pengetahuan dan mencintai alam sekaligus. Wallace mengumumkan kepada ilmuwan dunia betapa Maluku adalah rumah bagi kehidupan hayati yang kaya dan endemis lewat riset yang sangat panjang dan menjadikan Ternate sebagai tanah air bagi kelahiran kertas ilmu bernama Surat dari Ternate.

Sementara, Nuku mengumumkan kepada segenap rakyatnya untuk mengorbankan apa saja menjaga sepotong surga yang di lingkup ilmuwan dunia disebut Garis Wallacea.

Membaca dua nama itu dalam konteks literasi–jika kita secara serius mengerjakan proyek peradaban ini–membuat kita memiliki pegangan mau ke mana bandul literasi Ternate bergerak. Dan, bagaimana literasi kritis melangkah untuk memecah kebekuan dan sekaligus memberikan pencerahan bagi semua yang hidup hari ini.***

Pertama kali diterbitkan oleh falajan.com, 17 Februari 2020. Esai ini disampaikan dalam Ternate Book Fest 2020 di Auditorium Dhu’afa, Kota Ternate, 13 Februari 2020.