Pelacur dan Pergerakan: Serenade untuk Balon-balon Pengabdi Negeri

“Pelacur adalah revolusioner terbaik… mata-mata terbaik di dunia.” ~IR. SUKARNO, Pendiri RI dan kakek Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi.

“Klangenan itu selir. Dan kroncong, ludruk ketoprak itu, balon (pelacur).” ~KUSBINI, komposer dan penggubah Lagu Padamu Negeri.

Ada satu buku paling komprehensif memotret tentang dunia pelacuran, dunia sundal, dunia bunga sedap malam, dunia jalir, dunia balon di seluruh Indonesia. Judulnya, Sex For Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia. Buku yang disusun jurnalis Yuyung Abdi ini seperti buku toponim keluaran pemerintah yang merangkum informasi ringkas kampung-kampung yang tumbuh bersama kota.

Berbeda segalanya dengan buku toponim keluaran pemerintah yang digarap ala kadarnya, buku ini masuk dalam jenis table book. Album foto.

Mirip dengan buku pariwisata nasional yang penuh warna dan kertas terbaik. Namun, ini wisata M-A-L-A-M. Malam adalah lema sempurna yang bulat. Palindrom. Mau dibaca ala Latin (kiri ke kanan) atau Arab (kanan ke kiri), malam tetaplah malam. Bulat seperti balon—pinjam istilah komposer Kusbini.

Dari seluruh halaman itu, buku ini dibuka dengan halaman yang membuat saya takjub tiada terkira. Foto-foto cabul? Oh, tidak!

Bagi Anda yang sering bepergian dengan pesawat dan membaca majalah-majalah kapal terbang yang disediakan di kantong kursi, nah ada halaman yang tidak pernah absen di in house magazine itu. Yakni, halaman rute penerbangan yang berisi peta Indonesia lengkap dengan garis-garis panah tumpang-tindih dari dan tujuan kota asal.

Sebagaimana dunia penerbangan, dunia balon juga memiliki zona persebaran dengan kota-kota yang menjadi pusat sebarnya. Pusat penerbangan balon untuk jalur barat berada di Jakarta. Jalur tengah di Semarang. Sementara, Surabaya fokus untuk jalur penerbangan timur.

Yuyung Abdi, pewarta foto Jawa Pos ini, lalu membuat 56 titik kampung-kampung kota. Dari Padang Bulan (Medan) hingga Belrusak (Merauke); dari Teh Poci (Semarang) hingga Pal 12 (Sampit); dari Saritem (Bandung), Sarkem (Yogya), Silir (Solo), hingga Sungai Saddang (Makassar) dan Tondo Kiri (Palu); lalu, dari Dolly (Surabaya) hingga Amoy (Pontianak) dan Teluk Pandan (Batam).

Tentu saja, Jakarta tetaplah ibu kota. Tidak ada yang lebih besar dari Jakarta. Kramat Tunggak yang menjadi latar film Anjing-Anjing Geladak (1972) boleh diratakan dan di atasnya dibangun Islamic Centre. Namun, itu tidak bisa meredupkan gemerlap balon-balon Jakarta. Jakarta adalah ibu kota Indonesia, sekaligus ibunya bunga Polianthes tuberosa, ‘bunga sedap malam’. Bunga dari Asmat, Papua, ini kerap disebut bunga sundal malam.

Di titik-titik kebun bunga sedap malam itu, Polianthes tuberosa itu, kebun bunga sundal itu, kamera Yuyung mengabadikan sebuah peradaban tua manusia. Yuyung mengonfirmasi, setiap kota memiliki kampung bertitik merah. Titik yang tidak pernah ada di brosur perjalanan wisata pemerintah kota yang diperbarui tiap tahun.

Saya tidak ingin mengulangi apa yang sudah dibidik fotografer “majalah flora” itu—Polianthes tuberosa itu masih bagian dari flora.

Yang ingin saya sampaikan adalah, hai Dinas Pariwisata, hai pemangku kuasa masa kini, berterus teranglah. Bahwa zona merah itu punya kontribusi besar menghidupkan malam-malam yang membosankan dalam kota. Masukkan kampung sundal malam itu dalam brosur yang ditempatkan di depan meja resepsionis hotel, atau restoran, atau yang dibagi-bagi di pameran pembangunan.

Kembang sundal malam itu pelaku wisata yang aktif. Tidak hanya itu, mereka itu juga punya kontribusi bagi konsolidasi pergerakan awal menuju kemerdekaan nasional.

Tirulah Sukarno, pendiri Republik ini. Dengan penuh terus terang, si Putra Sang Fajar ini tahu betul potensi bunga sedap malam bagi suksesnya revolusi nasional. Terutama, dunia intelijen, dunia spy, dunia mata-mata.

Bahkan, selain penyumbang lema “AMOK” dalam kamus Oxford, Indonesia juga menyumbang ratu spy di jagat intelijen, yakni Mata Hari.

Soal begitu mulia dan tingginya kedudukan patriot-patriot revolusioner bunga sedap malam itu bisa dibaca di halaman 83 hingga 86 dari Sukarno: An Autobiography karya Cindy Adams (The Bobbs-Merril Company, 1965).

Tidak ada satu pun biografi para pemimpin Indonesia yang menempatkan pelacur pada posisi yang “mulia”. Sukarno yang membela habis-habisan para pelacur itu untuk masuk menjadi anggota khusus Partai Nasional Indonesia (PNI).

