Katakanlah, Gubernur Anies sudah Sampai di Bab 4 “How Democracies Die”

Hari Minggu di pekan ketiga November, Gubernur Jakarta mengeluarkan fotonya sedang membaca buku bersampul hitam di ruang keluarga. Katakanlah, ia sudah sampai pada bab empat buku karya Levitsky dan Ziblatt itu.

Bab 4 dalam How Democracies Die (2018) itu dibuka oleh 8 paragraf tentang breakout sekaligus breakdown demokrasi di Peru di masa senjakalanya blok komunis di Eropa. Dua kalimat pembukanya menarik: Peru’s Alberto Fujimori didn’t plan to be dictator. He didn’t even plan to be president.

Dua kalimat itu menarik, selain karena Fujimori memang terpilih menjadi presiden pada pemilu 1990 di tengah kekacauan negeri dan teror yang disangkakan kepada satu kubu (gerilyawan Maois) dan menjadi tiran, juga awalnya dia adalah rektor di La Molina.

Lawan politik Fujimori di pemilu itu adalah novelis internasional pemenang Nobel Sastra, Mario Vargas Llosa. Mario tersungkur oleh Alberto dalam pertarungan itu.

Di tahun-tahun awal, Alberto Fujimori dihadapkan oleh memburuknya ekonomi. Jalan pintas pun diambilnya. Konstitusi dihapus. Parlemen dibubarkan.

Akhir paragraf tujuh tertulis: “Congress would kill the President, or the President would kill the Congres”. Yang terjadi adalah yang kedua. Presiden pun sukses membunuh parlemen. Jalan tiran pun dimulai.

Lho, kok terasa dekat sekali dengan politik Indonesia. Dua kali lagi. Tahun 1959 dan 2001.

Apa hikmahnya?

DNA tiran itu bisa menghinggapi semua orang. Bahkan, bekas seorang rektor atau tukang kayu sekalipun.

Jadi, kurangi dosis menaruh harapan terlalu tinggi kepada siapa pun. Awasi saja dengan penuh kewaspadaan.***