5 Panduan Bikin Partai dari Pak Amien Rais untuk Generasi Milenial

Mungkin kalian ingin bilang; alaaah, Bapak Amien Rais. Sudah tua, masih saja haus kekuasaan. Tuh buktinya bikin Partai Ummat. Pasti dia sakit hati ditendang dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Segala macam asumsi-asumsi buruk itu ditimpakan ke wajah Bapak Amien yang memang sudah tampak sangat sepuh. Mestinya, dia seperti Bapak Syafi’i Maarif saja, menjadi begawan. Sesekali bersuara keras atau bergabung dalam barisan pamong BPIP.

Harap diingat, Bapak Syafi’i itu guru besar sejarah yang memang banyak menasehati. Sementara, Pak Amien guru besar politik yang mesti memberi contoh, memberi teladan bahwa membaca buku politik banyak-banyak itu perlu. Namun, alangkah baiknya lebih dini terjun berpolitik praktis. Bahkan, sampai pikun pun tidak soal.

Dalam hal ini, spesimen Bapak Amien Rais mewakili gen yang datang dari kampus, sementara Ibuk Mega mewakili politisi natural-biologis. Dan, keduanya hidup berpartai sampai manula.

Spesies keduanya ini sebetulnya mengejek habis-habisan para milenial atau kelompok umur 30-50 tahun pengkritik pemerintah yang tidak berani membikin partai sendiri walau hasilnya nanti nasakom atau nasib satu koma.

Khusus Pak Amien Rais, sebagai seorang guru besar politik di UGM dan sekaligus juru dakwah Muhammadiyah, ia ingin menyatukan dua identitas itu dalam satu jalan yang praktis. Dan, tidak ada yang lebih praktis, cepat, instan, selain berpolitik praktis.

Saya ingin membaca secara jernih dan akurat maksud dan tujuan Pak Amien Rais itu membikin partai politik baru bernama Partai Ummat agar marwah Pak Amien sebagai guru bangsa tetap tidak tergoyahkan oleh julidnya netijen rekiblik.

Sebut saja ini lima panduan bikin partai ala Bapak Amien. Jika partai ini kelak besar, alhamdulillah. Jika keok lebih awal, yaaa, ini kan sekadar tutorial.

Pertama: Berpolitik sadar sejarah

Sekilas, sulit dimengerti, mengapa Bapak Amien Rais mengumumkan logo Partai Ummat jatuh pada Hari Pahlawan, 10 November, pukul 12 siang. Di tengah kurva pandemi yang enggan melandai pula. Mestinya, saat Iduladha atau idulfitri. Atau, maulid maupun tahun baru Islam.

Agak mudah menjawab ini jika membuka koran Kedaulatan Rakjat jelang pertempuran Surabaya pada November 1945. Di sana, berhari-hari diberitakan ada pertemuan khusus di Yogya dari pemuka-pemuka agama yang melahirkan apa yang disebut dengan “Mosi Kaoem Moeslimin”.

Mosi itu berisi dua poin dan saya tik secara verbatim: (1) bahwa dewasa ini bagi Oemmat Islam Indonesia WADJIB BERPERANG DIDJALAN ALLAH menolak fitnah pendjadjahan dan kedholiman, oentoek menegakkan Agama Allah dan Kemerdekaan Negara Repoeblik Indonesia; (2) mengandjoerkan kepada kaoem Moeslimin toae-moeda sebagai Tentara Allah, ANGKAT SENDJATA.

Persis.

Kalimat tidak lengkap ini, “WADJIB BERPERANG DIDJALAN ALLAH menolak fitnah pendjadjahan dan kedholiman”, disalin Bapak Amien saat konferensi pers via Youtube untuk apa Partai Ummat.

“Menjalankan al amru bil ‘adli dan an-nahyu ‘anidzulmi, yakni menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman,” ucap Bapak Amien.

Bikin partai itu seperti Bapak Amien ini. Harus jelas akar kesejarahannya. Makin jauh, makin bagus.

Bapak Amien sekaligus merevisi tutorial yang pernah ia bikin pada 1998 yang melahirkan Partai Amanat Nasional yang tidak punya kesejarahan yang kuat dengan perjuangan umat, sekadar pluralisme-pluralismean, sekadar bervisi bangsa-bangsaan.

