Perusahaan yang baik, kata P.K. Ojong suatu hari, adalah kalau pemimpinnya sudah tidak ada bisa tetap jalan terus.
Dan, setelah dia benar-benar tidak ada pada 31 Mei 1980 pagi hari, ternyata perusahaan media bernama Kompas Gramedia tetap jalan di tangan seorang yang sejatinya ogah mengurusi bagian bisnis dan administrasi.
Tidak sekadar berjalan, tetapi korporasi itu justru meraksasa, menapaki diri menjadi great company. Dari hanya 131 karyawan di dekade awal (1965) menjadi 20-an ribu karyawan saat ini.
Dari hanya berbisnis di dunia media dan cetak-mencetak, kini merambah ke bisnis hotel, biro perjalanan, jalan tol, hingga perusahaan tisu. Bahkan, perusahaannya manggung di lantai bursa sejak Februari 2013 dengan nama emiten DYAN.
Bagaimana itu bisa terjadi di tangan seorang pemimpin usaha yang cita-citanya cuma dua: kalau nggak guru, ya, wartawan? Apalagi saat jadi wartawan pun, dia enggan mengurusi kerasnya persaingan lapak.
Lelaki asal Sleman ini lebih banyak berdiam di kamar redaksi. Berbeda dengan P.K. Ojong yang setiap subuh sudah mengecek koran Kompas di kolong jembatan-jembatan layang Ibu Kota apakah sudah terdistribusi dengan baik ke agen atau terdepak oleh pesaing.
Sosok ini termasuk salah satu tokoh yang namanya mesti saya selalu cek dan cek kembali dengan cermat dan hati-hati dalam menuliskannya.
Dia adalah Jakob Oetama.
Lihat komposisi nama itu. Tidak lazim. Gabungan ejaan kini dan lama.
Bisa “Jacob Oetama”, “Yakub Utama”, “Jakob Utama”, “Yakop Utama”, atau “Yakop Oetama”. Gampang sekali tergelincir jika tidak hati-hati dan asal cepat memublikasikannya.
Lema itu, “hati-hati”, saya kira, menjadi kiat pertama bagaimana Jakob Oetama mengarungi bisnis media.
“Dalam hidup dan mengelola bisnis maupun berita, saya selalu anjurkan sikap hati-hati dan rendah hati. Sedapat mungkin hindari ‘menyinggung yang tidak perlu’,” kata Jakob.
Lihat, sikap hati-hati itu langsung berkait dengan etika berkomunikasi yang “rendah hati” alias tidak jemawa dan sebisa mungkin nggak bikin orang marah!
Resep hati-hati dengan (ketersinggungan) hati pihak lain dipegang kuat-kuat Jakob Oetama.
Kiat ini diuji langsung di lapangan saat salah satu lini usaha medianya, Monitor, tampak sangat ceroboh dalam menurunkan konten tentang poling tokoh-tokoh terkemuka di mana Nabi Muhammad berada di urutan ke-11.
Poling yang bikin murka umat Islam pada 1990 itu, terutama di Jakarta Raya dan Bandung, langsung menunjuk ke imperium Kompas Gramedia di Palmerah.
Nyaris tidak ada perlawanan apa pun dari Palmerah dan segera menunjuk ke dada sendiri dan teringat “siapa kita”. Terngiang lagi olok-olokan dua koran kiri di pengujung masa kekuasaan Sukarno saat Kompas terbit pertama kali pada medio 1965.
Kompas dipelesetkan menjadi “komando pastor” lantaran pendirinya terhubung dengan Partai Katolik.
Bahaya di depan mata tak tertanggungkan bagi perusahaan jika kecerobohan dan ketakhati-hatian awak redaksi tabloid itu merembet ke isu keyakinan keagamaan. Karena itu, sikap diambil sangat bulat: ngalah.
Sikap “ngalah” itu menjadi kiat sukses kedua yang dijalankan Jakob Oetama membangun perusahaannya. Ikuti arus, jangan sekali-kali melawannya. Pendek kata, jangan keras, jangan juga lembek. Pintar-pintar saja menempatkan diri.
Gabungan sikap hati-hati dan ngalah ini melahirkan olok-olokan lain dari jurnalis Rosihan Anwar. Katanya, jurnalisme yang dikembangkan Kompas itu “jurnalisme kepiting”.
Seekor kepiting memiliki kebiasaan akan mundur atau merangkak dengan gaya menyamping kalau ada halangan. Kalau perlu, si kepiting berhenti sama sekali (pasif) dalam lubang persembunyian sambil menunggu ada kesempatan.
