Sulhan Yusuf: Saudagar Buku dari Makassar

Jika titik-titik literasi di Makassar dipetakan, kita mendapatkan satu titik kusam, kucel, kampungan, tetapi menyimpan enigma. 

Namanya Paradigma Ilmu; mengidentifikasi diri sebagai toko buku. Tapi, lebih dalam dari itu, Paradigma adalah sebuah aktivisme yang liat.

Enigma Paradigma itu seperti Gunung Bawakaraeng. Wingit, tetapi menjadi persinggahan yang sakral. Bawakaraeng hanya asyik didekati dengan mistik ketimbang syariat.

Pada karakter seperti itulah saya mengenal Sulhan Yusuf, owner Paradigma Ilmu. Kak Sulhan—demikian kawan-kawan muda memanggilnya—adalah saudagar buku yang aneh dari Makassar. Kalkulator laba-rugi excel-nya tidak bisa didekati dengan tatapan ekonomi konvensional—apalagi ekonomi syariat. Ia melampauinya.

Di tangan Kak Sulhan, Paradigma itu tidak sekadar toko buku. Beyond. Ia menjadi titik kumpul yang ramah dengan anak muda yang haus dengan tradisi literasi di keramaian Kota Makassar.

Sebagai aktivis 80-an, Kak Sulhan mestinya saat ini hidup nyaman menjadi (teman) pejabat. Namun, ia memilih jalan yang lain. Ia tetap seperti para pemikul pengetahuan, gelisah kepada zaman yang tidak mencintai ilmu, tidak mencintai buku.

Ia ingat, saat menjalani salah satu kegiatan organisasi di HMI yang diselenggarakan di Yogyakarta pada dekade akhir 80-an, dirinya begitu takjub dengan buku. Tahu diri dengan keuangan, ia hanya bisa berbelanja buku yang terbatas.

Tak pernah ia lupakan buku-buku mula itu. Ada Sejarah Hidup Muhammad karya Haekal  yang diterbitkan Tintamas. Mahar untuk buku tebal itu 12 ribu rupiah. Juga, ia merogoh 12 ribu lima ratus rupiah untuk magnum opus Ibnu Khaldun yang di-Indonesiakan Pustaka Firdaus, Muqadimah

Satu lagi, ia mendapat oleh-oleh dari sahabatnya di Yogya bernama Fattah Hidayat, sebuah buku kompilasi tentang KTT OKI berjudul Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru (Pustaka Firdaus, 1992). Buku yang dieditori M. Riza Sihbudi dan Achmad Hadi ini berasal dari seminar Pekan Persahabatan Indonesia-Palestina yang diselenggarakan Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, pada Januari 1992. Yang tak terlupakan olehnya adalah untuk pertama kalinya ia melihat bintang cendekiawan muslim Amien Rais tampil sebagai pembicara yang memukau.

Terpacak di kepala Kak Sulhan, Yogya adalah kota buku, kota intelektual, dan ia memulai memasuki dunia itu dengan menjadi seorang pembeli yang haus dan bersemangat.

Ia mengenal secara intens relasi penjual dan pembeli buku itu saat bertemu dengan Iskandar Pasajo. 

Dari Kak Acos, demikian ia memanggilnya dengan penuh takzim, ia dititipkan sebuah buku untuk dijual. Buku tersebut berjudul Islam Doktrin dan Peradaban karya Nurcholish Madjid (1991). Aturan main penjualan: terjual lima dapat satu bonus. “Lama-lama, dosen yang menjadi langganan saya bertanya, ada buku lain? Saya pun berpikir, ini kesempatan,” akunya.

Kesempatan itu memang digunakannya secara maksimal. Kak Acos, tentu saja, menjadi titik singgah utama mendapatkan buku untuk dijajakan lagi. Buku terbitan Mizan, LP3ES, Yayasan Wakaf Paramadina, Tiara Wacana, antara lain, adalah “buku wacana” yang kerap ada di ransel mahasiswanya di kampus IKIP Makassar di antero Rappocini.

