[INILAH RESENSI] Sedikit Cara Membunuh Buku dan Penulis | Zaim Yunus

Musuh alami buku bukan cuma ngengat-ngengat dan serangga pemakan kertas. Seorang peresensi “tengil” pun bisa jadi ancaman bagi keberlangsungan dan ketentraman hidup sebuah buku, bahkan penulisnya. Jadi, jika Anda termasuk golongan yang bilang resensi hanya alat jualan, Muhidin M. Dahlan tak suka itu. Enam puluh tiga halaman dalam buku Inilah Resensi dia habiskan untuk mengisahkan gejolak yang lahir akibat resensi buku.

Memang, resensi pernah menjadi sarana pengikat persahabatan pada suatu masa. Sebut saja pertautan antara Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta. Saat mengelola koran mingguan Daulat Ra’jat, dua bung kecil ini saling bergantian mengulas buku. Hatta mengulas buku Sjahrir; Sjahrir mengulas buku Hatta. Dan, sebagai ‘resensi teman’, meminjam kalimat Muhidin, “Isinya pun mengajak banyak orang untuk membeli dan membacanya.” (hlm. 25).

Namun, ingatkah Anda bahwa pernah ada resensi yang pernah hampir menghabisi karier seorang penulis? Anno 1960-an, resensi bertajuk “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” yang ditulis Abdullah Sp terbit di koran Bintang Timur. Sejak dalam judul, resensi itu sudah bikin ontran-ontran. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah sasaran tembaknya. Novel Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck didakwa hasil plagiat buku Manfaluthi, Magdalena. Skandal itu benar-benar membikin Hamka bergeming.

Perkara prahara resensi tersebut, Muhidin M. Dahlan lebih lengkap mengulasnya dalam buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skalndal Sastra Indonesia 1962-1964. Di dalam geger itu, tak hanya Abdullah Sp dan Hamka yang terlibat. Di kubu Hamka ada HB Jassin, redaktur majalah Sastra “jempolan”, sebagai pembela. Sedangkan di kubu lain, Pramoedya Ananta Toer adalah yang setuju dengan tuduhan resensi itu.

Melalui resensi tersebut, dan melampaui perdebatan publik yang muncul waktu itu, ada pergolakan terbuka politik sastra di sana: antara seniman yang punya idealisme “politik sebagai panglima” dengan mereka yang mengimani “seni untuk seni”.

Polemik sastra itu hampir “membunuh” Hamka sebagai penulis. Betapa tidak, saat H.B. Jassin memasang badan untuk membela roman yang dituduh plagiat itu, Hamka malah memilih diam, begitu tulis Muhidin. (hlm. 58) Namun, tampaknya, nasib mujur berpihak pada Hamka, badai itu dihentikan. Dan, lewat sutradara Sunil Soraya, novel “bermasalah” tersebut malah diangkat di layar lebar dan dirilis tarikh tahun 2013. Aneh!

Begitulah resensi bekerja. Melalui ulasan menohok di kolom surat kabar, buku yang dalam proses produksinya memakan banyak waktu, tenaga, dan modal bisa ditarik dari peredaran.

Du lain zaman, pada abad XXI, skandal sastra Indonesia muncul kembali. Namun, biang keladinya bukanlah dari kalangan sastrawan, tapi seorang konsultan politik. Jika Anda kenal Denny Januar Ali (Denny J.A.), dialah orangnya.

Geger itu dimulai saat nama Denny J.A. masuk dalam buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”. Lalu, alih-alih membikin ulasan galibnya Abdullah Sp, petisi di change.org bertajuk “Menolak Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” muncul sebagai bentuk penolakan.

Dan, itulah resensi. Muhidin menganggap petisi tersebut adalah resensi dalam bentuk lain. Tetapi, sayang sekali, resensi itu kurang berhasil. Bukannya sukses “membunuh” bidikannya, yaitu buku 33, yang ada malah Saut Situmorang (salah satu inisiator petisi tersebut) divonis lima bulan penjara karena dianggap mencemarkan nama baik.

Meski begitu, resensi dalam bentuk petisi tersebut tak sepenuhnya gagal. Muhidin kembali mengisahkan, meski gagal “membunuh” buku, paling tidak, petisi tersebut menahan buku 33 untuk dibedah di 2000 perguruan tinggi dan jadi buku pengayaan di sekolah-sekolah kota/kabupaten. Dan, selamatlah sastra Indonesia.

Meresensi tentu jauh lebih terhormat dari membakar buku atau menyeret penulis ke penjara. Sebab, dalam resensi, daya intelektual lebih dimainkan dari sekadar represi fisik dan barbarisme. Sebagai bentuk ekspresi fetisisme, mungkin perusakan buku masih bisa diterima. Namun, upaya pelenyapan ide lewat pemberangusan buku ataupun penulis adalah kebiadaban.

