Kita Mau Apa Kalau Minang Niat Minggat dari Negara Pancasila?

“PRRI tidak memberikan perlawanan? Orang Minang hanya pintar berdagang.”

—Kolonel Ahmad Yani, pemimpin operasi penumpasan PRRI di Sumatera Barat.

Saya bisa memaklumi kalau Ketua DPR RI, Dr. (H.C.) Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.I. Kom. menunjuk Sumatera Barat sebagai provinsi yang jauh dari “Negara Pancasila”. Paling tidak, “Negara Pancasila” yang selama ini diidealisasikan pelaksana negara.

Parameternya satu: semua sila dari Pancasila jika diperas, bukan menjadi “keADILan sosial” atau “keMANUSIAan yang ADIL dan berADAB” atau “keTUHANan” atau “keRAKYATan”, melainkan “per-SATU-an”.

Harus ber-SATU, walaupun nggak adil, nggak beradab, nggak merakyat.

Sejarah penyusunan konstitusi menunjukkan bahwa penantang utama idealisasi “Negara Pancasila” model “NKRI Harga Mati” adalah orang Minang yang menubuh dalam diri Mohammad Hatta.

Bahkan, sejak ide “per-SATU-an Indonesia” itu dalam bentuk zigot di pikiran Sukarno, Hatta sudah mati-matian mengadangnya dengan mempelesetkannya dengan “per-SATE-an”. Dan, kita tahu jua, Dr. (H.C.) Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.I. Kom. adalah generasi ketiga dari garis keturunan langsung Sukarno.

Pertimbangan “per-SATU-an nasional” itu juga kemudian bikin Sukarno mau didampingi Hatta dalam peristiwa Proklamasi. Bahwa, perlu ada “faksi Sumatera” yang potensial dan menjadi oposan kuat yang perlu dirangkul.

Sebentar, sebentar. Bukankah ada Mohammad Yamin yang juga dari Sumatra?

Tidak, Yamin hanya singgah lahir di Sumatera Barat. Dia lebih Jawa dari Jawa. Secara ide, Sukarno dan Yamin punya impian dan imaji yang sama tentang imperium “per-SATU-an Nasional”.

Sukarno sendiri memang sudah sering dibikin jengkel oleh orang Minang. Sutan Sjahrir yang berdarah Minang pernah dibuang bersama Sukarno di kamp yang sama di Toba, Sumatra Utara.

Suatu hari, Sutan Sjahrir jengkel dengan Sukarno yang berlama-lama di kamar mandi sambil menyanyikan “One Day When Were Young” dari Great Waltz: One day when were young/ That wonderful morning in May/ You told me you loved me/ When we were young one day.

Dalam adegan “dilarang menyanyi di kamar mandi”—pinjam judul cerpen Seno Gumira Ajidarma—Sjahrir mengucapkan kata-kata telangas: “Houd je mond!”

Ditegur demikian, Sukarno marah sekali!

Bayangkan, seorang presiden dibentak “seorang bawahan”. Tentu saja, bukan sekali itu saja Sjahrir bikin murka Sukarno. Berkali-kali.

Sampai pada suatu hari, tepatnya 21 Juli 1960, Sukarno selaku presiden memanggil pimpinan Masyumi dan PSI di Istana Merdeka. Dua partai itu, entah kebetulan atau tidak, sama-sama dipimpin tokoh berdarah Minang. Masyumi oleh M. Natsir, PSI oleh Sjahrir.

Pemanggilan tokoh teras dua partai peserta Pemilu 1955 itu untuk mendengarkan secara langsung partai mereka dibubarkan dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan PRRI.

Yang menarik dari peristiwa itu adalah foto bagaimana Sjahrir duduk bak pesakitan di hadapan Sang Garuda bernama Sukarno. Sjahrir yang pernah menjadi Perdana Menteri, ketua DPR (dulu: KNIP), dan ketua delegasi perundingan Indonesia-Belanda, dengan mengenakan setelan jas putih-putih, hanya duduk merengut mendengarkan nasib buruknya dibacakan langsung oleh “sahabatnya”.

Foto nomor 92 yang membikin hati trenyuh itu dimuat di buku foto karya Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir (2010).

Satu setengah tahun kemudian, Sjahrir ditangkap dan dibui di penjara Madiun, Jawa Timur. Sementara, M. Natsir yang juga pernah menjadi Perdana Menteri, ditangkap dan dipenjarakan oleh Sukarno di Batu, Malang, Jawa Timur.

Dalam konteks “Pancasila”, partai yang dipimpin M. Natsir ini, selain tertuduh sebagai pihak yang berkomplot dalam pemberontakan PRRI, juga menjadi batu sandungan yang liat dari usaha Presiden Sukarno yang ingin “kembali ke UUD 1945”.

Di Dewan Konstituante yang gagal merumuskan asas baru dengan suara yang bulat itu, Masyumi (di dalamnya tokoh-tokoh Muhammadiyah banyak) yang dipimpin oleh tokoh berdarah Minang itu dipandang sebagai biang kerok oleh kubu nasionalis yang tidak mau “meneken kesepakatan asas” jika tidak mengembalikan “sila pertama Pancasila yang (di)hilang(kan)”.

Bagi sosok seperti M. Natsir, ayo, mari ber-Pancasila, asal “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalau nggak, ya, situ aja, kita ogah.

Pancasila 22 Juni ’45 yes, Pancasila 18 Agustus ’45 no.

Kira-kira begitu.

Mau “minggat”, tetapi (masih ada) “cinta”

Singkat kalimat, hubungan antara Minang dan Negara Pancasila seperti foto legendaris di mana tiga bung—Sjahrir, Hatta, dan Karno—duduk bersama dalam satu bingkai sesaat sebelum bertolak ke Yogyakarta pada malam 4 Januari 1946.

Di kursi panjang itu, Sukarno duduk diapit Sjahrir dan Hatta. Dua pengapit itu terkesan menjaga jarak. Posisi duduk Hatta miring ke luar bingkai seperti tidak mau mendekati Sukarno.

Sjahrir lebih-lebih lagi, ia bahkan menggeser posisi duduknya seperti orang yang ingin cepat-cepat pergi, tetapi tidak enak.

Nah, Minang itu seperti posisi duduk Hatta dan Sjahrir itu: pingin minggat, tetapi nggak enak! Pengin cerai, tetapi (mungkin) masih ada cinta.

Itulah bedanya dengan Papua dan Aceh yang mengungkapkan semuanya secara frontal. Minang nggak. Nggak enak mengutarakan “gugatan cerai”.

Mau cerai bagaimana kalau tokoh-tokoh dari Minang yang dipenjarakan Sukarno justru dianugerahi oleh “Negara Pancasila” sebagai Pahlawan Nasional?

Atau, dalam kalimat yang adiluhung: betapapun, orang-orang terpelajar Minang adalah penyumbang gagasan ke-Indonesiaan utama, adalah manusia-manusia revolusi penegak Republik.

Serba tidak enak.

Atau, seperti kalimat “ngehek” dari Kolonel Ahmad Yani yang sudah dikutipkan pada awal tulisan ini, mana berani orang Minang melawan yang tahunya cuma berdagang itu?

Sampai di sini, ujaran Ketua DPR RI, Dr. (H.C.) Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.I. Kom., yang sekaligus cucu Sukarno itu—dan bagaimana (elite) Minang meresponsnya—tidak terlalu mengagetkan.

Sekadar ulangan tengah semester mapel sejarah Indonesia.

Itu.

* Pertama kali dimuat di Mojok.co, 13 September 2020