Dari sini muasalnya ia menjadi jembatan antara ketersediaan bacaan wacana (bukan buku kuliahan/pelajaran sekolah) dan sekaligus aktivitas diskusi. Rumahnya menjadi pelataran teman-temannya yang juga aktivis untuk bertukar informasi dan adu pikir.

Ruang tamu disulapnya menjadi toko buku untuk memajang buku. Dan, tidak hanya menyasar mahasiswa IKIP, Kak Sulhan juga mendekatkan diri dengan mahasiswa Universitas Hasanuddin dengan mendirikan kios buku Papyrus.

Sampai di sini, profesi saudagar buku dipanggulnya dengan penuh keyakinan dan diyakini sebagai jalan ninja bagi kehidupan. Apalagi, setelah memutuskan membangun keluarga mula-mula dengan Mauliah Mulkin. Jika buku bisa menyalakan api dalam pikiran, mengapa tidak bisa menyalakan tungku dapur. Kira-kira itu yang ada di pikiran Kak Sulhan.

Tapi, krisis 1998 tidak pernah bernegosiasi dengan keyakinan muluk siapa pun. Termasuk, dari seorang saudagar buku. Pasar buku ambruk bersamaan dengan ringseknya ekonomi. Pelampung pertama dilempar. Kak Sulhan. Ia membikin usaha sablon yang langsung bangkrut di tiga bulan pertama karena ketiadaan order. Satu-satunya order datang dari HMI yang memesan kalender. Saat situasi semakin memburuk, klien tunafinansial ini pun dimintanya membawa semua peralatan sablon untuk mengembangkan sendiri usaha kekaryaan mereka. Setelah itu, nasib peralatan itu tidak terdengar lagi.

Toko buku yang kalah membikinnya menjajal masuk dalam hiruk-pikuk aktivitas kepartaian. Ia ditunjuk sebagai ketua Partai Umat Islam (PUI) daerah Sulawesi Selatan. Ia tahu, partai yang didirikan Deliar Noer ini tidak berbicara banyak di Makassar. Maka, target utamanya disederhanakan; asal jangan kalah dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) saja sudah senang. “Saat hari pencoblosan, di TPS Pabentengan cuma dapat 3 suara. Saya, istri, dan satu lagi anggota dalam rumah,” kisahnya.

Menjadi partai kalahan, Deliar Noer membebaskan semua kadernya untuk memilih jalan: bergabung dengan partai senapas atau kembali ke basis masing-masing.

Kak Sulhan kembali ke toko buku. Ia kembali mengevaluasi apa yang keliru dengan kemunduran Paradigma Ilmu Group. 

Kak Sulhan tahu bahwa Paradigma itu adalah dirinya. Mundur Paradigma pertanda kemunduran dirinya.

Modal keuangan Paradigma dia tahu betul tidak banyak. Dia mengevaluasi dan menemukan bahwa modal dalam berusaha bukan hanya uang, tetapi juga modal sosial. Dalam bahasanya, modal silaturaHMI.

Jika hari ini Paradigma a.k.a. Kak Sulhan secara karakter hidup di banyak komunitas literasi, semua itu lantaran bekerjanya modal sosial yang sudah selama ini diakumulasinya.

Dengan pandangan silaturaHMI sebagai modal usaha, Kak Sulhan kemudian tidak datang sebagai ancaman bagi komunitas lain yang sejenis, tetapi perangkul. Dalam prinsip toko buku, siapa pun kita perlu ajeni, perlu rangkul, siapa tahu kelak satu frekuensi dalam menegakkan budaya literasi yang pada akhirnya menyemarakkan pasar buku.

“Di Paradigma, yang berproses mirip buah tomat. Tumbuh sampai matang. Jika sudah tidak ada yang mau beli, si tomat membusuk dan saatnya dilemparkan ke tanah untuk bisa menumbuhkan tomat baru,” cerita Kak Sultan ihwan model perkaderan literasi yang dikemasnya.

Selain itu, usahanya menemani banyak anak muda berproses tumbuh dalam tradisi literasi di Kota Makassar maupun di tanah kelahirannya di Bantaeng merupakan perluasan pangsa pembaca.

