Saran untuk HMI Agar Punya Skill Baku Pukul Lebih Estetis dan Bernilai Tinggi

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) baku pukul (lagi) di kongres? Organisasi yang isinya mahasiswa Islam itu rusuh di rapatnya sendiri? Bahkan sampai bikin bingung polisi?

Oh, tenang, HMI tidak sedang mengalami sakit jiwa. Baku hantam itu adalah soal keperwiraan dan semangat jiwa muda. Ini tidak ada hubungannya dengan soal brutalisme, ego, apalagi kejiwaan. Ini normal.

Berteriak-teriak sangat kencang dalam forum kayak gitu adalah toa natural belaka, gerak tubuh moshing sambil mecahin kaca itu anggap saja sebagai gerak senam kelewat semangat saja.

Meski begitu, harus diakui, adegan baku pukul di Kongres XXXI HMI di Islamic Center, Surabaya, 22 Maret 2021, sebenarnya terasa kurang nyaman dilihat.

Tidak beraturan koreografinya, tanpa visi yang jelas, dan berkelahi tanpa tujuan. Iko Uwais dan Gareth Evans pasti malu lihat adegan rusuh HMI di Surabaya ini.

Sudah organisasi isinya golongan intelektual mahasiswa semua, religius juga, lokasinya di gedung Islamic Center pula. Mbokya, minimal, kalau tarung tetap pertahankan unsur-unsur kesenian dan budaya. Tarung drajat, misalnya. Eh.

Atas keprihatinan itu pula, perlu kiranya saya memberi rekomendasi cara berkelahi yang baik ke junior-junior saya di HMI. Semata-mata agar kongres HMI ke depan bisa lebih baik.

Setidaknya, kalau ke depan diharuskan ada adegan kelahi lagi semacam ini, semua bisa terlihat lebih estetis dan bernilai tinggi. Baik di depan kamera, di tangkapan foto sosial media, maupun di catatan sejarah.

Rekomendasi 1: Hidupkan ketoprak dan kamar karaoke di HMI

Cara HMI baku pukul di kongres atau dalam sidang apa pun selain tidak estetis, juga tidak kompetitif. Baku hantam dengan cara saling tonjok dan lempar kursi itu pekerjaan yang butuh fisik yang prima untuk mendapatkan hasil yang maksimal: estetis dan kompetitif.

Saling lempar, gebrak meja, teriak-teriak, misalnya. Di panggung ketoprak, melempar tombak, salto di udara, dan saling tendang adalah koreo estetis yang dilatih secara maksimal bertahun-tahun dari olah fisik yang prima dan gerak tubuh yang jenius.

HMI mencoba juga melakukan itu … dan hasilnya? Ambyar.

Mengapa?

HMI tak pernah melatih kadernya, baik olah fisik maupun keserasian gerak. Juga, olah suara. Semuanya berlangsung spontan. Reaktif. Suara yang lahir adalah dengungan dan kerumunan.

Dalam dengungan di kerumunan, tidak ada gagasan, tidak ada musikalitas dari keindahan retorika. Noise.

Hal itu bisa terjadi karena HMI tidak punya perhatian kepada kebudayaan. Di HMI, tidak ada tradisi menyanyi yang bagus dan berkualitas. Di HMI, tidak ada tradisi pertunjukan teater. DI HMI, tidak ada tari.

Bahkan, di HMI tidak ada tradisi tilawah. Suatu budaya membaca kitab suci dengan suara se-indah-indahnya. Al-Quran dibaca dengan skill suka-suka dengan suara pales dan buruk saat pembukaan seminar, rapat pleno, atau kongres.

Untuk bisa olah gerak yang berseni tinggi, saatnya HMI menghidupkan lembaga ketoprak dan kamar karoke di setiap cabang. Ada memang lembaga bernama LSMI atau Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam. Tapi tampaknya, lembaga ini kerdil dan nol karya.

Setidaknya, jika memang eksis, lima tahun sekali bisa tampil di Taman Budaya di ibu kota provinsi dari cabang masing-masing. Atau, rutin mengeluarkan album kasidah dengan nunut magang di Nasida Ria Semarang, misalnya.

