Sapiens Bangkrut oleh Makhluk Renik yang Hidup Beberapa Jam pun Butuh Inang

Yuval Noah Harari. Dalam satu dekade terakhir namanya menjadi sangat terkenal karena gaya berpikirnya yang holistik, berspektrum luas. Alih-alih membahas topik-topik kecil, irisan pengetahuan yang terfragmentasi, Harari justru memasuki alam raya kehidupan. 

Jika sejarawan bertungkus lumus dengan sejarah tokoh ini, kota ini, periode ini, episode itu, Harari justru memasuki sejarah umat manusia, mengisahkan peradaban arkaisdan gemuruh kehidupan bumi jutaan tahun silam.

Ketika para cendekiawan makin malas membahas soal holistik seperti itu, Harari datang. Dan, ia disambut. Orang merindukan posisinya dalam orbit semesta: dulu dan sekarang. Harari memberi obor untuk rasa keingintahuan yang berpendar-pendar itu.

Namun, tidak mudah membaca buku Harari. Bukan karena bahasa dan retorikanya yang njlimet, tetapi buku yang ditulisnya itu membutuhkan waktu yang sangat lambat untuk bisa mengunyahnya.

Waktu yang lambat itu kini datang dan hadir dalam benggala kehidupan manusia di bumi. Covid-19 membuat arus lalu-lintas hidup berjalan sangat lambat untuk tidak menyebutnya padam sama sekali. Kota-kota pusat segala gerak Homo sapiens tiba-tiba berhenti berdetak. New York, Berlin, Paris, London, Roma, Madrid, Tokyo, Shanghai, Seoul, Teheran, Riyadh, Kairo, Istanbul, Bangkok, Jakarta punya ciri yang sama: kota senyap tak berdentang.

Semua Sapiens seperti hewan berakal yang digiring masuk kandang oleh majikan besar yang justru berukuran tak kasat mata.

Dalam kandang-kandang kecil itulah, waktu menjadi sangat lambat. Perlahan-lahan keinginan megalomaniak dicopot satu demi satu dari kepala yang ambisius.

Dalam bahasa pemangku bidang komunikasi Republik, “Plus, netijen, jangan boros pulsa”. Pulsa dan listrik, kini, adalah dua energi tersisa yang membikin impi-impi megalomaniak Sapiens masih menyala(k). Selebihnya adalah raga yang bergerak sangat terbatas dalam petak kecil hak miliknya bernama rumah.

Dalam kondisi seperti inilah buku Harari berjudul Sapiens bisa diselesaikan dengan renungan yang membekas. Terutama, dalam enam paragraf pilihan saya berikut ini:

(1) Revolusi sains … hlm. 298 

Revolusi sains bukanlah revolusi pengetahuan. Di atas segalanya, revolusi sains adalah revolusi ketidaktahuan. Penemuan besar yang meluncurkan revolusi sains adalah penemuan bahwa manusia tidak mengetahui jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan mereka yang terpenting. 

(2) Sains dan imperium … hlm. 332 

Apakah kapal James Cook suatu ekspedisi sains yang dilindungi oleh kekuatan militer, ataukah ekspedisi militer dengan beberapa orang ilmuwan yang menumpang? Itu seperti menanyakan apakah tangki bensin separuh kosong atau separuh penuh. Dua-duanya sekaligus. Revolusi sains dan imperialisme modern tidak bisa dipisahkan. Orang-orang seperti Kapten James Cook dan ahli botani Joseph Brankas tidak bisa membedakan sains dan imperium. Tidak pula Truganini yang malang. 

(3) Ilmuwan dan penakluk … hlm. 362 

Para ilmuwan telah menyediakan pengetahuan praktis, justifikasi ideologis, dan teknologi bagi proyek imperium. Tanpa sumbangan itu, orang Eropa belum tentu bisa menaklukkan dunia. Para penakluk membalas budi dengan menyediakan informasi dan perlindungan untuk para ilmuwan, mendukung segala macam proyek aneh dan menarik, dan menyebarkan cara berpikir saintifik ke sudut-sudut jauh bumi. Tanpa dukungan imperium, rasanya sains modern mustahil bisa berkembang sejauh ini. 

(4) Kue Sapiens yang habis … hlm. 398 

Bisakah kue ekonomi bertumbuh tanpa batas? Setiap kue membutuhkan bahan mentah dan energi. Para peramal kehancuran memperingatkan bahwa cepat atau lambat, Homo sapiens akan kehabisan bahan mentah dan energi di planet Bumi. Kalau sudah begitu, apa yang terjadi?

(5) Sapiens jatuh … hlm. 499 

Tujuh puluh ribu tahun silam, Homo sapiens hanyalah hewan tak penting yang sibuk sendiri di sudut Afrika. Dalam milenium-milenium berikutnya Homo sapiens mengubah dirinya sendiri menjadi penguasa seluruh planet dan teror ekosistem. Kini, Homo sapiens nyaris menjadi Tuhan, hampir menggapai bukan hanya kemudaan abadi, melainkan juga kemampuan ilahi untuk menciptakan dan menghancurkan. 

(6) Lenyapnya gen pertapa … hlm. 462 

Garis keturunan genetik seorang pertapa yang bahagia akan punah sementara gen sepasang orang tua yang pencemas terbawa ke generasi berikutnya. 

Enam paragraf dari Harari itu tampak sangat menyakitkan. Sapiens yang ilmuwan berkomplot dengan Sapiens yang berwatak imperial menaklukkan dunia seisinya yang kita lihat dari situasi terkini. Saat rekayasa genetika menghasilkan gen-gen dari orang tua pencemas, alam-kecil berkode Covid-19 mengingatkan kembali dengan cara yang sadistis atas gen yang hilang: gen pertapa.

Dan, kita tak siap untuk tiba-tiba menjadi Sapiens pertapa dalam jumlah massal di terungku yang kita ciptakan atas nama apa saja demi menyelenggarakan penguasaan total.***