Di Bantaeng, misalnya, ia mendirikan komunitas Boetta Ilmoe dengan cita-cita besar bahwa pada 2021–2030, kabupaten yang dari mana nama Nurdin Abdullah harum se-Indonesia, ramah dengan penulis. Di sini, penulis disambut dan dielukkan. Selanjutnya, Bantaeng kelak menjadi produsen penulis. 

Impi-impi itu terus meringkuk di kepala Kak Sulhan sepanjang berkendara roda dua mendepai jalanan Makassar-Bantaeng. Sudah belasan tahun jalan itu dilintasinya. Semuanya demi tanah ilmu, demi rumah pengetahuan.

Tentu saja, sebagai guru besar literasi Makassar, ia adalah penulis esai yang mahir. Diksi-diksinya manis. Untuk membuktikan ucapan saya ini, bacalah kolom-kolomnya saat Koran Tempo masih terbit di Makassar. Atau, bukalah kitab esainya Pesona Sari Diri. Jika kesulitan akses, berselancar saja ke laman literasi yang dikelolanya bersama kader-kader muda penuh energi, Kalaliterasi.com. Kak Sulhan berkisah tentang apa saja dengan satu kekhasan: diksinya aduhai. Artinya, kepala Kak Sulhan selalu disuguhi bacaan-bacaan bergizi di usianya yang sudah paruh baya.

Demikianlah, karena hanya berpikir buku dan literasi, ia lupa melakukan kegiatan akumulasi harta benda yang lain. Termasuk, memperbaiki atap rumah yang keropos di mana semua cita-citanya bersama Paradigma Group bernaung.

Saat atap selesai diperbaiki, tetapi air raya mendesak masuk dari depan dan menggenangi lantai rumah. Ia ingat betul banjir pertama kali berjarak 16 tahun sejak rumah ditempati pada 1994. Sekarang makin sering. Pernah, dalam banjir besar, kliping-kliping yang susun dari Koran Tempo, Ulumul Quran, dan Prisma menjadi bubur kertas.

Sadar bahwa air reguler memasuki rumah, di bagian teras ia bangun tanggul. Dengan nalurinya, air melompatinya. Air itu memerkosa buku-buku. Ia kemudian menuliskan jeritannya itu dalam esai “Jeritan Hati Biblioholic”. 

“Saya gak tega lihat buku-buku yang terkapar jadi mayat,” ingatnya. 

Pada Maret dan April 2021, sudah dua kali banjir besar bertandang ke rumahnya. “Yang terakhir itu datang subuh. Lampu mati. Seharian banjir. Setiap air naik seinci, buku saya naikkan selevel. Begitu seterusnya,” ujar ayah dari Nurul Aqilah, Nabila Az-Zahra, Saffana Mustafani, dan Javid Morteza ini.

Kini, ia bisa berdamai dengan air. Namun, tidak dengan fasis berzirah iman yang kaku dengan buku-buku. 

Kak Sulhan secara reguler selalu dikuntit oleh tuduhan sebagai agen Syiah di Makassar. Tuduhan sumir itu selalu dihadapinya dengan diplomatis bahwa ia seorang saudagar buku. Buku-buku terbitan Mizan memang banyak dipajang di Paradigma. Bukankah memajang Mizan bukan berarti auto-Syiah.

Sampai di sini, saya mengingat sosok saudagar buku bernama Sultan Khan, tokoh utama dalam novel Asne Seierstad, Saudagar Buku dari Kabul. Sultan yang mencintai buku dan memasok buku-buku dari Iran bergeming dengan ancaman Taliban yang tiap saat bisa membakar tokonya.

Seperti Sultan, Kak Sulhan Yusuf juga tetap berusaha tegak dengan ancaman fasis-fasis itu. Selain, tentu saja, ancaman lain yang datang rutin tiap hari tatkala orang-orang tidak lagi mau membeli buku.

#TemankuOrangBukuKeren

* Pertama kali diterbitkan di laman Kolongkata.com, 5 April 2021.