“The Social Dilemma” dan Jurnalisme Kita

Di paruh awal gempuran pandemi Covid-19, sebuah film (dokumenter) baru diluncurkan Netflix, The Social Dilemma.
Judul film dokudrama arahan sutradara Jeff Orlowski ini mengingatkan kita kepada film satu dekade silam, The Social Network.
Keduanya membicarakan industri teknologi media sosial. Bedanya, The Social Network merekam lahir dan bangkitnya raksasa media sosial baru (Facebook), sementara The Social Dilemma—seperti judulnya—mempertanyakan kembali dampak media sosial bagi nyaris seluruh aspek kehidupan. Terutama, dari perspektif insider, sudut pandang orang-dalam pencipta platform itu.
Orang-orang nyaris 24 jam berumah dalam media sosial sebagai pengumpan apa yang disebut “berita”. Di rumah besar dalam kotak segenggam tangan itu, kebencian seseorang pada suatu hal, misalnya, tidak terjadi begitu saja, melainkan disetel oleh algoritma kompleks.
Istilah “artificial intelligence” yang mengharu biru dalam kutipan kertas ilmu pengetahuan di tahun 90-an menemukan bentuknya paling utuh dalam topik yang disorot The Social Dilemma.
Film itu menyampaikan tesis bahwa algoritma yang bekerja dalam komputer merekam dengan presisi apa yang ditonton, diklik, dibagikan, dan kemudian “menafsirkan” dan mewujudkannya kembali dalam bentuk “berita” (video dan link berita) yang disukai.
Oleh karena itu, nyaris setiap hari yang melintas di beranda akun media sosial adalah sesuatu yang kita inginkan, bukan yang yang kita perlukan dalam kehidupan yang nyata. Itu bukan sesuatu yang natural, tetapi terprogram. Like dan dislike antara satu pihak dan pihak lainnya pun mengeras lantaran dibentuk invisible hand di belakang platform media sosial itu.
Masuk akal kemudian, dalam konteks politik Indonesia kiwari, betapa sulitnya merekatkan keterbelahan “kampret” (“kadrun”) dan “cebong”, hatta para pemimpinnya sudah seranjang, sejajan, dan sepermainan. Sebab, die hard pendukung kubu politik itu semuanya bermain di media sosial dan berhikmat pada “kebenaran” yang sudah disaring sesuai “keinginan” (jari) si pemilik akun.
Para pencipta platform media sosial yang awalnya memiliki “niat baik” saat menciptakan platform-platform teknologi itu berkesimpulan masa depan kemanusiaan dalam ancaman besar.
Sesuatu yang mula-mula diciptakan untuk mempermudah kehidupan sosial berubah menjadi mempersulitnya. Mula kata, media sosial hadir diniatkan menjadi penghubung dari yang terserak. Temuan Emoticon love luar biasa yang bertujuan menghangatkan kebekuan berubah menjadi kurusetra saat berada di tangan pemimpin demagog dan pengusaha rakus.
Dan, pemilik platform alih-alih bertanggung jawab dan memperbaiki, malahan berselancar memonetisasi semua itu. Model bisnis pun tercipta dan mereguk kapital besar dalam polarisasi masyarakat seperti itu.
Dalam arus sosial yang demikian, kebenaran informasi yang terverifikasi menjadi sangat mahal. Kalaupun ada, pastilah sangat membosankan.

Tantangan jurnalisme

Nama dari sesuatu yang membosankan itu adalah jurnalisme. Selain teknik yang ketat dan etika yang membelitinya sangat kuat, jurnalisme juga menjadi kegiatan mahal.
Selain itu, karena dilambari teknik yang ketat (verifikasi berlapis-lapis), jurnalisme pastilah bekerja sangat lambat.
Sesuatu yang lambat adalah musuh utama para pemuja budaya media sosial yang membutuhkan katalisasi untuk melakukan yang begini dan melakukan yang begitu. Tentu saja, di zaman yang berlari ini, semua yang lambat sulit dimonetisasi.
Walhasil, para peneguh jurnalisme, bukan tidak mungkin goyah iman dan tergoda. Lalu, terjadilah apa yang terjadi.
Clickbait di media daring (atau rating di media elektronik) menjadi tanda pertama dari tipis iman itu.
Tanda kedua, produk jurnalistik berhenti sekadar jurnalisme ludah, berita omongan. Termasuk sasus dan berita yang ditimba dari yang terbaca secara mentah di plaform media sosial. Barangkali, formula cover both side sudah dipenuhi, tetapi itu tadi, sekadar omongan, sekadar menadah ludah narasumber.
Jika dosa itu ternyata dinikmati, jadilah ia menjadi model bisnis. Pada akhirnya, jurnalisme yang awalnya diniatkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” itu pun menjadi eksponen utama turut serta dalam pembibitan kerusakan sosial yang pada akhirnya menggerus kemanusiaan.
Yang dalam pun berganti dengan yang dangkal. Dalam kedangkalan itulah sifat purba manusia mudah dipola dan dieksploitasi.
Persekutuan media sosial dan jurnalisme dangkal yang ditambah oleh pemimpin demagog dan pengusaha serakah membikin eksploitasi manusia bekerja secara sempurna. Dalam persekutuan itu, warga sekadar produk jualan dan semuanya lepas tangan saat jerami kering itu disambar api.
Tentu saja, Saudara, ini pemandangan yang dilematis. Jalan keluar bukannya sudah hilang. Jika kita punya larangan ini dan itu, mengapa kita tidak bisa melarang sesuatu yang menghancurkan ruang sosial kita.
Walau berat dan butuh komitmen kuat, para pemilik plaform media sosial toh bisa dipaksa untuk melakukan filter dalam saraf koding platform mereka.
Dalam skandal politik di USA, misalnya, pemilik raksasa media sosial seperti Facebook bisa dipanggil paksa parlemen untuk bertanggung jawab dalam skandal “menjual” kepercayaan ratusan juta pemilik akun untuk tujuan kotor politik. Eksploitasi ini dengan sangat baik terekam dalam film dokumenter The Great Hack yang dibesut Johane Noujaim dan Karim Amer.
Para pelaku industri jurnalistik juga demikian. Larut dalam bisnis dengan mengikuti pola dan laku industri teknologi media sosial hanya menjadikan jurnalisme kita tumbuh menjadi monster yang legal: membiakkan yang batil dan membonsai yang hak.
Solusi bisnis dalam jangka pendek dan pragmatis, diperlukan kredensial aturan di mana para pemilik platform membagi kue bisnisnya kepada para pemilik konten yang selama ini dijadikan bahan pengumpan seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan jurnalitik di Australia. Dengan demikian, jurnalisme yang berkualitas dengan “ongkos mahal” itu tidak makin mengawang dan sekadar harapan di kelas-kelas workshop jurnalis muda yang baru akil balig.
Kita tidak ingin mengenang legasi jurnalistik kita sebagai pihak yang sekadar menjunjung dan memberi harga pada segala yang mati ketimbang melindungi ekosistem yang hidup. Tidak!

———–

Pertama kali dipublikasikan Jawa Pos edisi Minggu, 18 April 2021