Tidak Ada Jurnalis di Revolusi Agustus

Jika Juli dirayakan kaum nasionalis sebagai “Bulan Sukarno”, Agustus mestinya menjadi “Bulan Revolusi”. Sebuah momen di mana negara berbentuk republik bernama Indonesia dilahirkan dan api revolusi disuluh.

Di momen kebangsaan dan kenegaraan yang diperingati tiap tahun ini nyaris tidak saya temukan di mana posisi penting sekelompok pekerja informasi bernama kaum jurnalis.

Yang kita saksikan nyaris tanpa inovasi yang berarti di “Bulan Revolusi” ini adalah ritus baris-berbaris yang hikmat, pemandangan anak-anak muda pengibar bendera yang digembleng tentara, pidato tahunan presiden dan pejabat pemerintah, serta karnaval-karnaval budaya di berbagai pelosok negeri.

Lembar koran, baik luring maupun daring, tak pernah ada catatan untuk merenungkan, misalnya, betapa revolusionernya kaum jurnalis itu dalam “Revolusi Agustus” yang berapi.

Saya menduga, hal itu terjadi karena memang buku-buku sejarah kita, terutama sejarah revolusi Agustus itu sudah (di)bersih(kan) dari peran-peran penting para jurnalis. Sebab, setelah Agustus, semua wacana diambil alih oleh militer tanpa menyisakan secuil pun wilayah kaum jurnalis. Sebutan “Angkatan ‘45” identik dengan kaum bersenjata walau kita tahu kaum sastrawan sudah berusaha setengah mati ambil bagian di kue besar itu. Dapat memang, walau hanya toping belaka.

Becermin dari kaca benggala sejarah, sesungguhnya, Hari Proklamasi di bulan Agustus adalah momentum kemenangan kaum jurnalis setelah sebelumnya berlaga di medan penyadaran untuk mendongkel kolonialisme yang kemudian kita mewarisi paragraf pertama dalam preambule konstitusi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Secara sederhana, mari kita mulai dari rekonstrusi dari potongan foto Mendur Bersaudara.

Tahun-tahun sebelum 2020, kita mengenal hanya ada dua file foto proklamasi di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, itu. Yakni, saat pengibaran bendera dan kala Sukarno membacakan naskah Proklamasi.

Kini, beredar lebih banyak foto hasil bidikan duo Mendur di media sosial yang kemudian kita tahu di mana para jurnalis berdiri.

Mula-mula perlu menegaskan, Alexius Impurung dan Frans Sumarto Mendur itu bukanlah fotografer wedding atau fotografer studio untuk membidik tubuh-tubuh molek para model. Keduanya adalah jurnalis foto yang bekerja secara klandestin demi sebuah negara baru. Tanpa kerja mereka yang gagah berani, kita tidak pernah memiliki bukti visual peristiwa kelahiran negara. Kalau saja mental mereka kaleng-kaleng berhadapan dengan serdadu Jepang, kita hanya mereka-reka bayangan bagaimana ketuban revolusi pecah di Pegangsaan Timur.

Bahkan, kakak-beradik itu pula menjadi penggagas kantor berita foto pertama di Indonesia yang bernama Indonesia Press Photo Service atau IPPHOS yang resmi berdiri pada 2 Oktober 1946. Nyaris semua foto ihwal Indonesia dalam badai revolusi lahir dari bidikan perusahaan pers keluarga Mendur ini.

Objek penting yang ada dalam foto Mendur itu pun adalah sosok Sukarno dan Hatta yang berdiri berdampingan membacakan teks 38 kata itu.

Di situ, Sukarno dan Hatta tidak bisa dilihat sebagai politisi an sich. Mereka adalah politisi yang sekaligus jurnalis. Atau, jurnalis yang sekaligus politisi. Di sidik jari Sukarno terdapat sejumlah nama media di mana ia duduk sebagai pendiri dan sekaligus hoofdredacteur: Soeloeh Indonesia Moeda, Fikiran Ra’jat, Persatuan Indonesia, dan Suluh Indonesia. Sementara, Mohammad Hatta adalah pemikir ekonomi dan nakhoda dari dua majalah sekaligus: Indonesia Merdeka dan Daulat Ra’jat.

Dari sosok keduanya kita bisa mendapatkan karakter jurnalis Indonesia yang tidak berjarak dari politik. Sejarah jurnalistik kita berada dalam satu tarian dengan arus pergerakan untuk pembebasan nasional. Oleh karena itu, membicarakan sejarah Indonesia modern dengan tidak mengikutkan sejarah pers di dalamnya merupakan cacat besar yang ironisnya tidak disadari.

