Dalam soal buku dengan segala ceritanya dalam dua dekade belakangan, adakah hubungan persaudaraan buku antara Yogya dan Makassar?
Jawaban saya ada dengan berangkat dari sejumlah pengalaman pribadi. Terutama, beberapa teman yang tumbuh dalam satu generasi.
Saya, misal, mengenal Aan Mansyur, penyair ternama, mula-mula justru bukan sebagai penyair, melainkan duta buku dari Makassar. Maksud saya, ia adalah utusan sebuah penerbit untuk bikin buku di Yogya.
Pertama kali berjumpa di Melibas, di kantor penerbitan yang memublikasikan karya saya Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Dan, Aan membawa naskah Arung Palakka. Buku itu selesai sebagai naskah di Makassar, sisanya diselesaikan oleh Yogya. Terutama tiga rantai berikut: layout, sampul, cetak.
Setelah terbit, saya mengetahui buku Warisan Arung Palakka itu diterbitkan Inninawa. Dan, kelompok literasi berdarah muda dari Makassar ini memiliki perikatan dengan kultur salah satu lembaga pemberdayaan sosial masyhur di Yogya bernama Insist.
Dari Aan Mansyur saya mulai mengindra dari jauh bahwa ada satu kelompok muda di Makassar yang sedang menumbuhkan literasi dengan menerbitkan buku yang diusahakan sendiri. Dua tahun zaman bergerak dari titik mula alaf ketiga, kata “penerbit indie” belum dikenal. Yang ada adalah “penerbit alternatif”. Ininnawa di Makassar adalah penerbit alternatif yang satu irama dengan kesemarakan pertumbuhannya di Yogya.
Perjumpaan dengan Aan membuat saya tahu pula bahwa ia mencicil membeli buku-buku bagus di Yogya. Saya tidak tahu statistik Aan masuk toko baju di sepanjang Jl. Malioboro. Yang bisa saya pastikan, tempat favoritnya adalah kios-kios buku di ujung selatan Malioboro.
Aan berbelanja buku sembari menunggu buku mereka selesai diproduksi. Aan menghirup nyaris seluruh enigma dan semangat menerbitkan buku dari manusia-manusia muda seusianya di Yogya. Selama itu pula saya lihat buku-buku yang ia beli adalah buku-buku pilihan dengan kurasi yang sangat bagus.
Keranjingan Aan itu ternyata bukan karena usaha menumpuk pengetahuan, tetapi berbagi dengan darah muda lain dari Makassar yang dipayungi Universitas Hasanuddin. Rahim pengetahuan perpustakaan komunal dengan kurasi buku-buku sastra terpilih itu bernama Biblioholic yang belakangan ia menjaga perpustakaan Kata Kerja.
Kehadiran Aan di Yogya itu mengingatkan saya sosok Karaeng Galesong, salah satu kader Hasanuddin yang pandai dan lincah. Ia datang ke Mataram (nama lama Yogya) dengan misi membantu menggulingkan Raja Amangkurat I yang lalim.
Oleh para pembangkang yang berkumpul di Bayat, Klaten (timur Yogya), Panembahan Kajoran diyakinkan Trunojoyo bahwa Karaeng Galesong adalah putra Bugis yang pandai dan cekatan. Galesong pun diberikan tugas memimpin lembaga intelijen. Kerja mata-mata adalah kerja yang melibatkan dua hal sekaligus: kemawasan dan kecerdikan intelektual.
Setidaknya, saat Bondan Nusantara di roman Rembulan Ungu menggambarkan sosok Karaeng Galesong, bayangan saya langsung tertuju pada pemuda cerdas bermata elang. Ia harus berhadapan dengan jagoan-jagoan Mataram yang direkrut dari pendekar hitam dari Merbabu, Alas Lodaya, Gua Cerme, Lembah Tidar, dan Nusakambangan.
Bondan Nusantara yang merupakan sutradara ketoprak legendaris di Yogya bukan kebetulan belaka memberi poin tinggi bagi biografi Karaeng Galesong. Selain sebagai penyintas ’65, Bondan bisa melihat secara jernih keperwiraan anak muda Makassar buronan VOC berkategori A yang kabur ke Madura dan membantu “revolusi” di bumi Mataram.
Keperwiraan manusia Makassar (di Yogya, semua suku dari Sulsel disebut rata dengan “Bugis”) kemudian diabadikan dengan kampung. Yang satu bernama Dhaengan (berasal dari kata “daeng”, sebutan untuk kasta umum), satunya lagi Bugisan. Saya jarang melewati Dhaengan di Mantrijeron. Yang nyaris setiap hari saya lalui adalah Bugisan di sisi barat Kraton Yogya.
Bugisan atau Jalan Bugisan kini identik dengan seni lantaran sekolah menengah seni rupa dan musik tertua di Indonesia berada di Bugisan. Di Jalan Bugisan ini juga berdiri satu sekolah kader muda paling penting Muhammadiyah, yakni Muallimin.
Penghormatan Yogya kepada Makassar bukan saja dari penamaan kampung, penamaan jalan, tetapi ditambatkan dalam prosesi upacara besar.
Dalam pawai keprajuritan, panji prajurit Bugisan disimbolkan wulandadari, bendera persegi panjang dengan warna dasar hitam dengan lingkaran kuning emas di tengah. Emas di atas hitam bermakna Bugis selalu memberi terang dalam gelap. Hal itu bermakna prajurit berzirah Bugis diharapkan selalu memberikan penerangan dalam kegelapan.
Seperti halnya panji Bugisan itu, saya namai poros literasi Yogya-Makassar itu dengan poros literasi wulandadari, sang penerang dalam gelap. Dari Wulandadari itu saya lantas mengingat Door duisternis tot licht yang merupakan karya masyhur Kartini.
Jika jalur rempah ada, jalur literasi pun ada. Pada poros wulandadari, saya mengabadikan ingatan pertemuan saya dengan (sahabat) Makassar yang selama ini konsens dengan literasi dan buku. Dari mereka yang melingkar di Ininnawa, Kata Kerja, Paradigma Institute, Intuisi, Rumah Baca Philosopia, Cara Baca (Bunga Tembok), hingga Subaltern. ****
* Diterbitkan pertama kali Fajar, 3 April 2021. Esai ini bagian dari pelatihan Kelas Menulis Makassar #2 yang diselenggarakan Buku Intuisi feat Penerbit Subalitern.