Jakob Oetama sangat menginsyafi sifat mengalah itu. Mengalah itu tidak melulu sebagai tindakan jelek. Dia ingat kalimat P.K. Ojong: “Kalah untuk menang. Tekanan pemerintah tidak akan seterusnya, pada waktunya akan berhenti. Jenazah tidak bisa diajak diajak ikut berjuang.”
Mengalah itu bagian dari siasat penghormatan pada hidup. Kehidupan perusahaan, kehidupan karyawan, kehidupan visi dan misi juang.
Jakob Oetama tahu betul dia dicibir dengan pendapat bahwa manusia hidup tidak hanya dengan roti. Namun, Jakob juga menadahi ungkapan yang lain yang juga sama benarnya: orang perlu hidup lebih dahulu untuk bisa berfilsafat.
Ngalah demi hidup dan melanjutkan aksi-aksi filosofis adalah jalan ninja Jakob.
Jalan ngalah itulah yang memantapkan Jakob mau secara terus-terang meminta maaf kepada Presiden Soeharto atas kekhilafan editorial dan pemberitaan Kompas atas aksi-aksi protes mahasiswa sepanjang Januari 1978 yang berujung pada pemberedelan belasan koran dan majalah, termasuk Kompas.
Di Solo, pada Hari Pers Nasional, 9 Februari 1978, Jakob Oetomo dengan takzim berucap di hadapan Presiden Soeharto: “Matur nuwun sampun dipunparengaken terbit malih (terima kasih sudah diizinkan terbit kembali).”
Sang presiden yang murah senyum itu pun membalas pendek: ”Aja maneh-maneh (jangan sekali lagi dilakukan)”.
Saat itulah, Kompas yang dinakhodai Jakob mengarungi pelita demi pelita pembangunan dengan jalan ikut arus. Orba bilang halaman nggak boleh lebih dari 16 dan maksimal iklan 35 persen, ya, manut.
Dalam dunia manut itulah sulur bisnis media Kompas Gramedia menjulur ke mana-mana. Siasat mengikuti kepiting, postur bisnis mengikuti gurita.
Nah, menggurita adalah kiat ketiga bisnis media yang dikembangkan Jakob Oetama. Jika sudah hati-hati, tetapi tetap dipukul, ya, masih ada bisnis lain yang jalan.
Misalnya, Kompas kukut. Jakob barangkali tidak terlalu risau karena masih ada Intisari, Mombi, Bobo, Saji, Jip, Info Komputer, Nakita, Sajian Sedap, Oto Mania, Motor Plus, Grid, dan 50-an lagi nama media untuk macam-macam segmen pembaca yang barangkali sebagian dari kalian tidak pernah sekali pun mendengar namanya.
Jangan lupa, ada puluhan “koran-kuning” bertajuk “Tribun” yang tersebar di 21 kota/kabupaten yang ditangani PT Indopersda Primamedia.
Dalam bisnis pun demikian. Jangan melulu di pers. Perbanyak di ragam sektor, sebagaimana pesan P.K. Ojong yang dilaksanakan dengan sangat sempurna oleh Jakob Oetama: kalau ada kelebihan uang, disimpan untuk diinvestasikan.
Hasilnya, selain penerbitan dan toko buku di mana-mana, juga TV di mana-mana, radio di mana-mana, hotel di mana-mana, pabrik kertas dan tisu di mana-mana, agen perjalanan di mana-mana, galeri seni di mana-mana, serta bisnis universitas.
Dan, semua yang “di mana-mana” itu mestilah berjalan dalam satu kor bisnis: selamanya (harus) menguntungkan. Hanya dengan usaha yang punya laba, karyawan bisa disejahterakan. Caranya adalah adaptif terhadap perubahan. Terutama, perubahan teknologi.
Nah, percaya pada teknologi dan jangan melawan hukum fisika adalah kiat sukses bisnis Jakob Oetama yang keempat.
Ketimbang menangis di pojok sejarah bahwa dunia cetak bakal ditinggalkan zaman, Kompas Gramedia yang dipresideni Jakob mengembangkan kultur media dengan ciri 3M: multimedia (teks, gambar, suara, grafis), multiplatform (majalah, internet, radio, video, televisi, buku, koran), dan multichannel (distribusi fisik dan nonfisik).
Ejawantah dari bekerjanya tiga elemen itu terjadi dalam sekuensi yang sama dan serentak adalah saat megaproyek liputan bertajuk “Ekspedisi Cincin Api” dilangsungkan.
Presentasi publik dari ekspedisi itu ingin memberitahukan bahwa Kompas Gramedia sudah siap. Kompas edisi cetak tidak mati, tetapi mereposisi diri menjadi bacaan dengan konten yang mendalam dan analitis.
Orang Kompas menyebut praktik itu dengan “jurnalisme presisi”. Kepresisian itu butuh data yang diolah secara baik, profesional, dan diakses secara mudah oleh semua karyawan di lingkup korporasi.
