Akhirnya, Jawa Pos Minggu bertransformasi. Titik balik itu dimulai 24 Agustus saat Indonesia memasuki bulan resesi di mana lantai bursa tiada hari tanpa batang lilin merah atau bearish. Dari format koran 6/7 kolom menjadi tabloid.
Tentu saja, ini tidak sekadar transformasi bentuk, melainkan konten. Isi makin sedikit dengan jumlah halaman justru mengalami pertumbuhan signifikan. Sementara, “seniman” yang menata isi justru memiliki ruang yang lebih besar untuk melakukan “eksperimen” seni.
Sesungguhnya, kegelisahan jurnalis bakal “ditinggalkan” pembaca berlangsung sejak 2005. Pada tahun itu, nyaris semua koran nasional—termasuk Jawa Pos—melakukan reposisi bentuk dari yang “normal” 9 kolom menjadi 6/7 kolom. Yang paling mencolok saat itu adalah Koran Tempo yang mengubah diri ke dalam bentuk tabloid, tetapi tetap mempertahankan keasliannya sebagai koran harian.
Perubahan bentuk itu dikenal dengan istilah “wajah kompak”. Selanjutnya, perlahan kita tahu koran menjadi etalase dan eksperimen seni dalam perwajahannya. Jawa Pos dan beberapa radarnya di dekade kedua abad ini tampil atraktif di halaman depan. Biasanya, foto di halaman depan koran melulu bingkai persegi.
Dengan perubahan bentuk, visual karikatur atau montase dalam ukuran yang tidak lazim terasa bergairah.
Saking atraktifnya, perwajahan itu bukan hanya memancing mata untuk mendekat. tetapi juga mengundang amarah. Perwajahan “seni montase” Radar Bogor bulan Mei setahun silam mengalaminya. Kantor redaksinya digerebek oleh pengikut partai pemenang pemilu 2019 karena seni montase itu dianggap menghina Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004).
Saban bulan, Koran Tempo mesti berhadapan dengan risiko karena “seni perwajahan”-nya. Paling mutakhir yang bikin greget tentu saja edisi “Garuda Pancasila” yang terkoyak di pengujung Agustus 2020.
Umumnya, wajah koran menjadi tidak pernah serupa seperti biasanya tatkala ada “peristiwa besar” seperti korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, bencana alam, pandemi, atau peringatan hari-hari penting kebangsaan (Proklamasi, Sumpah Pemuda, Pahlawan). Para pemenang wajah koran terbaik yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) saban tahun biasanya lahir saat koran merespons “peristiwa-peristiwa khusus” tersebut.
Kompas edisi “enam bulan korona” pada 2 September menampilkan halaman depan yang tidak biasanya. Seni grafik sederhana sehalaman penuh, tetapi terasa di ulu hati, terbaca kemarahan yang tertahan di sana melihat dokter terus disantap maut, sementara pemerintah makin “cilukba” saja kebijakan-kebijakan penanganannya.
Perjumpaan
Dari sudut pandang seni rupa, fenomena perubahan di koran ini penting untuk direfleksikan. Kita tahu jua, setelah Visual Art, Arti, Sarasvati, dan beberapa lagi majalah seni yang tidak pernah tumbuh menjadi industri yang sehat bertumbangan dimangsa oleh keterbatasan dana, koran yang bersifat “umum dan masif” menyediakan diri, memberi ruang potensial. Jika edisi harian tidak maksimal, potensi itu muncul saat edisi rehat (Minggu).
Edisi-edisi “akhir pekan” Koran Tempo, J Plus (Jakarta Post), Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia Weekly, Kompas, dan Jawa Pos Minggu terasa lapang, berwarna, dan menyegarkan, tetapi tidak kehilangan ciri khas dasarnya sebagai “jurnal peristiwa”.
Kompas, sekali lagi, secara verbal sudah lama melibatkan seniman untuk terlibat dalam mengisi halaman berwarna. Ruang sastra dan budaya, misalnya, rutin memakai foto karya-karya seni yang bukan sekadar pelengkap “esai/berita” seni.
Saat peringatan Sumpah Pemuda setahun silam, Kompas memanggil secara khusus seniman-seniman muda untuk membalur seluruh halaman “Edisi Khusus” dengan warna-warna khas dalam seni rupa. Jadilah halaman koran yang biasanya bersih belepotan dengan “cat” yang ditumpahkan.
Respons terbaru yang dilakukan Jawa Pos Minggu pada pekan pertama September adalah bukti bagaimana seni rupa bisa sangat akrab dengan halaman koran dengan kertas “buram” yang bukan ivory sebagaimana kita temukan di majalah-majalah seni.
Tidak pernah dalam sejarah koran yang terbit pertama kali pada 1 Juli 1949 di Surabaya ini muncul dengan memaksimalkan karya-karya seni rupa di hampir seluruh bidang halamannya.
Art Jog dalam pagelarannya di tahun anomali ini mendapatkan posisi ruang yang kian meluas berkat transformasi koran edisi akhir pekan ini.
Kesalingterkaitan antara dunia jurnalis dan seni rupa yang mengejawantah dalam “kebijakan ruang cetak” edisi akhir pekan ini sudah sepatutnya disyukuri. Tentu saja, ini bukan soal belas kasihan, melainkan keterkaitan yang panjang dalam sejarah di mana dunia seni rupa harus diakui turut dibesarkan oleh kultur jurnalistik.
Perdebatan-perdebatan seni dalam bentuk esai maupun rekaman peristiwa seni/budaya dalam banyak hal diwadahi oleh koran yang terbit ajek.
Saat terlibat dalam pencatatan kronik seni rupa yang ekstensif, misalnya, saya menemukan titik simpul bahwa mencari cerita harian seni rupa Indonesia yang kaya dan dinamis di masa yang jauh, Anda hanya perlu membuka koran harian. Kini, saat koran melakukan transformasi, ide seni dan karya-karya seni rupa dalam pelbagai genre makin mendapatkan ruang yang luas dan keterjangkauan pembaca yang masif. Saya menebak, suatu hari nanti, bukan hanya sastrawan yang diundang ke sidang redaksi pers untuk curah ide, tetapi juga para seniman yang bergulat dengan kanvas/media kaya warna.
Sesungguhnya, halaman koran itu adalah kanvas atas kehidupan di mana kita terus merenungkan hidup yang lelah.***
# Dipublikasikan pertama kali Jawa Pos Minggu, 13 September 2020