Jejak Ajaib Ajip Rosidi: Nikah Muda Tanpa Ijazah SMA Bikin Produktif Nulis

Pada umur 18 tahun Ajip Rosidi sudah resmi mengumumkan buku karangannya. Betul, banyak yang memulai dunia kepenulisan profesional jauh lebih muda dari itu. Semacam para penulis cilik di serial “Kecil-Kecil Punya Karya”. Namun, Ajip lain. Ia sangat konsisten di jalur ini. Tidak berpaling sedikit pun.

Semua aktivitas Ajip selalu berhubungan dengan dunia menulis. Ia menjadi penyair, prosais, ahli bahasa (Indonesia/Sunda), hingga menjadi profesor dan mengajar di Jepang, muaranya tetap satu: menulis.

Hidup Ajip untuk menulis. Bagaimana ia bisa sangat produktif menulis macam-macam bentuk tulisan dan menerbitkan lebih dari 100 buku sepanjang hayatnya?

Salah satu kuncinya—dan hati-hati untuk menirunya—kawin muda.

Sial betul, saya justru mengenal Ajip Rosidi karena perkara satu ini, kawin muda, saat roman biografinya diterbitkan ulang Pustaka Jaya pada 1998, Perjalanan Penganten.

Bayangkan saja, ada seorang yang baru akil balig, usia 18 tahun, tidak lulus SMA, berani kawin lebih dini dengan hanya satu keterampilan yang ia yakini bisa menghidupi ia, bini, dan anaknya, yakni mengarang.

Jalan pertama si drop out SMA ini agar tidak menambah deret ukur jumlah pengangguran di Ibu Kota adalah kawin. Pilihan yang barangkali aneh. Namun, di kepala calon pengarang muda dengan api keyakinan yang menyala-nyala ini, kawin adalah jalan ninja untuk membuktikan bahwa mengarang itu profesi baik; bahwa praktik mengarang itu bisa menaikkan taraf hidup seorang penulis menjadi orang berada. Paling tidak, bisa membisiki bini mudanya bahwa kawin dengan seorang penulis adalah pilihan tepat.

Alih-alih menunda kehamilan untuk menyiapkan gemuknya dompet ekonomi keluarga, pasangan ini langsung membuktikan pada pekan setelah ijab kabul bahwa Dewi Kesuburan selalu berkitar di seprai dan bantal biru penganten mereka.

Selanjutnya, nyaris tidak banyak perbedaan antara cerita si tokoh aku di roman Perjalanan Penganten dengan kisah Ajip Rosidi mengarungi kerasnya dunia menulis di persada Indonesia.

Tanpa membawa ijazah SMA, ia meninggalkan keriuhan Jakarta dan kembali ke kampung kelahirannya di Jatiwangi, sebuah desa kecamatan di Majalengka, Jawa Barat.

Bagi sebagian orang, ijazah itu sangat penting. Namun, bagi si lelaki belia ini, bini lebih penting untuk dibawa pulang ke kampung. Juga, profesi mengarang. Berbini dan mengarang dua-duanya tidak butuh ijazah. Juga, tidak butuh Jakarta.

Ia memilih kehidupan desa sebagai ekosistem di mana tungku kreativitas kepengarangan dibakar, seperti genteng cap jatiwangi yang tersohor itu. Ia yakin mengarang di Jakarta dan di Jatiwangi sama saja.

Ini kutipan paragraf Perjalanan Penganten, nasehat seorang bung kepada si calon pengarang muda berusia 18 tahun: “Lebih baik hidup di kota kelahiranmu. Pulang sana. Karena itulah duniamu yang sebenarnya. Kembalilah ke tengah-tengah kehidupan kampung dan desa, pada alam ruhaninya, pada kepercayaan batinnya”.

Indah betul nasehat itu. Mulai pula muncul pikiran bahwa mengarang itu statusnya sama dengan profesi-profesi lain di desa. Terutama, profesi seorang mantri.

Bedanya, tulisan mantri dihargai pasien secara langsung dengan uang setelah proses jual-beli jasa selesai dilaksanakan, sementara pengarang tidak. Sama-sama menulis di atas kertas, pengarang mesti mengirimkan terlebih dahulu tulisannya ke media massa. Jika redaktur mempublikasikannya, saat itulah pengarang mendapatkan imbalan yang dikirim sebulan atau tiga bulan setelah tanggal pemuatan.

Hidup di kampung memang tidak seindah nasehat. Kampung memang selalu aksotis jika diteropong dari kota yang ramai. Macam-macam pembayangan yang muncul. Tentang kampung sunyi yang cocok untuk kerja menulis. Tentang kampung yang murni yang pas untuk menggembleng imajinasi.

