Akhirilah harapan Pemerintah Pusat—selanjutnya ditulis pemrentah—bakal memilih opsi Karantina Wilayah memutus rantai penyebaran Covid-19. Tidak ada gunanya.
Enggak usah juga berantam sesama teman Bung dan Bing karena hanya menghabiskan waktu produktif selama melakukan pemenjaraan diri sendiri di rumah yang bukan karena anjuran pemrentah, melainkan menyayangi selembar-lembarnya nyawa di badan yang belum pernah bisa ditemukan penggantinya oleh ilmuwan medis di jagat raya ini.
Makin lama memikirkannya, justru Bung dan Bing yang duluan gila. Dan, itu tidak ditanggung perusahaan asuransi milik pemrentah.
Belum lagi hidup harianmu yang nirgerak itu diserbu oleh judul-judul berita daring pengabdi clickbait seperti di bawah ini:
(1) Corona Merajalela, Bu Menkeu Sebut Indonesia Bisa Jadi Pemasok APD bagi Dunia (Jpnn.com, 27 Maret 2020)
(2) Wabah Corona, Yasonna Usul Napi Koruptor di Atas 60 Tahun Bebas (Tempo.co, 1 April 2020)
(3) Hendropriyono Apresiasi KPK Diam-diam Tahan 46 Koruptor: Silent Is Golden (Detik.com, 28 Maret 2020)
(4) Luhut Panjaitan Larang Pemda Lockdown, Bupati Mamteng: Jangan Bicara Sembarangan, Ini Rakyat Kami (Tribunnews.com, 1 April 2020)
Cukup empat contoh itu saja. Saya khawatir, kalau dideretkan kliping pernyataan pemrentah yang kurvanya eksponensial sejak Januari, otak Bung hang seperti otak Gusti Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang tiba-tiba saja jatuh pingsan karena pendarahan otak yang hebat di bagian jelang episode akhir sandiwara radio Tutur Tinular.
Sayangi dan lindungi otak besar bagian depan Bung yang bernama Lobus frontal dari serbuan kliping-kliping macam begitu sepanjang waktu uzlah yang bisa berlangsung sampai ratusan hari ini. Biarkan Lobus frontal terbentengi agar menjalankan perannya secara efektif dalam proses berpikir, menalar, dan memecahkan masalah yang penting-penting belaka.
Saat Bung ngotot teriak Karantina Wilayah, pemrentah dengan sangat enteng bakal menjawab: “Masnya yang jagoan, di UU No. 6 Tahun 2018 itu bukan cuma soal Karantina Wilayah, tetapi juga ada ‘Bagian Kelima: Pembatasan Sosial Berskala Besar’ dengan satu pasal (59) dengan empat ayat. Kalau kalian pilih ‘Bagian Tiga: Karantina Wilayah’ dengan tiga pasal (53-55), silakan saja. Toh, beda pilihan dibolehkan oleh demokrasi. Pilihan kami tetap Nomer Lima: PSBB. Kunci!”
Bisa meledak kepala Bung mendapatkan cara berpikir seperti itu, bukan?
Apalagi setelah kamu cek, di bab “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (pasal 59) itu enggak ada sama sekali ngomongin cuan. Sementara, bab “Karantina Wilayah” mewajibkan pemerintah ngasih makan ratusan juta anak orang jika Karantina Nasional diberlakukan, misalnya.
Lalu, kamu menuduh pemrentah pelit. Keliru. Setiap tahun pemrentah sudah mengeluarkan dana desa sebesar Rp70 triliun. Untuk wabah ini, per 31 Maret, pemrentah sudah mengeluarkan angka yang harus dibelanjakan segera: Rp405,1 triliun. Itu duit semua.
Di mana pelitnya?
Memang, pemrentah terkesan seperti fobia dengan frasa “Karantina Wilayah”. Alih-alih memakai pasal 53 sampai 55 itu, pemrentah malah membangunkan UU Darurat Sipil yang diciptakan untuk ketertiban nasional akibat perang dan kerusuhan besar.
Pemrentah mau cuci tangan? Enggak. Lagi pula, tidak ada pemrentah yang tangannya kotor oleh lumpur sawah atau amis oleh sisik ikan. Kecuali, jelang dan saat kampanye pemilu.