Teks penting kemerdekaan yang menjadi monumen Agustus adalah buah kerja dari para jurnalis. Dokumen milestone itu didiktekan oleh jurnalis (Sukarno/Hatta), ditik oleh jurnalis (Sajoeti Melik), dan arsip aslinya diselamatkan oleh jurnalis dari kepunahan (B.M. Diah).

Mari mundur ke bulan Mei. Jika sidang-sidang lembaga bernama BPUPKI atau Badan Persiapan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah peristiwa penting sejarah ide dan perdebatan melahirkan negara baru bernama Indonesia, kaum jurnalis turut berlaga di sana.

Lembaga ini memulai sawala ide pada 29 Mei hingga 9 Agustus 1945. Dari 79 sosok yang menggodok ide negara baru, termasuk bentuk dan asas negara, terdapat 21 orang jurnalis. Selain Sukarno dan Hatta, ada sosok A.R. Baswedan yang pada 1934 menjadi pemimpin redaksi majalah Sadar dan Ki Hadjar Dewantara yang seorang jurnalis kawakan dengan menukangi banyak koran/majalah yang antara lain De Expres, De Beweging, Persatoean Hindia, Hindia Poetra, Pemimpin, dan Soeara Taman Siswa.

Ada pula sosok Anang Abdul Hamidhan yang merupakan jurnalis masyhur asal bumi Borneo (Bendahara Borneo, Soeara Kalimantan, dan Borneo Shimbun). Tentu saja, Parada Harahap yang seorang jurnalis tulen (Benih Merdeka, Sinar Merdeka, Neratja, Bintang Hindia, Bintang Timoer, Jawa Barat, Sinar Pasoendan, Semangat, De Volkscourant, Vereenigde Uagevers Mij, Tjaja Timoer).

Dari Jawa Barat, ada tokoh Oto Iskandardinata (Sepakat, Sipatahoenan, Tjahaja), Ahmad Soebardjo (Matahari), maupun Iwa Koesoema Soemantri (Matahari Indonesia).

Nama-nama jurnalis yang lain lagi adalah Samsoedin (Berita Oemoem), Raden Pandji Singgih (Timboel), Soerjohamidjojo (Siaran Radio Indonesia), Raden Pandji Soeroso (Kemadjoean Hindia), Soekardjo Wirjopranoto (Berita Oemoem dan Asia Raja), Roeslan Wongsokoesoemo (Soeara Oemoem Madoera, Soeloeh Ra’jat Indonesia, Soeara Parindra, dan Soeara Oemoem), Raden Hindromartono (Indonesia Raja), Soetardjo Kartohadikoesoemo (Pemimpin dan Penjuluh), Sajoeti Melik (Pesat, Sinar Baru, Kedaulatan Rakjat, dan Soeloeh Indonesia), dan G.S.S.J. Ratulangie (Penindjauan, Nationale Commentaren). Di salah satu file foto Proklamasi bidikan Mendur Bersaudara, Ratulangie masuk dalam bingkai peristiwa Proklamasi.

Dua nama terakhir adalah Hadji Agoes Salim (Neratja, Bataviaasch Niewsblad, Hindia Baroe, Fadjar Asia, dan Moestika) dan Koen Hian Liem (Tjhoen Tjhioe, Sao Lim Po, Sinar Soematra, dan Pewarta Soerabaja).

Dari catatan biografis seperti itu, kaum jurnalis, sekali lagi, tidak sekadar pencatat dari kejauhan salah satu momentum penting lahirnya negara Indonesia, tetapi juga berada dalam lingkaran inti. Kehadiran mereka tidak sekadar mencatat, tetapi juga berkontribusi penting mencurahkan sehabis-habisnya ide dan pengetahuan yang dipunyai untuk Indonesia.

Karakter jurnalis hasil madrasah revolusi Agustus, jika boleh dikatakan demikian, adalah mereka yang tidak sekadar tukang tik berita, melainkan intelektual publik. Mereka aktor penting proyek besar nasional memerdekakan bangsanya dari kolonialisme dan berdiri pada saf terdepan melahirkan negara.

Betapa pun, jurnalis adalah ikon pejuang “kemerdekaan” sejak Republik lahir.

Terima kasih, kaum jurnalis!

* Dipublikasikan pertama kali di Harian Jawa Pos edisi Minggu, 23 Agustus 2020