Ingat, yang ikut kongres itu adalah utusan-utusan cabang. Jika mereka berkelahi dan adu cangkem yang noise dan nggak mutu, itu artinya di sekretariat tidak tersedia aula untuk latihan ketoprak dan juga kamar karoke yang representatif.

Lalu, pikiran nyelenehmu pun traveling ke ketua umum HMI periode 1992–1995 yang indehoi dengan penyanyi dangdut dan bikin heboh nasional pada 2006 itu, ‘kan?

Anggap saja itu ekses. Setiap proyek, baik proyek bersifat malaikat maupun setan, selalu punya ekses. Ada ongkosnya. Termasuk, pengadaan kamar karoke di setiap cabang.

Rekomendasi 2: Hidupkan musuh bersama

Terus berulangnya kebiasaan brutalisme antarsesama kader dalam kongres karena ada “sesuatu” yang hilang. Kata “sesuatu” ini saya apit dengan tanda kutip karena bersifat tak kasat, tetapi hadir dan nyata.

“Sesuatu” itu bernama musuh bersama. Tanpa musuh bersama, organisasi besar akan mengalami ledakan yang tidak produktif. Kader yang banyak, tetapi tidak tersalurkan energinya, ya, bikin ulah. Aksi kriminal nirfaedah.

Namun, salah memilih “musuh bersama” bisa juga berakibat sangat fatal. Pintar-pintarnya saja.

Sepanjang saya mengampu materi sejarah, ada empat era paling krusial dalam sejarah HMI. Saya sebut saja empat era itu dengan menyebut nama ketua umumnya: Lafran Pane, Sulastomo, Nurcholish Madjid, dan H. Azhar Azis-Eggi Sudjana.

Keempat periode itu punya musuh bersama yang berpengaruh besar dalam hidup keseharian dan postur organisasi. Pada masa Lafran, musuh bersama bernama kolonialis Belanda.

Budaya HMI yang terbentuk adalah menjadi laskar di lapangan gerilya. HMI menjadi salah satu pemasok serdadu partikelir untuk memenangkan revolusi yang membadai.

Musuh bersama pada masa Sulastomo adalah PKI. HMI tidak ricuh di internal karena ada PKI, ada orang-orang ateis sebagai katalis, sebagai musuh bersama. Semua tercurah ingin menghajar kominis laknatullah itu. Budaya fisik jelas dibutuhkan untuk bertarung dengan musuh bersama yang nyata seperti ini.

Hasil dari masa ini adalah HMI dengan semangat jihad menggebu menjadi salah satu agen pemasok algojo pembantaian massal; menyembelih manusia seperti menggorok leher hewan-hewan kurban.

Semua bisa dilakukan dengan demikian enteng, selain memang direstui dan dimentori Angkatan Darat, juga karena unsur “musuh bersama” itu.

Setelah musim pembantaian usai, datanglah era Nurcholish Madjid dengan mengibarkan “musuh bersama” baru. Bahwa, musuh bersama dalam tubuh umat itu adalah kepandiran dan kebodohan.

Terlalu asyik dan masyuk berperang melawan penjajah dan menyembelih orang-orang kominis membuat HMI tampak pandir dan bodoh untuk hidup dalam tradisi universiteit yang ilmiah.

Cak Nur ingin bilang dan menyodorkan proposal: baca buku banyak dan kuliah yang benar, bukan nenteng bedil bukan parang dan latihan perang-perangan. HMI pun kembali ke kultur kampus. Membaca banyak buku dan menghidupkan perkaderan dengan budaya intelektualisme adalah ruh dari masa ini.

Jadilah HMI menghidupkan “cahaya Islam” di kampus-kampus yang selama ini bercap sekuler seperti ITB (Bandung), IPB (Bogor), UI (Jakarta), dan UGM (Yogyakarta).

Sementara, di kampus Islam semacam IAIN/UIN, HMI tetap abadi duduk sebagai pelengkap penderita di hadapan PMII yang tak tergoyahkan.