Lagi pula, orang pemrentah adalah jenis manusia kapbir (kapitalis birokrat) yang pekerjaan utamanya adalah memerintah dan bukan diperintah.
Di mana persoalannya?
Pahami cara berpikir pemrentah dan cermati baik-baik status mereka sebagai kapbir itu supaya—sekali lagi—supaya otak besar Lobus frontal Bung sehat walafiat.
Kalau sudah, barulah Bung kembali lagi ke ketiga pasal yang mengatur Karantina Wilayah itu.
Hingga pekan terakhir Maret 2020, masih tetap misteri bagi saya, sekompleks apa hubungan pemerintah dengan tiga pasal bikinannya sendiri yang mengatur soal Karantina Wilayah. Per 1 April, lega hati saya, sesuatu yang mulanya misterius itu, perlahan-lahan terpecahkan.
Ayo, merapat lagi ke pasal karantina itu. Terutama fokus pada pasal 55 ayat 1. Eja baik-baik kalimat di ayat itu: “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan MAKANAN HEWAN TERNAK yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.”
Bung, misalnya, kalau kamu minta duit sumbangan ke Jenderal Luhut Binsar Panjaitan, ia barangkali tidak akan tersinggung. Bahkan, mungkin semringah karena ia akan terlihat di depan orang banyak sebagai pengusaha tambang berzirah malaikat.
Jenderal-jenderal kapbir kayaknya fine-fine aja vila mereka di Puncak Bogor dibongkar karena dituding enggak punya IMB. Namun, jika Rakyat menyuruh orang pemrentah yang pekerjaan mereka sesuai dengan kata dasar penamaan diri mereka untuk NGARIT, tunggu dulu bos.
Ini soal kelas, ini soal kepatutan, ini soal kebanggaan. Pemerintah Pusat disuruh si marhaen bernama Pamijih untuk NGARIT? Jangan bercanda kau, Bung. Ini mengguncang harga diri kelas.
Ambillah cermin yang lebih dekat. Seorang mahasiswa sejarah asal Gunungkidung tingkat akhir dan kuliah di kampus negeri terbaik semacam UGM tidak pernah bisa membayangkan menjadi pengarit rumput untuk si Upik yang menunggu di kandang. Apalagi, sampai terpikir melewati halaman kampus sendiri dengan membawa satu karung padat/besar di sadel motor. Mau ditaruh di mana itu muka minyak.
Si borjuis kecil yang hidupnya masih menjadi parasit kepada orang tuanya yang petani saja bisa bersikap seperti itu, apalagi aparatur pemrentah yang ditakdirkan bertangan alus.
Saya hanya ingin mengatakan, pahamilah cara berpikir pemrentah supaya kamu tidak gila. Saya yakin, pemrentah pastilah kaget setengah mati membaca bunyi pasal 55 ayat 1 itu. Soalnya, ini sudah kadung diteken menjadi UU. Mengapa juga ada soal ternak seperti itu. Keblinger.
Saya kira, ini tugas tidak bisa dianggap enteng oleh Bapak Jenderal TNI Prof. Dr. Drs. H. Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.E., S.H., M.B.A., M.H. Yakni, mencari siapa marhaenis gila dan keblinger yang menyusupkan “MAKANAN HEWAN TERNAK” itu ke dalam pasal 55 ayat 1 UU Kekarantinaan Kesehatan yang saat ini sangat urgen posisinya.
Salah satu tugas rahasia jika UU Darurat Sipil benar-benar dibangunkan pemrentah dari tidur panjangnya menghadapi Covid-19 adalah bakal ada protokol “Silent is Golden” untuk mencari sosok penyusup yang menyelundupkan soal “ngarit” itu dalam naskah undang-undang. Dan, protokol itu hanya bisa dijalani oleh—mengutip paragraf awal Wikipedia—sang profesor di bidang ilmu Filsafat Intelijen. Ya, Bapak Jenderal TNI Prof. Dr. Drs. H. Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.E., S.H., M.B.A., M.H.***
* Pertama kali dipublikasikan di situs web Mojok.co, 2 April 2020