Gerakan Buruh di Tengah Pandemi Influenza

DALAM sejarah pandemi 1918 yang berlangsung di Yogyakarta, ada koinsidensi gerakan sosial yang menarik. Saat flu spanyol menghantam DIY dan angka kematiannya terus naik, justru gerakan sosial yang dihelat para bangsawan tercerahkan membuncah.

Flu spanyol—atau masyarakat membahasakannya sebagai wabah influenza—mengambil begitu banyak nyawa. Terutama, di kabupaten dengan akses kesehatan sangat buruk seperti Gunungkidul. Deret ukur angka kematian memilukan itu dimulai pada April 1918.

Memang, bukan hanya di Yogya, melainkan beberapa kota besar dilanda Influenza gelombang pertama pada 1918. Sebut saja Batavia, Surabaya, hingga perkebunan-perkebunan di Deli, Sumatra Utara.

Namun, sejarah pageblug ini juga diikuti menaiknya tendensi gerakan sosial radikal di kawasan “Joglosemar”: Jogja-Solo-Semarang.

Penghelat gerakan sosial dominan yang menguasai tiga kota ini adalah Sarekat Islam (SI). Mulanya, Boedi Oetomo (BO). Lantaran ditinggalkan angkatan progresifnya di tahun-tahun awal, jadilah Sarekat Islam berkembang sangat pesat. Bukan saja para pedagang yang turut ambil bagian, melainkan kelompok priyayi dan bangsawan.

Sarekat Islam yang memperlihatkan tendensi gerakan radikal itu pun, ya, hanya SI di kawasan Joglosemar itu. Lainnya tidak.

Sekadar perbandingan, Surabaya yang menjadi episentrum Sarekat Islam di mana Hadji Omar Said Tjokroaminoto yang menjadi presiden Centraal Sarekat Islam (CSI) berdiam, justru sibuk dengan isu penghinaan agama di waktu saya sama. Yang digebuk dalam suasana pageblug influenza itu pun justru Sarekat Islam Surakarta sebagai yang paling bertanggung jawab atas pelecehan atas Nabi Muhammad Saw.

Isu sensitif ini dijual secara renteng oleh beberapa elite CSI ke mana-mana hingga ke Bengkulu, Jambi, Palembang. Bahkan, Tjokroaminoto membikin nota laporan tentang perkembangan kasus ini kepada Gubernur Jenderal.

Namun, para pegiat Sarekat Islam di Joglosemar bergeming. Alih-alih ikut arus Surabaya yang ditengarai isu itu dikendarai untuk mempermulus jalan beberapa tokoh elite CSI mendapatkan kursi di Volksraad atau (Dewan Perwakilan Rakyat) yang resmi dibuka Gubernur Jenderal Paul Graaf van Limburg Stirum pada 18 Mei 1918.

Para penggawa penting Sarekat Islam di Joglosemar mengerek isu sendiri yang kelak menjadi gerakan sosial dengan meninggalkan milestone sejarah gerakan buruh di Indonesia.

Tentara Boeroeh Adidarmo

Masa kesusahan dan keresahan atas kesehatan masyarakat yang memburuk membikin kemampuan pemerintah sedikit melemah. Kondisi itu ditangkap oleh Sarekat Islam Semarang, Solo, Yogyakarta untuk menghimpun tenaga dan pikiran lewat macam-macam vergadering.

Aksi-aksi pemogokan buruh berskala kecil dan partikular meletup dan disokong sepenuhnya Sarekat Islam dimulai pada Februari 1918.

Misalnya, saat lebih kurang 300 kuli yang bekerja pada pabrik industri mebel Andriesse di Poncol, Semarang, melakukan aksi, Sinar Djawa yang menjadi surat kabar Sarekat Islam terus mengawal isu ini. Dengan pengawalan isu seperti ini lewat media, spektrum gerakan terjaga kontinuitasnya.