Lihatlah sekarang, bagaimana mental kader-kader bangsa(t) itu. Tidak punya kepekaan nurani sama sekali dengan mencampakkan pembikin tutorialnya sendiri. Ngenes betul. Kok, persis nasib Gus Dur di PKB, ya?

Kedua: Nama menjelaskan siapa konstituen garis depan

Mengapa pula namanya Partai Ummat (Islam) dengan dobel “m”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya menoleransi 1M untuk yang baku, bukannya 2M. Artinya, ini partai khusus, partai yang keluar dari segala yang baku.

Kalau mau bikin partai, mestilah spesifik. Mulai dari nama. Jelas, nama itu ditujukan untuk siapa. Nggak takut menjadi terbatas sekali? Bukan masalah. Soliditas yang penting.

Bapak Amien Rais pastilah tidak pernah takut dianggap kecil. Ia bisa menjadi tukang azan sendirian bagi kekuasaan di saat para cendekia di kampus bersembunyi ketakutan status PNS-nya dibeslah oleh Pak Harto. Bapak Amien berteriak dengan sangat keras tatkala ribuan orang-orang pintar di Muhammadiyah memilih tutup mulut.

Ketimbang merangkul banyak orang seperti omnibus, lebih banyak yang naik nyari makan sesaat ketimbang menghidup-hidupkan partai, lebih baik bikin minibus. Di minibus, semuanya fokus, terlatih, lincah, sergep, rapat, dan satu komando.

Bapak Amien ingin bilang, jika kamu nggak suka sama para perusak lingkungan, bikinlah partai, misalnya, Partai Tanah Air. Tujuannya untuk membela tanah dan air. Harus fokus. Harus berbeda.

Ketiga: Bila perlu, hidupkan yang terkubur

Bukan aib menghidupkan sesuatu yang sudah mati. Jika potensial—dan berdasarkan pertimbangan tetap elegan walau mampus cepat oleh zaman—tidak ada salahnya dihidupkan kembali.

Jika politik adalah zona zombie, Bapak Amien Rais sedang membikin tutorial bagaimana cara praktis menghidupkan yang sudah mati. Anggap saja bagian dari kemukjizatan, sebagaimana yang melekat dalam cerita-cerita nabi, terutama Nabi Isa As.

Partai Ummat itu, misal, dengan mudah kita identifikasi nisannya di KPU sebagai salah satu partai yang mengusung asas Islam yang dikubur pemilu 1999.

Nama lengkapnya Partai Umat Islam atau PUI. Pendirinya, Deliar Noer, seorang ideolog, penulis, dan sejarawan par excellence keluaran Cornell University, Ithaca, New York. Jarak kampus Cornell dengan dari kampus Bapak Amien, Universitas Chicago (UC), Illinois itu jauhnya kurang dikit dari panjang jalan bikinan Daendels, Jalan Raya Pos.

Jurnalis banyak menulis Partai Ummat ini sebagai Masjumi Reborn. Yang benar saja. Bisa nggak, sih, menjaga hati PBB yang sudah lama mengidentifikasi diri sebagai Masyumi yang bahkan Yusril Ihza Mahendra disebut-sebut sebagai Natsir muda.

Saya lebih oke dengan sebutan PUI Reborn. Tidak kecut dengan nasib PUI di kancah perpolitikan reformasi, Bapak Amien?

Puih, jangan pernah lelah berjuang jika sudah menyangkut kezaliman di depan mata. Tandang ke gelanggang walau seorang. Begitu yang sering Bapak Amien dengar dari organisasi kader Pelajar Islam Indonesia (PII).

Bapak Amien Rais tidak pernah takut dicaci, tidak pernah resah dimaki. Bapak Amien bukan tipe politisi kerupuk. Dia tumbuh dalam ruang pedagogi yang kuat, baik di UGM maupun di UC. Juga, kultur dakwah Persyarikatan Muhammadiyah yang liat.

Itulah sebabnya, ayah saya yang buruh tani/nelayan mengidolakan Bapak Amien di kampung yang sangat jauh di Sulawesi sana. Hingga meninggalnya, bapak saya tidak pernah merevisi pilihannya menjadikan Bapak Amien sebagai idola, sebagai simbol pahlawan melawan dajjal politik.

Keempat: Menghidupkan majalah Ummat

Yang bagian ini belum terkonfirmasi. Namun, saya yakin, Bapak Amien Rais memilih jalan yang saya tunjukkan ini. Kalau bikin partai, bikin juga sekaligus mesin dakwahnya.

