Surat Terbuka Kartini untuk Aurel Hermansyah

Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian.

Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan macan dilemparkan ke tengah mereka.

Semuanya berawal dari kegaduhan di kuburan tua …

Lho, itu kan opening line, itu kaki dashi dari Cantik Itu Luka, novel gemuk karya pengarang masyhur Eka Kurniawan?

Betul. Dan, mari kita ganti nama Dewi Ayu dengan Kartini yang pertengahan April bangkit dari kubur marmer yang mewah setelah 115 tahun kematian dan bersegera naik ojek daring menuju postkantoor di tengah kota yang menunggu dengan resah badai siklon seroja lewat.

Kartini yang di tahun ini, di hari ulang tahunnya yang ke-142, rutin berkirim satu surat kepada seseorang. Maklum, Kartini adalah Ibu Surat Indonesia (ISI).

Surat tanpa judul yang disetor Kartini di boks itu tertulis di atas papirus yang sulit divalidasi apakah keluaran NV Papier Fabriek Padalarang atau bukan.

Surat ke-116 sejak kematian Kartini di Rembang itu diperuntukkan buat Aurel, perempuan anggun 22 tahun yang baru saja naik pelaminan dalam sebuah upacara pernikahan agung dan akbar.

***

Aurel, selamat, ya, di bulan April kamu memulai petualangan hidup sebagai istri seorang lelaki dan kelak menjadi mama muda tidak lama lagi.

Di tengah permulaan bulan madumu di bulan April, di bulan di mana nama saya dipanggil dan dibicarakan orang se-Indonesia, saya dengar Komnas Perempuan marah besar saat mendengar pernyataan suamimu bahwa laki-laki adalah jelmaan Tuhan di rumah. Suara suami, suara Tuhan.

Astaga. Apalagi, dokter-dokter kandungan juga kaget tiada kepalang saat suamimu menyatakan niatnya untuk menitipkan 15 benih di rahimmu. Lima belas, 15. Grande multipara.

Jika jarak kelahiran dua tahun, berarti selama 30 tahun ke depan pekerjaan utamamu adalah bunting dan beranak. Hih, seram sekali hidupmu, Aurel, di saat pemerintah terus-menerus mengampanyekan keluarga minimalis, di saat pajak rakyat puluhan tahun dihabiskan untuk membiayai jawatan negara bernama BKKBN.

Mengapa saya begitu kaget? Tahu sendiri, saya meninggal di usia 25 tahun disebabkan persalinan anak pertama saya. Usia kita terpaut tiga tahun, Aurel, saat surat ini kamu baca di tengah dirimu sedang dibuai kebahagiaan tiada bertara saat ini.

Aurel, saya tidak terbayang bagaimana seorang perempuan muda penuh talenta sepertimu, seorang penyanyi berbakat dengan album Tanpa Bintang dan aktris peran di layar lebar, harus menghabiskan waktunya di rumah hanya untuk bunting dan beranak.

Aurel, saya tahu, sejak remaja kamu merasakan derita yang luar biasa pedih saat menyaksikan dan mengalami keluargamu dalam prahara besar dan pecah berantakan.

Sebagai sulung, betapa menyedihkannya melihat kedua orang tua yang sama-sama penyanyi terkenal pisah jalan. Di hadapan kamera mungkin kamu bisa tersenyum, tetapi trauma itu terbawa terus di bawah sadar yang selalu muncul semau-mau sekonyong-konyong.

Derita remaja itu juga saya alami yang sejak berusia 12 tahun memasuki dunia pingitan selama empat tahun karena saya seorang perempuan Jawa. Jikapun boleh melihat dunia luar, mesti didampingi suami. Lain tidak.

Jangan bayangkan ruang pingitan saya itu seperti blok penjara kamar yang kecil. Tidak.

Saya utarakan kesedihan saya itu kepada Stella, teman korespondensi saya, bahwa penjara saya itu sebuah rumah besar, dengan pekarangan luas. Pagar temboknya yang tinggi mengelilingi pekarangan luas itu.

Saya masih ingat, bagaimana dalam putus asa yang gelap-gulita itu badan saya selalu saya lemparkan pada pintu-pintu yang terkunci dan pada tembok dingin. Arah mana pun yang saya tempuh, akhir perjalanan itu selalu saja tembok batu atau pintu terkunci.

Aurel terkasih, saya diangkat menjadi pahlawan dengan embel-embel emansipasi sesungguhnya memperdengarkan rintihan saya betapa tidak enak menghabiskan masa remaja dalam pingitan atas nama adat kepercayaan.

