6 Pelajaran Penting dari Almarhum Jalaluddin Rakhmat

Di Bandung, jelang pergantian alaf, terbit buku Zaman Baru Islam. Buku yang disusun Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim ini berisi biografi tokoh cendekiawan Muslim Indonesia. Umumnya, buku tokoh mestilah mencakup banyak orang.

Namun, buku ini sedemikian rupa memfilter dari ratusan cendekiawan itu hanya empat saja. Dan, tokoh yang kita bicarakan ini ada dalam filter itu.

Empat tokoh yang semuanya adalah penulis itu bernama Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat.

Bayangkan, Saudara, hanya empat. Genap betul. Mengapa empat? Mungkin, karena empat tokoh itu adalah pembikin berita, si newsmaker. Mereka yang kerap menjadi pusat percakapan, cover story. Itu kata lain dari si pemancing keributan.

Dan, di antara keempat tokoh itu, resensi jurnalis Wahyu Muryadi di majalah Forum Keadilan edisi 23 Februari 1998, Jalaluddin Rakhmat atau akrab disapa Kang Jalal ditempatkan sebagai tokoh yang dianggap perlu dan penting diceritakan di hampir 50% isi resensi sejak paragraf mula.

Dugaan saya, faktor syiah dianggap lebih “menjual” untuk dijadikan umpan di mana Kang Jalal adalah ikonnya. Memang, subjek bernama “syiah” sejak dahulu kala hingga detik ini tetap menjadi “tabu” bagi pemeluk agama di Indonesia.

Debatnya selalu dihadiri berjubel peserta dan, ya, itu tadi, tidak pernah selesai. Koran dan majalah mengupasnya dengan pretensi menjelaskan syiah, juga tidak mengurangi ketabuannya.

Bahkan, Ulumul Quran di edisi No. 4 tahun 1995 menurunkan wawancara khusus Jalaluddin Rakhmat tentang topik tabu ini.

Tampak, Kang Jalal dalam percakapan sepanjang 12 halaman (92-103) selalu ingin menggeser posisinya ke tengah, mengajak berdialog, mencari titik-titik sama ketimbang memeruncing perbedaan. “Dikotomi sunni dan syiah tidak relevan lagi,” simpul Kang Jalal.

Tetapi, makin kuat ikhtiar ke tengah, makin besar pula arus yang me-MOJOK-annya untuk kembali ke habitatnya: kiri-tabu.

Maka, abadilah Kang Jalal berumah dalam tabu di pojok sempit sejarah hingga meninggal dunia pada medio Februari di tengah wabah memukul hidup manusia di antero planet bumi.

Saudara, Kang Jalal yang yang lahir dari rahim tradisi dua ormas besar (Muhammadiyah dan NU) pergi tidak hanya meninggalkan tabu, melainkan tradisi menulis dan berpikir yang membuatnya tetap terkenang kapan pun.

Inilah teladan dari Kang Jalal, wabilkhusus kepada para dai dan dosen.

Pertama, hidup dalam tradisi ilmiah.

Kang Jalal itu magister ilmu komunikasi. Ia bukan sekadar penceramah dengan modal retorika di atas mimbar. Ia dosen, walau kemudian “di-DO” dan status PNS-nya dicabut karena tindakan pikiran dan teologinya.

Sebagai pengajar, Kang Jalal bukan dosen kaleng-kaleng yang terus menuhankan dirinya di hadapan mahasiswanya yang rapuh dan lemah. Ia pemberi contoh bagaimana seorang akademia tumbuh dalam tradisi ilmiah. Yakni, menulis buku ilmiah.

Walau berada dalam dunia ilmiah, Kang Jalal tetap memosisikan dirinya alamiah untuk kehidupan.

Itulah cerminan buku ilmiahnya yang terkenal, Psikologi Komunikasi, yang saya tahu menjadi buku daras penting perkuliahan dan terus dicetak ulang.

Saya ingat, buku ini adalah buku “diktat kuliah” pertama yang saya beli saat tiba mula-mula di Yogyakarta. Bekal kuliah di Ilmu Komunikasi? Tentu saja, bukan. Saya keluaran sekolah teknik menengah (STM) dan bersiap kuliah di disiplin ilmu teknik bangunan dan konstruksi.

Yang saya lakukan itu mengikuti senior saya di fakultas teknik, sosial, dan hukum yang kerap membicarakan buku ini.

