[INILAH RESENSI] Inilah Resensi atas “Inilah Resensi” | M. Fauzi Sukri

/1/

“Tak ada resensi buku tanpa lewat praktik membaca,” kata Muhidin M. Dahlan, saat memulai kalimat pertama buku Inilah Resensi (I:BOEKOE, 2020). Tentu saja resensi yang sedang Anda baca ini adalah hasil pembacaan satu orang pembaca terhadap buku Gusmuh (sapaan Muhidin M. Dahlan). Dan pembukaan yang menggunakan kutipan langsung dari Gusmuh ini adalah bagian dari praktikum atas saran Gusmuh dalam memulai atau membuat lead resensi.

Saya berharap penggunaan kutipan itu bukan hanya saya sedang “mati gaya tak menemukan paragraf pertama yang menyentak”. Tapi sebagai bagian dari hasil proses pembacaan dan sekaligus praktik langsung setelah membaca buku Gusmuh: resensi (pembacaan) atas buku resensi. Seperti dikatakan Gusmuh dalam buku Inilah Resensi, salah satu cara membaca buku adalah menjajar buku dengan tema serupa. Saya membaca buku ini bukan hanya dalam bayangan Berguru pada Pesohor (2012) tapi juga dibayangi oleh buku Inilah Esai (2016).

Secara konseptual, buku Inilah Resensi jelas menyuguhkan konsep yang sama dengan Inilah Esai. Bukan hanya hanya judulnya yang mirip. Saat kita membaca Bagian Tiga, yang berisi petuah dan strategi menulis resensi, kita langsung dihadapkan pada hal yang hampir sama dengan beberapa bagian buku Inilah Esai. Pada Bagian Tiga, yang mengisi separuh lebih buku Inilah Resensi, para pembaca yang sudah akrab dengan buku Inilah Esai akan mendapati struktur pembahasan yang sama: (1) pembahasan masalah judul tulisan, (2) strategi memulai paragraf pertama, (3) apa saja yang sebaiknya ada di tubuh tulisan/resensi, dan terakhir (4) teknik menutup tulisan.

Empat hal itu memang mau tidak mau hampir pasti ada dalam tiap tulisan. Saya tidak sedang menggiring Anda untuk mengatakan bahwa Gusmuh sedang memplagiat tulisannya sendiri dari bukunya yang lain. Tidak. Saya, sekali lagi, hanya ingin mengatakan bahwa struktur tulisan yang terdiri dari empat elemen itu mau tidak mau pasti harus dibahas lagi oleh Gusmuh, meski hal serupa bisa kita dapatkan dalam buku Inilah Esai, tentu dengan pilihan kata yang berbeda. Ini adalah yang tak bisa dihindari dari buku yang memang sejak awal konsepnya untuk memberikan petunjuk cara-cara menulis.

Tiap penulis buku petunjuk (how to book) menulis yang berkehendak memberikan berbagai detail pasti akan terperosok ke dalam masalah yang sama. Lain hal jika yang hendak ditulis adalah pengalaman pribadi si penulis, yang tentu bisa berbeda dengan orang lain, berbeda dengan buku lain, dan seterusnya. Tapi, yakinlah bahwa Gusmuh adalah guru yang sudah sangat berpengalaman dalam mengajar-melatih menulis selama puluhan tahun. Buku Inilah Esai dan Inilah Resensi hanya bukti kecil lanjutan saja.

Tentu saja, Gusmuh punya sesuatu yang sangat berharga: kliping resensi sebagai contoh konkrit yang dihadirkan pada tiap petunjuk yang dijelaskannya. Inilah yang tidak akan diperoleh para pembaca yang masih berstatus sebagai pemula ‘pembaca’ buku apalagi jika membaca dengan niat untuk membuat ulasan. Ingat, hampir 90 persen contoh dari 250 kliping resensi yang disodorkan Gusmuh berasal dari media cetak yang sebagian sudah almarhum. Bukan hanya pembaca buku generasi milenial yang keterlaluan hanya hidup dengan media daring, bahkan yang sudah cukup akrab dengan media cetak sangat mungkin tidak begitu akrab atau tak punya kliping media cetak yang dihadirkan Gusmuh: dari media cetak yang sudah wafat seperti Pemberita Betawi, Doenia Bergerak, Daulat Ra’jat, Pandji Islam, Optimis, On/Off, Mata Baca, Jakarta Jakarta, Suara Pembaruan, Zaman, Editor, sampai yang masih hidup seperti Jawa Pos, Kompas, Koran Tempo, Prisma, Media Indonesia, Gatra, Republika, dan seterusnya. Media cetak yang paling banyak dijadikan contoh kliping adalah majalah Tempo.

Pertanyaan yang menarik setelah membaca buku Inilah Resensi: jika buku ini diuji-coba-praktikkan, apakah berbagai strategi menulis resensi dengan contoh-contohnya itu cukup sebagai modal bagi calon peresensi? Saya cukup meragukan.

