“40 Hari Khalwat” dalam Masa Pandemi

Betapa tidak mudahnya mengimbau masyarakat yang sudah berkembang biak di kota untuk tinggal di rumah dalam waktu sekian hari selama masa api pandemi ini membantai populasi dalam sebuah operasi yang dingin dan senyap.

Bukan tidak peduli dengan makin menukik ke atas kurva mereka yang terkontaminasi dan meninggal dunia. Bukan pula mereka tidak tahu kabar teramat buruk tentang kematian yang memilukan di berbagai belahan dunia.

Namun, praktik pengucilan diri itu tidaklah mudah. Apalagi, itu dilakukan secara serentak, tergesa-gesa. Mustahil. Kecuali lewat koersi. Lewat pengerahan aparatus militer.

Mengucilkan diri dengan kesadaran penuh itu sesungguhnya praktik spiritual. Sebuah panggilan untuk tujuan tertentu. Misalnya, sebuah pendakian untuk mendapatkan pencerahan diri. Atau, menghasilkan karya-karya tertentu.

Di masyarakat, praktik uzlah ini, praktik khalwat ini, bukan praktik yang normal. Uzlah itu kegiatan pengasingan diri, pengucilan diri, pengisolasian diri, menyendiri yang disadari. Lihat kata-kata itu. Saya ulangi lagi: “asing”, “kucil”, “isolasi”, “sendiri”. Semua berkesan negatif, berkesan sama sekali tidak asyik.

Mereka yang uzlah adalah rela merasakan pendakian yang sakit. Sakit secara fisik karena pastilah mengurangi kontak dengan segala yang disenangi tubuh, seperti makanan dan hiburan. Sakit secara psikis karena akan digunjingkan oleh tetangga lantaran tidak gaul, tidak bersosialisasi. Intorover.

Betapa sakitnya jalan para ahli tarekat yang menjalani hidup dalam uzlah yang ekstrem untuk memburu pencerahan budi. Atau, para penyair dan prosais yang memburu kedalaman kata dan kisah dengan hidup menyendiri berbulan-bulan dalam menulis. Atau, pelukis yang melewati ratusan hari sendirian tanpa berkomunikasi dengan orang lain dalam studio dengan bau cairan kimia dalam puluhan botol cat.

Ada satu buku yang sangat bagus mencoba menerobos rasa sakit dari praktik pengucilan diri itu. Ditulis seorang psikolog. Michaela Ozelsel nama penulisnya. 40 Hari Khalwat sesungguhnya buku lama. Namun, membacanya dalam pandemi ini bisa diandalkan sebagai penguat jiwa bahwa praktik pengucilan itu sakit, tetapi itu mesti diterobos.

Ozelsel tidak memilih goa di ceruk bukit atau pegunungan sebagai tempat khalwat. Dalam observasi ini, ia mengunci diri di sebuah apartemen yang minim perabot dan nyaris tak ada makanan. Buku yang dibaca pun terbatas. Kitab suci dan puisi Rumi, antara lain. Kamar dikunci dari luar. Makanan dipasok dari luar dalam ukuran yang sangat terbatas yang sekadar cukup untuk menegakkan punggung. Dalam 24 jam, makanan datang hanya sekali.

Di hari pertama hingga sepuluh, tubuh yang dikucilkan dari dunia luar yang dinamis itu bereaksi keras. Berisiknya luar biasa. Kepala nyaris pecah oleh raungan berisiknya.

Di sepuluh hari kedua, suara itu perlahan-lahan bisa dikendalikan. Keterpisahan dari angin ribut dunia luar membutuhkan perjuangan yang tak terpermanai. Saat kendali sudah di tangan, pikiran bisa dibawa untuk fokus dan menerima segala keterbatasan yang ada.

Adaptasi itu diperlukan untuk memasuki sepuluh hari yang ketiga. Sebuah masa menuju tangga pencerahan. Ego telah digebuk. Yang tersisa penyerahan diri.

Dan seterusnya, dan sebagainya.

Jika buku ini ada di rak bukumu, cobalah turunkan ia. Bacalah perlahan-lahan. Syukur-syukur bisa dijalankan dalam arus pasang pandemi ini.

Mereka yang diisolasi secara ketat karena infeksi Covid-19 atau berstatus sebagai pasien dalam perawatan (PDP) maupun orang dalam pengawasan (ODP) semoga diberi ketabahan menjalani jam demi jam kehidupan yang tidak mudah dan tak pernah disangka-sangka itu terjadi dan menimpa seperti saat ini.

Sekali lagi, terisolasi, terterungku, terkucil bukan perkara mudah. Apalagi, peristiwa ini terjadi karena dipaksa oleh sebuah pandemi. Namun, apa pun itu, niatkanlah keadaan ini untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi.

Buku terbitan Pustaka Hidayah berjudul 40 Hari Khalwat ini saya rekomendasikan untuk dibaca bagi yang belum membacanya. Atau, dibaca sekali lagi bagi mereka yang sudah pernah menyelesaikannya.***