Posisi buku Ilmu Komunikasi ini seperti posisi Kang Jalal sendiri. Tidak menjadi katak dalam fakultasnya sendiri. Ia bisa berdiri di mimbar ilmu mana saja. Bahkan, yang belajar di bidang keagamaan pun turut mengoleksi buku diktat ini. Artinya, ada sesuatu dengan buku ini.

Kedua, menulis dalam bahasa yang dipahami. Ini soal teknik.

Walau berstatus seorang ilmiawan, di hadapan masyarakat tetaplah menjadi seorang intelektual publik. Salah satu cirinya adalah tidak ruwet dalam menulis.

Semua buku ilmiah yang ditulis Kang Jalal—selain Ilmu Komunikasi, ada juga Psikologi Agama yang hanya berhenti sekadar pengantar dan puluhan tulisan yang tersebar di berbagai jurnal—ditulis dengan memakai pendekatan naratif.

Sebelum memasuki topik berat dari filsafat tertentu, Kang Jalal selalu memulai dengan cerita dalam kehidupan harian. Ia punya bank cerita yang nyaris tanpa batas.

Sederhananya, demonstrasi teknik ini bisa Saudara tonton saat Kang Jalal membahas filsafat agama J.J. Rousseau dan filsafat kematian Martin Heidegger.

Dengan menulis dalam bingkai naratif, Kang Jalal memahamkan topik yang eksklusif oleh kalangan tertentu kepada khalayak di luarnya.

Kang Jalal memberi rambu kepada dirinya sendiri lewat parafrase ini: “Jika ruwet, artinya saya tidak memahami apa yang saya tulis. Tulisan ruwet tidak memberi apa-apa selain hanya upaya seseorang menutupi ketidaktahuannya di hadapan awam.”

Jadi, kalau ada akademia yang menulis atau berbicara mbulet-nya nauzubillah, barangkali ia menyembunyikan ketidaktahuan seperti yang disinyalir Kang Jalal.

Hal ini seperti mengonfirmasi ujaran Albert Einstein bahwa puncak sebuah transformasi pengetahuan adalah bila anak-anak pun bisa memahaminya. Lantaran itulah, “manusia doktor” seperti Kang Jalal di Bandung dan Romo Mangun di Yogya mendirikan sekolah. Kang Jalal dengan SMA Mutahhari. Romo Mangun dengan SD Mangunan.

Keduanya menguji “status doktoral” mereka apakah ilmu mereka terpahami bagi manusia atau hanya mengejar karier akademik dan pada tingkat tertentu mengais rezeki dalam ketiak kekuasaan.

Jadi, jangan senang dulu jika ada panggilan orang kampus mengajar di sekolah dasar di daerah-daerah terdepan, terluar, terasing. Itu sebetulnya ujian pengetahuan yang kesulitannya berlipat-lipat dari air mata kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhir. Di sana, yang menilai adalah masyarakat, adalah kehidupan.

Ketiga, mahir menulis untuk publik luas.

Salah satu kemampuan Kang Jalal sebagai intelektual publik dan kemudian menjadi trendsetter dan memiliki ribuan pengikut di berbagai kampus di seluruh Indonesia adalah ia memiliki kemampuan menulis kolom.

Hanya segelintir dosen yang menulis kolom di media massa. Bahkan, punya rubrik khusus. Kang Jalal salah satu penulis kolom media massa yang membuat posisinya terkenang.

Buku Islam Aktual (1991) adalah esai-esainya yang terserak di Gala, Tempo, Panji Masyarakat, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Berita Buana, dan juga—dalam celetukan khas Kang Jalal, “secara tidak sengaja juga dimuat di Kompas”. Dibubuhi tanda kutip, karena tahu sendirilah bagaimana “gentingnya” hubungan umat dengan harian Kompas yang memunculkan “akronim” dengan nada permusuhan: KOMando PAStor. Astaga.

Salah satu kolom penting Kang Jalal adalah “Halaman Akhir” di majalah Ummat pada 1997–1998. Sampai di sini, ia setara dengan penulis kolom sekaliber Mahbub Djunaedi (Kompas), Goenawan Mohamad (Tempo), maupun Umar Kayam (Kedaulatan Rakyat).

Sebagai tokoh “berbahaya” bagi umat dan membahayakan persekot berlangganan Ummat, nama Kang Jalal dipersilakan menghilang dan digantikan oleh “Fikri Yathir”.

