[INILAH RESENSI] Meresensi Buku Resensi | Firda Rihatusholihah

Berapa banyak resensi yang pernah kamu baca? Tak terhitung? Nah, dalam Inilah Resensi, Muhidin M. Dahlan mengumpulkan 250 resensi buku lintas zaman dan lintas aliran. Resensi tertua yang ia cantumkan terbit pada 1902, ditulis oleh Tirto Adhi Soerjo, sedangkan yang terbaru terbit pada 2015, oleh Bandung Mawardi.

Kalau diibaratkan dengan warung, buku ini layaknya warung prasmanan, menyediakan beragam “lauk-pauk” untuk dipilih. Tak hanya asal mengumpulkan resensi, Muhidin yang kerap disapa Gus Muh mengelompokkan dan menempatkannya pada konteks yang dibicarakan pada tiap bab dan sub bab. Ada tiga bagian dalam Inilah Resensi, dan berikut ini adalah penjelasannya.

Bagian pertama diisi oleh resensi para tokoh terkemuka di Indonesia: Soekarno, Hatta, Poerbatjaraka, P. Swantoro, Sumitro, dan terakhir, H.B Jassin. Terlepas dari perbedaan aliran politik tokoh-tokoh tersebut, Muhidin mengajak pembaca menyelami cara mereka meresensi beragam bacaan dalam topik yang sama. Misalnya, Soekarno dengan buku-buku politik, dan Poerbatjaraka dengan naskah-naskah Jawa.

Lalu, pada bagian kedua, ia mengambil contoh resensi “kontroversial”, entah yang menimbulkan perdebatan atau kecaman dari sang penulis. Seperti pada resensi buku Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wick, oleh Abdullah yang menggugat penulis melakukan plagiasi.

Dua bagian ini, saya rasa cukup sebagai appetizer sebelum lanjut ke bagian ketiga yang menjadi inti buku ini.

Berikutnya, di bagian ketiga ini lah kamu bisa “berburu” macam-macam teknik penulisan judul, lead, narasi utama, dan tak kalah penting, kesimpulan.

Menilik bagian ketiga, ada beragam “gaya” yang bisa kamu pilih untuk membangun kerangka resensi, kebanyakan ditujukan untuk resensi yang diterbitkan di media massa.

Muhidin memulainya dengan pemilihan judul, walau terkadang judul adalah hal terakhir yang dipikirkan ketika naskah selesai. Ia menyodorkan lima belas macam judul yang menurutnya umum digunakan peresensi, dari yang “menggelegar” hingga “kaku” macam konblok di halaman rumah.

Setelah judul, pembaca disuguhi lima belas contoh-contoh penulisan lead atau paragraf pembuka.

Muhidin kembali menegaskan rahasia umum bahwa bagi peresensi dan penulis pada umumnya, hal paling sulit saat memulai menulis ada di paragraf pertama, yang nahasnya justru menjadi kunci memikat pembaca. Terlebih pembaca cenderung memilah-milah, mana yang menurutnya paling penting diantara ribuan tulisan di platform digital juga cetak.

Sebagus-bagusnya sebuah lead tentu paragraf pendukungnya tak boleh kurang bagus. Poin-poin penting yang disarankan Muhidin tak kalah banyak dengan contoh lead, bahkan lebih, mencapai tujuh belas poin. Bagi Muhidin, narasi paragraf pendukung menunjukkan lancar tidaknya si peresensi merangkai kata. Maksudnya, kelancaran ditentukan oleh seberapa “mulus” ia melakukan transisi antar paragraf. Sebuah pernyataan yang klise, seperti yang diajarkan di kelas-kelas menulis. Namun, memang demikian harusnya, toh pembaca tidak akan suka dengan paragraf yang patah-patah.

Selanjutnya, bagian mana yang tidak kalah susah dibuat selain paragraf pertama? Ya, penutup! Tulisan tidak bisa tiba-tiba diakhiri tanpa sebuah penutup, seperti olahraga tanpa pendinginan.

Dalam Inilah Resensi, penulis menekankan bahwa kerja menulis penutup ialah kerja kreatif. Bukankah seluruh bagian resensi juga hasil kerja kreatif? Tentu saja, tetapi barangkali Muhidin hendak menegaskan bila penulisan penutup sama halnya dengan “mengunci paragraf”, sebuah frasa yang ia sematkan sebagai sub judul.

Berbicara soal pemilihan kata “mengunci”, artinya penutup harusnya selesai dan tuntas. Karena itu, butuh cara yang kreatif pula untuk bisa mengunci paragraf resensi tanpa membuat pembaca melongo saat menyudahi bacaan. [Firda Rihatusholihah]

Judul : Inilah Resensi
Penulis : Muhidin M.Dahlan
Penerbit : I:BOEKOE, Bantul
Tahun terbit : Februari, 2020
Halaman : 256 hlm.

/ Disalin dari Medium.com, 4 Oktober 2020 /