Lalu, datanglah era H. Azhar Azis-Eggi Sudjana. Ini era yang tidak jelas musuhnya. Yang kubu Azhar seranjang dengan Orde Baru. Kubu Eggi memilih jalan kontra.

Dengan memilih bergabung dengan Orba, HMI/Azhar pun bergelimang fasilitas, HMI menjadi rich people. Dengan memilih kontra, HMI/Eggi pun menjadi paria, kere, menjadi poor people, menjadi gembel. Bahasa kerennya, memilih jalan zuhud.

Sejak saat itulah, HMI tidak lagi punya musuh bersama yang liat dan tunggal. Terlalu banyak variabel yang membikinnya bimbang. Dan, betapa banyak tindakan bodoh dan culun terlahir dari kebimbangan.

Misal, HMI memilih musuh bersama adalah korupsi, sementara yang berbaris panjang ke penjara tipikor adalah kanda-kanda yang selama ini meng-approve semua proposal permohonan dana.

Mau musuh bersama adalah oligarki, sementara yang menjadi owner perusahaan tambang/minyak dan sekrup-sekrup oligarki juga adalah kanda-kanda penyandang dana menghidupkan meteran PLN di sekretariat.

Semua serbagamang. Karena gamang, berkelahi adalah katarsis paling murah. Kalau tidak dengan sesama kader di internal, ya, cari kader organ Islam yang selama ini menjadi pesaing liat dalam perebutan kader baru di kampus semacam PMII dan KAMMI.

Rekomendasi 3: Magang di UKM Karate, UKM Silat, UKM Pecinta Alam, dan Semua UKM Sejenis

Saling lempar kursi di aula kongres itu pekerjaan fisik. Berkelahi di jalanan menyaratkan fisik yang kukuh. Mestinya, HMI tidak melakukan ini semua karena fisik mereka lemah.

Mengolah fisik supaya kuat seperti seorang atlet tidak ada dalam bayang HMI setelah “65” padam. Bukan budaya perkaderannya. Olahraga jauh dari kurikulum pendidikannya. Olahraga bukan sesuatu keren bagi HMI.

Melihat kenyataan di lapangan yang berbeda, saatnya HMI memperhatikan kembali yang tidak keren ini. Saya sudah rekomendasikan agar ada kamar karoke di setiap cabang. Namun, kali ini tidak perlu bikin gelanggang olahraga di setiap cabang.

Cukuplah HMI punya program magang ke unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang selama ini berkecimpung di bidang urusan penguatan fisik.

Sebut saja, magang di UKM silat, karate, taekwondo, hingga pecinta alam, panjat dinding, dan renang. Tidak hanya fisik kader bisa ditolong dengan program magang yang terstruktur seperti ini, tetapi juga mengurangi citra HMI yang rakus kuasa di badan-badan senat kemahasiswaan seperti yang selama ini terjadi.

Atau, dengan magang di UKM yang jauh dari unsur keagamaan itu, HMI paling gak tidak lagi terus-terusan berebutan kapling masjid dan musala kampus dengan KAMMI.

Dengan magang di UKM yang saya sebutkan tadi, sesungguhnya kader HMI bisa menimba dua hal. Bahwa, fisik yang kuat tidak kemudian bikin kita jemawa. Fisik yang kuat mesti disyukuri dengan cara digunakan untuk kegiatan yang tepat, seperti menolong orang lemah.

Fisik yang kuat, atletis, dan terlatih bisa juga melahirkan kegiatan-kegiatan bakti sosial seperti menyelamatkan kerusakan ekologi parah di semua sungai besar di kota-kota penting di Indonesia. Atau, bisa melakukan kegiatan reboisasi di hutan-hutan yang gundul.

Kalau pun pada akhirnya fisik yang kuat, atletis, dan terlatih yang diperoleh dari magang intensif di UKM silat, karate, dan seterusnya itu dipakai untuk berkelahi, baku hantamlah dengan polisi anti hura-hara saat demonstrasi menegakkan keadilan sosial yang adil dan beradab.

Itu.

* Pertama kali dipublikasikan di Mojok.co, 25 Maret 2021