Bayangkanlah serial kolom sufi Rusdi Mathari di Mojok.co yang kemudian dibukukan menjadi Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya, seperti itulah “kegilaan” si Fikri Yathir mengomentari rupa-rupa bentuk kehidupan. Fikri Yathir memang artinya manusia yang pikirannya linglung seperti Cak Dlahom.

Topik sufistik ini yang melahirkan begitu banyak kolom Kang Jalal yang terikat dalam belasan buku.

Kembali ke soal awal. Bagi sebagian besar dosen dan dai, betapa sulit meneladani kerja intelektual publik seperti dilakukan Kang Jalal satu ini. Sebab, menulis kolom adalah bersedia menulis sederhana dan ringkas untuk topik-topik yang sama sekali tidak sederhana apalagi sekadar ringkas(an).

Keempat, orang mimbar yang menulis.

Kang Jalal adalah manusia mimbar karena dia seorang mubalig, seorang imam masjid. Tetapi, dia bukan dai yang sekadar bermodal mulut dan mode, melainkan juga membikin makalah.

Makalah-makalah Kang Jalal dalam banyak diskusi di kampus dibukukan di Islam Alternatif. Makalah pengajiannya dibukukan dalam Meraih Cinta Ilahi (2000). Artinya, Kang Jalal adalah manusia yang sama-sama mahirnya ketika berdiri di kelas kampus dan di mimbar masjid.

Kelima, menulis “buku receh”.

Mentang-mentang lulusan Amrik dan Aussie sudah pasang gengsi: emoh menulis buku receh. Kang Jalal tidak. Sebagai dai, Kang Jalal punya sense bahwa ia tetaplah berbicara dalam bahasa umat. Kang Jalal juga tetap mengingat bahwa ia bermula dari titik berangkat budaya pesantren yang tumbuh dalam kehidupan dai kampung.

Apa bahasa umat itu, bahasa manusia kampung itu? Doa. Ya, “buku receh” itu bernama buku yang terkait dengan doa. Juga, kiat-kiat, antara lain kiat bahagia, kiat cerdas, kiat mati.

Lihatlah, Kang Jalal yang menulis buku-buku ilmiah dari pemikir-pemikir filsafat dalam dunia akademia dan menyandang status sebagai “intelektual publik” masih mau menulis “buku receh”.

Disebut receh, salah satunya karena cepat mendatangkan uang. Walau receh, tapi cuan lancar dan banyak jumlahnya. Karena itu, penerbit senang menerima naskah receh.

Yang receh inilah yang, apa boleh bikin, misalnya, yang justru menghidupi salah satu penerbit besar di Yogyakarta bernama Pustaka Pelajar. Anak usaha Pustaka Pelajar bernama Mitra Pustaka dengan spesialisasi menerbitkan buku doa dan kiat-kiat inilah yang menyubsidi buku-buku babon tebal bacaan akademia di perguruan tinggi yang diterbitkan Pustaka Pelajar.

Masih ingat buku Doa-Doa Mustajab dan Kupinang Engkau dengan Hamdallah? Nah, itu diterbitkan Mitra Pustaka.

Umumnya, doa-doa yang dihadirkan Kang Jalal adalah rintihan para keluarga nabi yang tersauk-sauk dalam sejarah yang puncak berdarahnya saat tragedi Karbala meletus. Pembantaian Karbala itu mirip dengan tragedi 65: sama-sama melahirkan rintihan, sama-sama ingin melawan dalam dengung doa dan harapan yang tidak boleh terucap keras-keras karena terendus intel.

Di Indonesia, syiah dan komunis itu selalu seranjang dengan dunia intel. Kiat tidur dengan intel itu kapan-kapan saja kita bahas.

Keenam, bersiap sedia untuk debat terbuka: kapan saja, di mana saja.

Ini jawaban atas pertanyaan mengapa Kang Jalal bisa produktif, baik sebagai seorang akademia dengan kultur kampus maupun dai dengan kultur kampung.

Dengan menjadi manusia polemis sepanjang hayat, Kang Jalal selalu berada dalam titik tegang. Ketegangan membuat pikiran selalu terjaga. Karena terjaga, pikiran selalu diberi asupan gizi, selalu berada dalam tindakan membaca, selalu dekat dengan kitab.

Membaca dan terus-menerus mengoleksi ribuan cerita, baik dari khazanah klasik sufistik maupun kontemporer, menjadi jalan pedang bagi Kang Jalal untuk selalu berada dalam kesiap-siagaan “perang wacana”, baik di atas mimbar maupun di media.

Itu.

Pertama kali dipublikasikan di Mojok.co, 16 Februari 2021