SAAT pandemi Covid-19 berkecamuk di tahun 2020, Dandhy Dwi Laksono dan Suparta “Ucok” Arz lewat rumah produksi independen WatchDoc bekerja keras menyelesaikan serial film dokumenter yang dikeluarkan dari perjalanan setahun penuh pada 2015. Perjalanan memotori (melayari jika dengan perahu layar) bentang Indonesia dari Timur ke Barat, dari Papua hingga Aceh.
Hasilnya, di pengujung tahun 2020, 55 seri bertajuk Ekspedisi Indonesia Biru bisa ditonton publik secara gratis.
Nyaris sama dengan yang dilakukan jurnalis Farid Gaban dan Ahmad Yunus Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa lima tahun sebelum mereka bertualang. Namun, Ekspedisi Biru memaksimalkan daya pukau kamera video.
Perjalanan mereka bukan untuk melihat Indonesia dari halaman depan, sebagaimana dikerjakan para pelancong atau rumah produksi yang disewa Kementerian Pariwisata atau Kementerian Penerangan di masa Sukarno. Dua jurnalis ini melihat Indonesia dari halaman belakang, sekaligus harapan-harapan dari energi yang disumbang kekuatan masyarakat sipil yang bukan hanya blur dari kamera pelancong, tetapi juga tak terjangkau.
Yang dilakukan Dandhy dan Ucok bahkan berbeda magnitudanya seperti dilakukan pendahulu jauh mereka. Catat, ini perjalanan jurnalis sebagai inisiatif individu, bukan perjalanan yang dirancang oleh institusi pers. Jadi, tidak bisa dibandingkan, misal, dengan jurnalisme perjalanan seperti yang dilakukan Kompas selama ini yang menghasilkan karya-karya besar dan kompleks seperti Ekspedisi Cincin Api.
Secara historis, Adinegoro, jurnalis kawakan yang namanya dipakai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk anugrah (karya) jurnalis berprestasi, adalah jurnalis pelancong tersohor. Karyanya Melawat ke Barat yang diterbitkan Balai Pustaka sebanyak tiga jilid pada 1930-an menjadi tonggak bagaimana jurnalis melakukan peliputan dalam perjalanan. Jadi, menulis yang bukan sekadar berita.
Adinegoro mencatat pengalaman dan kesan yang dilihatnya sepanjang perjalanan ke Eropa maupun saat kembali. Apa yang dilakukan Adinegoro itu perjalanan “halaman depan”. Isinya gabungan antara kekaguman kepada ikon-ikon Barat, sanjungan kemegahan Barat, dan sejumlah renik lainnya.
Pada 1947, atas bantuan Kementerian Penerangan, empat jurnalis kawakan—S. Tasrif, Rinto Alwi, M. Radjab, Parada Harahap—melakukan pencatatan dari dekat sejumlah daerah di Sumatra, dari Kutaraja (Aceh), Tapanuli, Minangkabau, Kepri, Jambi, hingga Johor dan Singapura.
Catatan mereka saat Indonesia berada di fase perang revolusi yang hebat itu kemudian dibukukan menjadi Catatan di Sumatra yang edisi pertamanya diterbitkan Balai Pustaka pada 1949.
Sesungguhnya, makin ke sini makin banyak jurnalis baik sebagai individu maupun program yang mendapat sokongan institusi pers tempatnya bernaung melakukan ekspedisi. Di Mandar, ada M. Ridwan Alimuddin yang melakukan ekspedisi pada 2012-2013 di antero Sulawesi Barat dengan mengendarai sepeda yang kemudian dibukukan menjadi Ekspedisi Bumi Mandar.
Di koran ini, Jawa Pos, ada nama Yuyung Abdi. Ia melakukan ekspedisi sepanjang tiga tahun ke nyaris semua lokasi pelacuran di seluruh Indonesia lewat mata seni fotografi. Buku fotografi dunia lendir yang enak dilihat dengan narasi renyah itu terangkum dalam table book bertitel Sex For Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia (2007).
Dokumenter sebagai Senjata
Dandhy dan Ucok tidak mengeluarkan buku, tetapi video dokumenter. Mereka ingin memberitahu, di dunia kiwari di mana kamera murah dan akses atas video makin mudah, video adalah senjata terdepan dan tertajam jurnalis.
Itu pun bersyarat, yakni jurnalis yang memiliki sikap memegang teguh keberpihakan kepada yang lemah, punya keterampilan investigasi, dan berpengalaman di medan jurnalistik berbahaya seperti perang. Semua syarat itu dipenuhi. Terutama, sosok Dandhy yang kita tahu menerbitkan buku panduan investigasi yang bagus yang ditimba dari pengalamannya menjadi jurnalis televisi, Jurnalisme Investigasi (2010). Juga, ia memiliki pengalaman menjadi jurnalis di medan perang Aceh yang kemudian mempertemukannya dengan fotografer berbakat bernama Ucok.
Hasilnya, bingkai kamera kedua jurnalis ini luar biasa kuatnya merekam kenyataan pahit di halaman belakang Indonesia.
Penonton pentalogi dokumenter seperti Samin vs Semen, The Mahuzes, Kala Benoa, Asimetris, dan Sexy Killers seperti disadarkan tanah Indonesia sedang dikapling dan dijarah habis-habisan bromocorah.
Namun, itu semua dilakukan dengan memakai “perangkat perundang-undangan” yang berlaku. Para bromocorah besar yang umumnya berdomisili di Jakarta itu seperti dinaungi kekuasaan karena nyaris tidak tersentuh. Bahkan, ada yang sedang menjadi pejabat tinggi yang aktif dan sangat berpengaruh.
Sementara, ada kekuatan-kekuatan kecil yang menolak mati di antara monster oligarki yang dibiarkan negara dengan zirah Pancasila dan NKRI Harga Mati ini. Dari Banten (Baduy), Sukabumi (Ciptagelar), Pati-Rembang (Kendeng), Lumajang (Ranu Pani), Lombok (Sampah), Sumba (Organik), Lembata (Pasar Barter), Halmahera Utara (Padi Sungai), Maros (Ramang-Ramang), Palu (Garam), Balikpapan (Timur Borneo), Palangkaraya (Sawah Sejuta), hingga Pidie (Beng Mawah), karya documenter ini memperlihatkan asa tersisa kekuatan biru di tengah hutan dan laut yang nyaris semuanya berwarna merah jelaga oleh oligarki ini.
Istilah oligarki yang umumnya hanya dipahami segelintir akademisi sosial ini pun kini menjadi lingua franca para mahasiswa dan pemrotes yang selama ini ditipu oleh kekuasaan pemenang pemilu yang berpupur tebal lewat propaganda yang dijalankan para pendengung di media sosial. Ekspedisi Biru menyumbang popularitas lema busuk ekonomi-politik ini.
Karya jurnalistik Ekspedisi Biru ini pun pada akhirnya bisa dipahami tidak hanya menyumbang pada jurnalisme yang berpihak kepada politik ekologi berkelanjutan, melainkan sekaligus memberi tenaga kepada gerakan sosial yang memimpikan tegaknya sila ke-5 Pancasila: Keadilan Sosial.
Pertama kali dipublikasikan Jawa Pos (Minggu), 17 Januari 2021