Menghidupkan pusat data adalah kiat bisnis Jakob Oetama yang kelima yang membawa perusahaan medianya tidak saja menggurita dalam jumlah lini usaha, tetapi juga menjadi raja diraja konten.
Di sini, bekerja kelompok litbang yang mengolah data sedemikian rupa menjadi info grafis, laporan-laporan analitik berbasis narasi historis, kronik, jajak pendapat, untuk menopang tumbuhnya jurnalisme presisi yang dikembangkan Kompas.
Banyak edisi khusus yang bersifat gigantik lahir dari kerja litbang yang dikelilingi data besar yang terkurasi oleh ribuan jurnalis yang sudah bekerja setengah abad lebih lima tahun.
Edisi Khusus Milenium, Edisi Khusus Soekarno, dan Edisi Khusus Hatta adalah sebagian dari bukti mahakarya jurnalisme yang melibatkan data yang kaya.
Saat Gunung Kelud meletus pada 14 Februari 2014, misalnya, tidak ada satu pun media harian maupun mingguan selengkap Kompas bisa mengabarkan sejarah Kelud secara rinci dalam segala aspek mengenai gunung di Jawa Timur itu hanya sehari setelah hari “H” meletus.
Hal itu terjadi karena seluruh datanya terdigitalisasi dan menyatu dalam sebuah ruang besar bernama Data Center. Inilah salah satu katup jantung penting Kompas Gramedia yang membuatnya tetap adaptif, tetap punya voice di tengah noise informasi.
Nah, bagaimana bisa mengorkestrasi semua itu?
Inilah kiat bisnis keenam ala Jakob Oetama: mengubah budaya perusahaan yang bersifat kekeluargaan (rajin malas sama saja) ke dalam model performance-based culture yang melihat performa kinerja karyawan sebagai indikasi objektif pemberian hak.
Pemberian remunerasi atau tunjangan bersandar pada penilaian karya. Makin bagus pencapaian kerjanya, makin tinggi remunerasi yang didapatkan dari perusahaan.
Terjadi sedikit turbulensi atas perubahan budaya perusahaan ini saat diterapkan. Namun, itu risiko yang mesti dilewati agar perusahaan tetap dalam trek besarnya, melewati fase good company, yakni perusahaan media yang bertahan selama lima puluh tahun, dan sedang berderak menapaki fase kedua, great company.
Pada fase perayaan mencapai level good company inilah keluar buku sejarah 50 Tahun Kompas Gramedia: Mengembangkan Indonesia Kecil (446 halaman). Sebuah bunga rampai yang menjelaskan dengan sangat rinci kinerja usaha raksasa media ini.
Setelah Jakob Oetama tiada, bagaimana usaha Kompas Gramedia? Sepertinya, baik-baik saja. Jakob tampaknya tidak ingin meninggalkan Kompas Gramedia secara tiba-tiba seperti P.K. Ojong yang pergi pada suatu pagi.
Oleh karena itu, Jakob wariskan manajemen sebagai kompas masa depan. Dan, di sana telah duduk 47 sosok kunci (top management) yang mem-back up bisnis yang terdiversifikasi sedemikian rupa itu.
Dengan bantuan teknologi informasi yang canggih, semua kinerja terkontrol dalam satu harmoni sebagaimana tersusun dalam “buku bersama” yang bernama Corporate Manual.
Sudah selesai? Belum!
Jangan pernah lupa mencintai dunia seni. Itulah jalan keutamaan terakhir, kiat bisnis nomor tujuh ala Jakob Oetama.
Mencintai seni, baik seni kontemporer terlebih-lebih seni tradisi, membikin konglomerat dengan omzet gigantis seperti Jakob Oetama tetap menginjak bumi.
Jakob tetap berpenampilan bersahaja dan menjadi manusia sederhana di tengah seniman-seniman Yogyakarta yang berkaos kumal, bersandal jepit, dan/atau berbatik murah saat acara Pasar Jakoban (seni) berlangsung saban tahun di Bentara Budaya Yogyakarta.
Pendirian galeri seni Bentara Budaya di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta adalah pembuktian Jakob Oetama bahwa ia tetaplah manusia budaya; bahwa menjadi jurnalis tidak menghalanginya untuk menjadi pengusaha; bahwa menjadi jurnalis dan sekaligus pengusaha tidak melunturkan cintanya kepada seni, kepada kebudayaan.
Selamat jalan, Pak Jakob Oetama. Jalan keutamaan bisnis Bapak mayan abot, tapi diiya-iyakan aja dulu. Besok-besok aja dipikirkan, syukur-syukur dilakoni.
* Pertama kali diterbitkan Mojok.co, 10 September 2020