Sebagai guru besar politik yang bisa menghidupkan yang mati, Bapak Amien pastilah bisa menghidupkan majalah mingguan UMMAT yang juga sudah koit.

Toh, Bapak Amien juga pernah menjadi jurnalis sebuah majalah tertua di Indonesia, Suara Muhammadiyah, pastilah mengerti arti pentingnya media sendiri.

Lihat, cara penulisannya saja sudah sama. Ummat. Cocok.

Saya yakin, Bapak Amien tidak mau mengutak-atik Suara Muhammadiyah. Apalagi, majalah remaja Kuntum. Selain tidak elok, dua majalah tersebut tidak memiliki performa mesin turbo yang menderu dalam jangka pendek. Begitu-begitu saja.

Sebagai bekas ketua umum Suara Muhammadiyah, Bapak Amien jelas lebih tahu dari saya.

Jika Ummat hidup, saya yakin Bapak Amien akan melobi salah satu redaktur majalah mingguan yang saat ini bermain liar tanpa partai tanpa organisasi untuk menjalankan mesin itu. Namanya Farid Gaban.

Dengan merekrutnya sebagai mesin propaganda antizalim, mencabutnya dari Geotimes, Bapak Amien sekaligus membikin Farid Gaban kembali rutin mengaji dan menamatkan juz demi juz Al-Quran secara berkala.

Kelima: Bukan garam, tapi politik cuka

Saat ditunjuk sebagai Ketua Muhammadiyah di Muktamar Aceh pada 1995, Bapak Amien menegaskan bahwa Muhammadiyah memiliki corak “politik garam”.

Suatu sikap politik yang tidak pernah berkasak-kusuk atau membangun lobi untuk mencapai kursi eksekutif maupun legislatif yang real.

“Jangan lupa, Muhammadiyah lebih menggunakan politik garam, banyak diam tetapi terasa dan bermanfaat bagi masyarakat. Jadi, Muhammadiyah tidak memakai politik gincu, atau politik bendera yang berkibar-kibar dengan suara menggelegar tetapi wujud konkretnya sulit dicari,” kata Bapak Amien di sesi wawancara dengan majalah Tiras, 12 Januari 1995.

Artinya, Bapak Amien Rais berhenti membawa-bawa nama Muhammadiyah secara keorganisasian. Biarlah organisasi tumbuh bersama sekolah dan rumah sakitnya. Biarlah, Muhammadiyah konsentrasi dengan banyak amal sosial.

Namun, tidak kader-kadernya sebagai bagian dari satu saf besar bernama “UMMAT”. Bapak Amien membidik manusianya, bukan organisasinya. Termasuk, dari jemaah NU (para Gusdurian juga boleh), Persis, ikhwanul Muslimin, Dewan Dakwah, jaulah-jaulah, komunitas habib, hingga para marbot masjid/musala yang tidak menampakkan afiliasi keorganisasiannya.

Filternya satu, mau menerima dan melaksanakan gaya berpolitik cuka. Bapak Amien tidak lagi bermain “berdiri di atas semua golongan kebangsaan”. Seumat saja cukup. Bahkan, ini sudah sangat merepotkan kelak.

Sebagai penerjemah dan pembawa pikiran-pikiran Ali Syariati di Indonesia pada akhir tahun 80-an—juga peniup terompet kebencian terhadap Israel dan semua sekutunya—Bapak Amien jelas menerapkan “politik cuka”.

Semua kader binaan yang saya sebut sebagai Aminisme (jangan kau balik-balik menjadi Animisme) adalah mereka yang konsisten bikin kecut atas kekuasaan yang zalim. Sebagaimana gaya Bapak Amien Rais, politik cuka ala Aminisme akan membuat siapa pun kecut apabila terlibat dalam persekongkolan jahat, baik di dunia virtual maupun jalanan.

Demikianlah, pembaca, soal siapa yang sesungguhnya yang zalim di masa kini, apakah Presiden atau Wakil Presiden, Bapak Amien Rais belum mengeluarkan statemen terbaru.

Saya masih bersetia menunggu eceran selanjutnya. Namun, slogannya jelas, siapa pun terlihat zalim, hanya satu ludah dari Bapak Amien untukmu: Puih!

Partai Ummat? Puih!

Loh, loh, kok?

Itu!

* Pertama kali dipublikasikan di Mojok.co, 10 November 2020