Mari kita beranjak ke Bagian Dua dari buku Inilah Resensi.

/2/

Saat orang menghadapi buku, mulai dari saat hendak ke toko buku (online atau offline), lalu melihat dan memilah-milah buku, sampai akhirnya memutuskan untuk membeli, apalagi dengan satu keputusan untuk menulis resensi, mungkin dia sudah menghadapi realitas kompleks dari satu buku: jejaring sistem niaga (kertas, percetakan, penerbitan, perbankan, toko buku, sistem promosi, dsb.), institusi pendidikan yang mungkin melahirkan si penulis dan si pembeli-pembaca, sistem keilmuan yang tertanam secara intrinsik dalam buku, institusi bisnis media massa yang menyediakan ruang untuk resensi, dan seterusnya. Semua itu saling terkait dan sering mengedepankan kepentingan masing-masing. Terkadang hal-hal ini penting bahkan berpengaruh cukup besar sebagai pertimbangan meresensi. Dengan kata lain, hal-hal yang tidak cukup hanya berbekal memahami sisi intrinsik resensi dari membuat judul sampai kalimat penutup.

Tiap buku, baik disebut buku indie atau buku major, pasti melewati sistem kapitalisme percetakan: dari yang sangat material seperti biaya kertas, biaya mesin cetak, sampai yang non-material seperti layout-desain buku, editorial, promosi, dan seterusnya. Tiap buku di zaman kita pasti melalui proses kapitalisme ini, baik diabaikan atau dipikirkan dengan serius. Tentu saja kebanyakan buku, yang terbit melalui kapitalisme percetakan, hampir pasti juga dipikirkan secara kapitalistik setelah selesai proses cetaknya.

Mari kita ambil dua contoh seperti yang dituturkan oleh Muhidin pada Bagian Dua. Yang pertama adalah apa yang dilakukan oleh Hatta saat meresensi buku temannya sendiri alias karya Sutan Sjahrir. Sekilas, resensi yang ditulis Hatta tampak sebagai ‘resensi untuk mengikat pertemanan’. Tapi, selain itu, tentu saja resensi Hatta itu sangat terkait dengan kesamaan ideologi antara Hatta, Sjahrir, dan majalah Daulat Ra’jat yang mereka pimpin sebagai corong pembesaran ideologi mereka. Memang pas ulasan buku Pergerakan Sekerdja dimuat di Daulat Ra’jat, tapi mungkin akan kurang pas kalau dimuat di Fikiran Ra’jat yang dipimpin Soekarno dan yang ditujukan untuk kaum marhaen. Bahasa yang digunakan dalam Pergerakan Sekerdja, yang agak ‘berat’, rasanya kurang cocok untuk kaum marhaen dan sebab itu kurang pas jika resensinya dimuat di Fikiran Ra’jat.

Barangkali, lebih daripada sekadar mengetahui medium resensi seperti media cetak, radio, televisi, bahkan kanal media termasuk Youtube atau Instagram, pengenalan corak media massa yang akan ditujukan untuk tulisan resensi buku sangat penting. Banyak media massa yang punya kecenderungan tersendiri untuk buku-buku yang akan dimuat ulasannya. Bukan hanya hal ini dipengaruhi selera redaktur, tapi ideologi media massa dan sasaran pembaca media massa itu juga turun menentukan ulasan buku-buku yang akan dimuat. Ada buku yang cenderung hanya memuat buku-buku keagamaan tertentu. Ada yang cenderung memuat buku sastra, politik, budaya yang bobot akademiknya cukup terjamin misalnya Tempo atau Kompas. Ada yang mau memuat buku populer dan buku berbobot akademik secara selang seling. Dan seterusnya.

Yang kedua, mari kita perhatikan contoh yang sangat menarik dari ulasan S.I. Poeradisastra—editor/penulis buku ini tampaknya kurang awas untuk konsisten dengan penulisan Puradisastra atau Poeradisastra. Dengan sangat keras, ulasan Poeradisastra menghantam segala sisi buku Prof. R. Slamet Iman Santoso yang berjudul Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Sinar Hudaya, 1977). Tentu saja titik tertajam resensi Poeradisastra adalah pada historiografi salah kaprah yang diyakini Prof. R. Slamet Iman Santoso. Padahal, inilah inti dari buku sejarah ilmu sang profesor dari Universitas Indonesia. Betapa kerasnya kritik ini!

Ada hal yang sangat menarik dari contoh resensi Poeradisastra yang disodorkan Muhidin itu. Rasanya tidak penting-penting amat segala strategi menulis jika dibandingkan kesiapan ilmu dalam membaca, katakankah wawasan atau kepakaran pada tema yang dibahas oleh buku yang hendak diulas. Poeradisastra, yang pernah menulis buku Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, sungguh orang yang tepat untuk mengulas buku Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Apalagi Poeradisastra siap dengan segala referensi utama yang seharusnya digunakan oleh Prof. R. Slamet Iman Santoso tapi justru tak dipakai. Dari Poeradisastra kita tahu: peresensi yang baik tentu saja adalah pembaca yang siap bertarung wawasan demi kebenaran ilmu.