Meng-uang-kan imajinasi untuk satu istri dan satu anak ternyata bukan perkara mudah. Di kampung, profesi mengarang ternyata dilihat tidak lebih membikin kata-kata yang indah, syair-syair yang bisa dihafalkan untuk siswa-siswa SD. Syukur-syukur bisa dideklamasikan di lomba 17-an.

Ajip Rosidi lewat pengalaman hidup mudanya lalu membisiki siapa saja calon pengarang yang tidak pernah memegang uang 10 juta sepanjang usia mudanya bahwa tantangan pertama seorang pengarang adalah berhadapan dengan loket rumah sakit saat istri hendak bersalin.

Saat istri bertaruh hidup dan mati melahirkan kehidupan, si pengarang beradu nyali dengan pegawai-pegawai di loket rumah sakit. Di hadapan loket, semuanya menjadi sangat menakutkan. Di hadapan loket, pengarang tiba-tiba menjadi kasta paria.

Tidak ada lagi cerita-cerita khayal, semuanya menjadi riil.

Di hadapan loket, lebih berharga orang bekerja di toko kadipaten Usaha Kresna ketimbang mendaku diri (pernah) bekerja di penerbit nasional seperti Balai Pustaka tetapi mengutang ke sana kemari karena fakirnya.

Di hadapan loket, pada akhirnya, semua manusia masuk dalam antrean. Dan, pengarang berada dalam antrean terakhir untuk dilayani.

Ajip memang bisa keluar dari kemelut ekonomi kepengarangan ini dengan tertatih-tatih. Ia masih meyakini profesi menulis itu bisa diandalkan untuk mengangkat diri dan keluarga dari kebinasaan hidup.

Jalan yang ditempuh Ajip adalah terjun secara total. Bekerja lebih kuat dari siapa pun. Jika tidak dibuktikan dengan kenyataan langsung, orang-orang tidak pernah tertarik kepada dunia satu ini.

Jalan pembuktian ini ditempuh Ajip dengan mencurahkan seluruh energi kreatif yang ia punyai dari lumpur hidup. Tanpa ijazah, apa pun dikerjakan Ajip asalkan masih dalam bingkai dunia tulis-menulis. Semua kesempatan untuk mendapatkan uang dari mengarang dijalaninya.

Orang bilang, tangan Ajip adalah tangan Midas. Apa pun yang keluar dari ujung jarinya bernilai emas. Tidak salah, tetapi kurang tepat. Semua kekuatan diri itu muncul lantaran Ajip memilih lebih dini untuk melayarkan bahtera rumah tangga yang harus disangga angin (kerja mencari uang) agar tetap meluncur, agar tetap bergerak.

Dengan kawin lebih cepat, Ajip mengenali sejak dini bahwa semua yang ideal-ideal tentang dunia pengarang untuk sementara disimpan di laci meja. Istri butuh makan, anak juga butuh susu.

Ia pun kembali ke Jakarta setelah sekian lama membusuk di kampung dengan segala khayalan eksotisme itu.

Dan, seperti inilah kenyataan yang memalang pandangan impian kepengarangannya:

“Mataku menerawang ke arah langit-langit dan dalam hatiku kurasakan kutukan yang membebani hidupku karena memilih jadi pengarang. Teringat aku kepada kawan-kawan pengarang yang tinggal di Jakarta, tidak ada yang hidup dengan senang.

Aku pun teringat akan pengarang-pengarang yang hidup di daerah-daerah yang jauh dari pusat penerbitan, niscaya keadaannya jauh lebih buruk daripadaku. Karena itulah, kebanyakan menganggap mengarang sebagai pekerjaan sambilan.

Mereka mempunyai pekerjaan tetap, entah sebagai guru entah sebagai pegawai kantoran, dengan demikian mempunyai penghasilan yang menjadi penopang hidupnya. Lalu aku pun menjadi sadar bahwa di Jakarta pun tidak banyak orang yang berani menggantungkan hidupnya sekeluarga kepada penghasilannya sebagai pengarang saja.

Kebanyakan mempunyai pekerjaan tetap yang menjamin ketetapan penghasilan bulanan, entah bekerja sebagai redaktur entah sebagai wartawan.”

Jadi, jika kalian tidak bisa menulis satu judul buku yang luar biasa larisnya dan ditambah lagi difilmkan, cobalah resep Ajip Rosidi. Menulis sebanyak-banyaknya hingga batas tenaga yang dipunyai.

Dengan menulis sebanyak-banyaknya, si pengarang bisa menaikkan taraf ekonominya; dari level di bawah garis kemiskinan ke level—paling tidak—tepat di garis kemiskinan.

Selamat jalan, Ajip Rosidi, selamat berlayar sang penganten sastra Indonesia.

* Esai ini pertama kali dipublikasikan di situs web Mojok.co, 31 Juli 2020