Tidak tanggung-tanggung, Saudara, jumlahnya 670 orang. Jumlah yang fantastis!

Ada penentangan? Tentu. Ali Sastroamidjojo tidak setuju karena, ya, “bikin malu”. Nggak bermoral. Kader di banyak kota sudah begitu banyak, eh, di Bandung, di pusatnya PNI, malah merekrut kader yang beginian. Apa-apaan ini.

Sukarno maju ke depan melakukan pembelaan, baik sisi siasat maupun kemanusiaan. Dari sisi siasat, mana lagi tempat paling aman dari intaian polisi selain tempat pelacuran? Mau rapat pembangkangan, kok, di sekretariat, ya, kalian mudah dicokok.

Jika pun tertangkap, dan memang Sukarno tertangkap di rumah pelacuran itu, Sukarno bisa berdalih. Sialnya, Cindy Adams, si penulis biografi, tidak mengejar keterangan Sukarno di mana tepatnya rumah bordil di Bandung itu. Saritem? Sebab, itu bisa menjadi situs sejarah penting setara dengan Rumah Pancasila di Ende atau rumah-rumah pengasingan Sukarno di Banda Neira, Berastagi, dan Bangka.

Apa jawab Sukarno saat di-BAP? Kira-kira begini jawaban Sukarno: “Woiii, isilop babi. Kau kira laki-laki kalau ke sana itu mau ngapain. Berdoa? Ya, ngencuk-lah!” (Ya, Sukarno memang nyebut isilop Hindia itu sebagai babi gemuk).

Dari sisi kontribusi buat partai, para perempuan pelacur jelas terdepan. Satu, pertemuan umum selalu ramai karena kader laki-laki punya alasan untuk datang. Bahkan, aku Sukarno, balon-balon revolusi ini kerap juga “dipakai” kader-kader PNI.

Dari sisi isi dompet, kader berduit adalah pelacur. Mereka penyumbang kas partai yang aktif. Sukarno sendiri sumbangannya untuk kas partai diambil dari honor artikelnya di koran.

Sambil Sukarno menyindir habis-habisan kader-kader laki-laki yang umumnya kere-nya nauzubillah itu, keluarlah kata-kata pamungkas ini: “They make the best revolutionaries. Prostitutes are the best spies in the world.”

Selain sebagai “kader revolusioner terbaik” (jika dididik benar dalam kurpol), Sukarno menyebut kader spesial ini sebagai “tentaraku yang cantik-cantik”. Dengan laskar bunga sedap malam inilah, Sukarno melakukan strategi perang urat syaraf.

Disebabkan para jelita revolusioner ini mengantongi nama-nama pejabat negara, jika ada suatu pertemuan besar di Societeit Concordia, mereka berdiri di sudut-sudut Braga yang dilalui pejabat laki-laki yang sedang menggandeng istrinya. Di sinilah perang urat syaraf itu berlangsung.

Jelita revolusioner itu cukup menyebut nama sang pejabat dan mengucapkan “Selamat Malam”. Hanya itu. Namun, apa yang dilakukan para jelita ini membikin, dalam istilah Sukarno, “istrinya bisa gila!”

Itulah salah satu skena perang urat syaraf ala Sukarno berhadapan dengan isilop babi dan pejabat-pejabat kolonial brengsek.

Anda juga, hai revolusioner-revolusioner muda masa kini, bisa menggunakan cara Sukarno bertindak ini. Clue-nya sudah ada di sepanjang awal pekan kedua Oktober 2020 di banyak story IG maupun media sosial, termasuk di banyak grup WhatsApp. Rekrutlah mereka ini masuk dalam barisanmu.

Lihat, sekali lagi, Sukarno nggak sok-sokan menjadi manusia bertopeng moral. Kalau memang punya kontribusi besar bagi perjuangan, posisikan Polianthes tuberosa ini di tempatnya yang semestinya.

Kejujuran itu pula terjadi saat perhelatan akbar Konferensi Asia Afrika yang bikin muntab ormas-ormas Islam. Secara terbuka dan terus terang, pemerintah Kabinet Ali Sastroamidjojo-Zainul Arifin mengonsolidasikan “tentara-tentara cantik” itu menjadi bagian dari “perhelatan nonformal” perjumpaan para pemimpin-pemimpin dunia dari Asia dari Afrika.

Guntingan kliping soal “panitia khusus” ini pernah dibagi akademisi Indonesia yang tinggal di Leiden, Suryadi, di beranda akun Facebook-nya “Surya Suryadi” tepat saat para santri memperingati “Hari Santri Nasional”.

Akhirul kalam, malam sudah hampir selesai di pusat wisata malam Pasar Kembang Yogyakarta. Esai ini pun hampir selesai dituliskan di saat yang nyaris sama dengan Kusbini, salah satu komposer terbaik Republik di tahun 1955, menyelesaikan salah satu komposisi keroncong terbaiknya di Sosrowijayan. Pasar Kembang atau Sarkem ada dalam wilayah administrasi kelurahan yang disebut “kampung internasional” ini.

Kusbini memang tinggal dan sungguh akrab dengan dunia pelacuran tertua di Yogyakarta ini. Kesaksian Lekrais yang masih tersisa saat tulisan ini dimuat, Hersri Setiawan, lagu keroncong Serenade yang kemudian dipopulerkan kembali Hetty Koes Endang itu, selesai digubah di Sarkem tepat saat azan subuh Masjid Syuhada berkumandang.

* Pertama kali dipublikasikan Mojok.co, 25 Februari 2020