Akibat resensi keras dari Poeradisastra, penerbitnya mengirim surat pembaca ke Tempo yang memuat resensi itu: tidak mengakui buku sang profesor sebagai terbitannya padahal jelas-jelas tertera nama Sinar Hudaya. Lalu, sang profesor menyerah bahwa dia “tidak mampu memperbaiki kesalahan itu”—sayang sekali tidak ada permohonan maaf kepada penerbit atau pembeli-pembaca secara publik sebagai pertanggungjawaban keilmuan dari si profesor! Ditjen Perguruan Tinggi Dep. P&K, yang justru dikecam sang profesor karena telah meloloskan bukunya, juga tidak terdengar meminta maaf kepada civitas academica Indonesia. Kita bisa membayangkan beberapa hal: secara bisnis buku itu hancur dan penulisnya tercoreng integritas keilmuannya meski tampaknya tak satu pun perguruan tinggi di Indonesia merasa risau atas kasus ini.

Dan ya, dalam buku Inilah Resensi, hanya ada satu jurnal akademik terpercaya yang resensinya dijadikan contoh oleh Muhidin: majalah apa lagi kalau bukan Prisma. Kenapa hanya majalah Prisma? Jika pergaulan bacaan Anda cukup jauh, Anda mungkin bisa mengira-ngira kenapa hanya Prisma. Anda juga akan tahu kenapa Gusmuh tampak sangat mengandalkan contoh-contoh dari majalah Tempo. Hampir 50 contoh lebih dalam buku Inilah Resensi tampaknya berasal dari Tempo. Majalah ini memang termasuk sangat selektif memilih buku yang hendak dimuat resensinya. Juga termasuk sangat selektif ‘menunjuk’ peresensi buku yang memang bisa dianggap terpercaya dalam membaca dan mengulas buku. Banyak cendekiawan penting Indonesia masuk dalam jajaran peresensi Tempo.

/3/

Dari sekian kasus resensi yang disodorkan Muhidin, kita tahu bahwa sikap seorang pembaca terhadap buku cukup menentukan: apakah hanya akan menjadi pembaca yang mencari hiburan, menjadi pembaca yang berhasrat mengabarkan isi buku, pembaca yang berkehendak jadi sales promotion, atau mungkin sudah jadi pembaca yang berposisi sebagai pakar. Sikap batin-pikiran pada masing-masing posisi akan sangat menentukan corak/hasil resensi yang akan ditulisnya.

Memang sungguh tidak mudah menjadi pembaca-peresensi sebagaimana dilakoni S.I. Poeradisatra. Hampir sebagian besar pembacanya sangat terbatas wawasannya dibandingkan penulis buku, terutama jika buku yang dihadapi adalah hasil dari kerja akademik yang panjang seperti disertasi. Hampir sebagian besar pembaca buku berada di bawah bayang-bayang wawasan si penulis. Bahkan, sebelum membaca bukunya pun, banyak juga pembaca yang merasa ‘terintimdasi’ sistem syaraf pikirannya oleh kebesaran si penulis. Lalu dia merasa perlu ikut-ikutan mengagumi dan menjadi fans si penulis lalu melupakan berlaku kritis terhadap karyanya. Tentu jadi fans itu sah, tapi belum tentu akan menghasilkan ulasan yang apik.

Masalah utamanya memang pada kapasitas kepembacaan yang dimiliki oleh calon peresensi saat menghadapi buku. Ini adalah prasyarat utama. Maka benar bahwa “Tak ada resensi buku tanpa lewat praktik membaca,” seperti dikatakan Muhidin M. Dahlan sebagai pembuka buku Inilah Resensi, tapi membaca dengan kapasitas seperti apa? Nah itu!

Sebagai pemungkas resensi atas buku cara meresensi ini, sekali lagi, saya ingin mengikuti salah satu petuah dalam menutup resensi dari Gusmuh: bagi Anda yang ingin meningkatkan kemampuan mengulas buku, segeralah dapatkan buku Inilah Resensi yang punya pendekatan historis dan praktis ini, yang tak bakal dimiliki oleh buku lain tentang meresensi. Jika Anda agak kesusahan membaca buku-buku setelah membaca Inilah Resensi, berdoalah semoga, setelah Inilah Esai (2016), Inilah Resensi (2020), Gusmuh bersedia merancang buku khusus yang membabarkan perihal kepembacaan dengan segala seluk beluknya, yang didukung dengan kelimpahan klipingnya yang memukau, dan tentu judul bukunya adalah Inilah Membaca! [M. Fauzi Sukri]

Judul: Inilah Resensi
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: I:BOEKOE
Cetakan I: Februari, 2020
Halaman: 256
ISBN: 978-979-1436-60-1

/ Disalin dari Kurungbuka.com, 29 Agustus 2020 /