Perjudian Iman Budhi Santosa: Cabut dari PNS Jadi Penyair, Cabut dari Dunia Malah Jadi Legenda

Mestinya, plotwist-nya adalah ambtenaar atau PNS atau ASN yang hidupnya dijamin negara hingga mati, tetapi sekaligus penyair yang berkarya bagus dan produktif.

Bisa juga dibalik. Penyair yang total, PNS teladan.

Nyatanya, tidak.

Setidaknya, itu yang terjadi dalam diri Iman Budhi Santosa yang meninggal dunia tepat pada Hari HAM. Saat itu, langit Indonesia bermendung.

Lahir dan tumbuh di Magetan di tahun “Madiun Affair” bergolak, kehidupan profesional Iman Budhi Santosa awalnya adalah pegawai perkebunan. Penempatannya berpindah-pindah di perkebunan di Jawa. Bahkan, hingga ke Lampung.

Namun, ada yang terus meraung-raung di pedalaman batinnya. Iman Budhi Santosa ingin menjadi penyair. Penyair yang utuh. Bukan penyair part time: siang berkantor, malam berpuisi. Siang berseragam birokrasi, malam bertelanjang dada bersama kata.

Jarang sekali ada contoh yang bagus di Indonesia ada sastrawan yang berkarya sangat bagus dengan melahirkan karya kilau pukau sekaligus PNS dengan karier yang moncer.

Jika dipaksakan jalan dua-duanya, ya, medioker. Karier PNS, kalau nggak biasa-biasa saja, naiknya sangatlah lambat. Berpuisi juga begitu. Ada sih terbit. Namun, hal itu tidak intens.

Karya terbit sekadar penanda bahwa cita-citanya sebagai sastrawan penuh ambisi mengubah dunia lewat sihir kata-kata masih ada. Karya yang terbit itu jelaga dari sisa tenaga yang diisap dan dicucup oleh kehidupan birokrasi sepanjang siang pun tak ubahnya serupa besi sauh karatan.

Karena hanya besi, setelah rela mengabdi

pada sejarah dan dijadikan sauh

maka ia hanya akan patuh

diangkat ketika kapal berlayar, tak mengeluh

diturunkan ke dasar laut saat berlabuh

Demikian pula para kelasi dan juru mudi

serta jutaan orang lain yang harus mengabdi

demi sesuap nasi karena tak mungkin menanam

pada jagung pada telapak tangan sendiri

Iman Budhi Santosa, seperti pada puisinya yang saya kutip utuh itu, tidak mau memilih besi sauh. Dia memilih hidup dengan bentang cakrawala tak (p)bersegi dan bukan kotak sempit kelasi bernama PNS atau ANS dengan dekorasi dan penataan ruang interior yang buruk.

Yogyakarta pun menjadi pilihan saat Iman Budhi Santosa melepas status PNS perkebunannya dan memakai zirah kepenyairan.

Di kepala Iman Budhi Santosa, puisi itu adalah buku hidup yang dijalani secara total. Tidak boleh setengah-setengah.

Jadi, Anak Muda, yang di kepalanya sekadar berpuisi untuk kasmaran, segera ke tepi. Yang sekadar supaya dipuji temannya, untuk sementara menyingkir.

Sebagai buku hidup—puisi adalah laku pengembaraan mencari up dan down-nya hidup—Iman Budi memasuki kehidupan hipis Malioboro. Dengan dada membusung walau perut busung, generasi mereka mendaku diri sebagai “Pelopor”.

Pelopor Jogja adalah nama media yang berkantor di ujung utara Malioboro yang kehidupan manajemennya seperti laku seorang hipis: kere independen.

Lihat, mereka tidak menamakan diri sebagai “Kedaulatan”. Padahal, gedung koran Kedaulatan Rakyat tidak jauh letaknya dari Malioboro itu. Atau, generasi “Minggu Pagi”. Kok, ya, nggak keren. Dikira klub senam pagi.

Yang diingat Iman Budhi Santosa adalah Pelopor. Media ini seperti tapal yang bersenyawa dengan sekolah budaya bernama Malioboro.

Jika bisa, semua media seperti Pelopor itu. Punya ruang sastra yang luas. Bukan hanya menyediakan, melainkan dekat dengan detak hidup para pelaku sastra.

Kehidupan hipis Malioboro sebagai sekolah kebudayaan itu yang terus dipanggul Iman Budhi Santosa. Sebuah kalbu yang berbeda sama sekali dengan kalbu Malioboro terkini yang sepenuhnya menjadi pasar transaksi ekonomi pariwisata.

Sandang, pangan, papan yang dikenakan Iman Budhi Santosa adalah wajah hipis Malioboro 70-an dan 80-an. Tak pernah luntur. Sedikit pun.

Sederhana, ramah, pemikir, dan tidak gentar bila di lemarinya tidak ada akta kepemilikan tanah dan surat pajak izin mendirikan bangunan (IMB).

Disebabkan kehidupan kepenyairan itu dipilih secara sadar dengan segala konsekuensinya, Iman Budhi Santosa menjalani dengan sepenuh-penuhnya takdir itu. Takdir menjadi manusia nirharta.

Dia jalani hidup seperti seorang guru dan sekaligus pertapa. Kali ini, dia tidak memilih menyepi di luweng atau di puncak-puncak gunung berlembah kebun, melainkan tinggal dalam kota, berbaur dalam kehidupan urban, tetap tekun berkebun kata di ngisor sawo dalam riuhnya kota.

Serupa penyair-penyair abad milenium pertama angkatan Mpu Prapanca, Iman Budhi Santosa menjalani hidup tidak jauh dari pusat kekuasaan. Dekat puri sang raja, tetapi bukan penyair istana. Apalagi, mendapatkan rumah dinas.

Laku hidup yang dikepit Iman kuat-kuat adalah bahwa satu-satunya rumah seorang penyair adalah kepalanya yang terus bergemuruh, hati jernih dan peka membaca pertanda, serta saat matang datang, dia mengeluarkan semua saripati itu dalam kitab, dalam buku.

Bagi Iman, hidup itu puisi, sementara yang lain-lain ngontrak.

Demikianlah, dia guru untuk sebuah sikap hidup yang keras tentang kesederhanaan dalam mengenakan pakaian kemeja duniawi dan kerja keras dalam berkarya.

Ia tinggalkan seragam PNS dan kenakan zirah penyair dengan sepenuh sadar. Barangkali ini yang disebut pertaruhan. Dan, setiap pertaruhan, tercium bau anyir judi.

Tetapi, bukankah hidup adalah judi, adalah dadu yang dilempar menggelepar, adalah lembar kartu keberuntungan yang dikocok dan dibanting?

Bagi penjudi hidup, aib mundur sebelum mahkota kekalahan benar-benar terpacak.

Iman Budhi Santosa bilang pada “Melawan Kartu” (1991):

Adakalanya judi tak cuma melawan

Kartu mati, saat kemenangan

Tampak benar waktu berkilah

Aib mundur sebelum kalah.

Jadi, berjudilah, Anak Muda! Jangan pernah mundur sebelum kalah. Itu.

* Pertama kali dipublikasikan Mojok.co, 11 Desember 2020