Sementara di waktu yang bersamaan, Sarekat Islam Yogyakarta yang dipimpin Raden Mas Soerjopranoto melakukan inisiasi membangun kantong gerakan sosial penyelamatan atas nasib buruh. Nama organisasi itu adalah Tentara Boeroeh Adidarmo. Soerjopranoto sendiri mengetuai Tentara Boeroeh ini. Soerjopranoto adalah kakak dari R.M. Soewardi Surjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara.

Kelak, Tentara Boeroeh Adidarmo ini menjadi laskar inti pemogokan di masa pandemi. Terutama, di tahun berikutnya yang membikin seantero Jawa menjadi panggung raksasa protes kaum buruh.

Tentara Boeroeh ini tidak sekadar instrumen gerakan yang dibikin dadakan. Bahkan, untuk memperkuat daya jangkau dan cekau, Adidarmo membikin surat kabar official bernama Medan Budiman.

Di Medan Boediman inilah—juga Sinar Djawa—seluruh pekerjaan laskar inti perjuangan buruh direkam dan disebarluaskan.

Bagi Soerjopranoto, membela kaum buruh adalah tugas adidarmo, adalah darma agung dan mulia yang bisa dilakukan kalangan bangsawan yang mendapat privelese di balik tembok tebal keraton untuk menolong orang-orang resah, orang-orang lemah.

Mestinya, visi sosial ini menjadi pelentik mengapa Sarekat Islam berdiri dan disambut dengan antusias penuh: menolong umat yang lemah oleh sistem dan tatanan Orde Kolonial.

Termasuk, menyoroti undang-undang perkebunan yang mencekik buruh. UU itu bernama “Poenale Santie” yang oleh tentara buruh dianggap lebih kejam ketimbang pandemi pes dan influenza.

Poenale Santie atau aturan sanksi bagi kuli perkebunan ini merupakan peraturan yang melindungi hak pemilik perkebunan untuk memaksa para kuli jika terjadi pelanggaran kontrak. Jika pes atau influenza bisa membunuh dengan cepat tanpa melewati penderitaan yang panjang, besluit ini justru membunuh rakyat secara perlahan dan perlahan.

Artinya, ada dua perjuangan yang digariskan Sarekat Islam Joglosemar. Perjuangan di lapangan aksi dan perjuangan membelejeti teks-teks kolonial yang menyengsarakan buruh.

Dengan begitu, tidak ada jalan lain kecuali semua elemen kaum buruh dipersatukan. Sebelum persatuan semua gerakan buruh mendapatkan payung besar setahun berikutnya, kita bisa melihat langkah-langkah kecil dilakukan pada mula-mulanya.

Misalnya, Tentara Boeroeh tidak ingin menjadi eksklusif berjuang sendiri. Karena itu, Raden Gondowidjojo, anggota Tentara Boeroeh Adidarmo dan sekaligus redaktur majalah Medan Boediman ditunjuk Soerjopranoto untuk menjadi Presiden ISDV Cabang  Yogyakarta.

ISDV atau Indische Sociaal-Democratische Vereeniging berpusat di Semarang dengan dipimpin Sneevliet yang saat permulaan pemogokan buruh ini ditangkap dan dijebloskan dalam penjara.

Tentara Boeroeh Adidarmo berpikiran bahwa gerakan menjadi lincah dan efektif bila yang sehaluan saling berkongsi. Sarekat Islam di wilayah Joglosemar berkeyakinan ISDV adalah partner paling tepat dalam berpikir dan beraksi. Terutama, dalam gerakan protes buruh.

Dari sini kita menjadi tahu bagaimana gerakan buruh juga digerakan oleh para raden mas atau bangsawan. Sejarawan UGM, Budiawan, menyebut para raden mas yang berpikiran seperti ini adalah bangsawan yang bersulih jalan.

Raden Moeso, Raden Mas Soerjopranoto, Raden Djojodiwirjo, serta Raden Sastrowijono yang menjadi bangsawan pendiri Adidarmo di Yogyakarta ini adalah bangsawan-bangsawan yang bersulih jalan. Yakni, dari jalan menjadi ambtenaar ke jalan protes sosial dan pembebasan buruh yang lemah dan tertindas di tengah pageblug influenza.***