Sepanjang peradaban manusia, blibliosida memang punya sejarahnya sendiri. Fernando Baez mencatat penghancuran itu pada buku berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Sekitar 5.300 tahun lalu, di antara sungai Efrat dan Tigris sudah terjadi penghancuran pada catatan dan prasasti. Perang adalah alasan utama atas pemusnahan teks-teks itu.

Di zaman kiwari, pembunuhan terhadap buku/teks-teks sering dilandasi oleh konservatisme ideologi. Dan, pembunuhan atas buku tersebut masih dilakukan dengan cara-cara purba. Persekusi kerap terjadi pada penulis atau karyanya. Ketidaksepahaman pada suatu ide diatasi oleh alat kekerasan negara.

Jika menengok kembali kisah resensi-resensi horor di atas, kekuatan resensi tak kalah hebat dengan api. Resensi tidak saja bisa membakar sebuah buku, tapi bisa juga membuat penulisnya tenggelam, terlupakan, dan menanggung malu.

Mungkin, akan lebih baik jika Muhidin mau mengajarkan tentara dan polisi menulis resensi.

Itulah Resensi

Sebelum republik ini lahir, resensi sudah eksis. Umum orang tahu bahwa Sukarno, bapak proklamator Indonesia, adalah pembaca yang rakus. Namun, tak hanya itu, dia adalah perensensi andal pada zamannya. Sukarno menyebut resensi itu “tilikan”, sebuah bentuk usaha gigih untuk memahami buku.

Jalan resensi dipakainya sebagai alat untuk membaca dan menanggapi gejolak zaman. Jadi, tak heran, ketika Bung Besar hendak memahami fasisme Nazi, dia menilik buku Propaganda Als Waffe karya antihitlerianisme Willi Munzenberg. Lalu, seperti ditulis Muhidin, Bung Besar akhirnya dapat kesimpulan, “Kerongkongan Hitler-lah yang merampas Eropa.” (hlm. 20)

Bagi para penggila buku seperti Sukarno, meresensi hukumnya fardu. Namun, bagi mahasiswa miskin, meresensi itu jalan mencari receh di media berhonor. Terlepas dari segala kepentingan tersebut, meresensi adalah pekerjaan mulia. Ia bertugas menyelami bacaan atau meberikan umpan balik atas suatu karya.

Di kalangan peresensi, nama Muhidin M. Dahlan, penulis buku Inilah Resensi, masyhur. Pria kelahiran Donggala ini mengeklaim telah menulis ratusan tilikan buku yang tersebar di banyak media penting seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, dan lain sebagainya. Kemampuannya mengulas buku tak diragukan lagi. Dia bahkan sempat jadi bagian dari tim penyusun buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan yang berisi seratus ulasan atas buku-buku sastra “penting” di Indonesia.

Jika Arief Budiman punya “Esai tentang Esai” yang terbit di Horison pada Juli 1966, lain hal Muhidin M. Dahlan. Pria yang kerap disapa Gusmuh ini menelurkan dua buku: tentang esai dan tentang resensi. Judulnya pun mirip. Judul buku pertama, Inilah Esai terbit tahun 2016; kedua, yaitu Inilah Resensi yang terbit pada awal 2020. Begitulah Muhidin M. Dahlan, sosok yang suka Inilah-inilah. Entah disengaja atau kekurangan daya kreatif membikin judul, tapi inilah Muhidin. Ini mungkin babak baru setelah buku lamanya, juga berbicara soal resensi, yaitu Berguru Pada Pesohor yang dia tulis bersama Diana AV Sasa rilis tahun 2011.

Dalam buku barunya Inilah Resensi, Muhidin M. Dahlan membagikan trik dan tips meresensi buku. Namun, jangan berpikir ini adalah buku how to bergaya seminar kepenulisan yang berisi ceramah menjemukan. Lebih dari itu, selain jadi buku panduan, ia adalah pemandu ramah yang mengajak pembaca bertamasya ke gelanggang resensi Tanah Air: dari era Sukarno, Sjahrir hingga skandal Denny J.A. versus sastrawan Indonesia.

Inilah Muhidin. Dia menulis dengan gaya yang khas: menyajikan banyak data sejarah penting, dan tampaknya memang berusaha sedikit melawak. Tengoklah halaman 112 buku ini, Muhidin memberi 7 tips memulai resensi. Pada poin pertama, dia menuliskan, “Pastikan Anda tidak buta huruf. Itu kecakapan dasar”. Mengagetkan. Poin yang informatif dan tampaknya tak banyak orang tahu. Mantap, Gus.

Judul: Inilah Resensi | Penulis: Muhidin M. Dahlan |Penerbit: Iboekoe | Cetakan: Pertama, Februari 2020 | Tebal: 256 Hlm | Peresensi: Zaim Yunus

/ Disalin dari Lpmarena.com, 23 April 2020 /