Semua hasrat menggebu ingin sekolah, ingin ini, ingin itu, tumpas tak tersisa. Dan, mesti mengabdi tanpa daya tolak kepada suami yang tidak saya kenal dan semuanya telah dipilihkan orang tua.

Saya diangkat menjadi pahlawan supaya semua mama muda sepertimu melihat derita saya sebagai perempuan yang tidak berdaya.

Seperti kamu, Aurel, saya juga pintar. Kamu punya kepandaian musik, saya juga.

Musikmu adalah pop, saya gamelan. Musikmu berisik, musik saya, musik gamelan itu, tidak pernah bersorak-sorai, di dalam pesta yang paling gila sekalipun, dia terdengar sayu dalam nyanyinya.

Seperti gamelan yang sayu itu, seperti itulah hidup saya, hidup perempuan muda yang terpenjara. Mati muda pula.

Perempuan muda sepertimu pastilah bisa berbahasa asing, saya juga. Dalam pingitan, saya memaksakan diri belajar apa saja kepada yang ada. Saya membaca semua buku dari peradaban yang lebih maju, Eropa.

Saya baca koran-koran dan buku-buku berbahasa Eropa, saya membaca sastra dan bermimpi bisa menjadi sastrawan.

Tapi, saya sungguh terlambat dan betapa sulitnya keluar dari budaya besar yang memingit saya itu. Keluar dari pingitan remaja empat tahun lamanya, saya lalu memasuki “pingitan” kekuasaan suami.

Aurel, kamu bisa belajar dari Bu Desiree dan Yuyun Sukowati.

Asal kamu tahu, Aurel, saat kamu dimabuk-pesona oleh royal wedding-mu yang disiarkan secara langsung televisi dan dihadiri pejabat-pejabat tinggi yang ikut menumpang ketenaran suamimu di dunia simulakra bernama YouTube itu, Bu Desiree sedang bertarung melawan dan mematahkan sejumlah kesaksian monster dalam rumahnya.

Dia diusir, rumah ditembok, dan dituduh macam-macam. Puluhan tahun bersetia, tetapi kemudian dicampakkan suami yang memang memiliki kuasa di atas segalanya.

Lebih mengenaskan lagi apa yang dialami Mbak Yuyun Sukawati. Tubuhnya babak belur oleh suami berwatak bromocorah yang dengan mudah main pukul padahal bukan atlet beladiri.

Yuyun menganggap bersuamikan orang film bisa membuatnya bahagia lahir batin. Karena percaya, ia lepaskan kedaulatan ekonominya dengan hengkang dari dunia film yang membesarkannya. Jadilah dia bergantung segalanya kepada laki-laki bernama suami.

Desiree dan Yuyun nasib sayunya yang pedih bisa diketahui oleh orang banyak rasa sakitnya karena mereka memiliki akses kepada pers, kepada wartawan.

Bagaimana dengan banyak perempuan lain yang tidak punya “nama”? Yang tidak punya kedekatan dengan pewarta?

Mereka ada ribuan jumlahnya, suara mereka bungkam dengan tubuh babak-belur.

Ada yang punya sisa keberanian berangkat ke penghulu mengantarkan dokumen cerai, ada pula bersetia dalam sakit seumur hidupnya.

Lihat saja catatan dari Komnas Perempuan di tahun pandemi, jumlah perempuan yang tersakiti fisiknya berjumlah 4.783 kasus dari 11.105 yang terdata. Fantastis. Sebanyak 6.555 atau 59% jenis kekerasan itu adalah gasakan suami terhadap istri.

Itu data yang tertabulasi. Kan banyak yang tidak mengadu karena terkendala oleh budaya bahwa urusan rumah tangga adalah aib disampaikan kepada pihak luar. Atau, tidak punya pengetahuan bahwa kekerasan dalam rumah itu adalah kejahatan.

Aurel, setiap tahun saya rajin dan regular keluar dari kubur untuk memperingatkan kepada perempuan-perempuan sepertimu agar jangan pernah lengah. Antisipasi diri untuk tidak masuk dalam tabulasi data korban kekerasan itu.

Juga, memperingatkan kamu dan semua mama muda tentang semua dongeng dan gombalan laki-laki sejak mula pacaran atau kala bulan madu sudah usai.

Pada kemunculan saya dari kubur beberapa dekade lalu, saya pernah berjumpa dengan perempuan yang perkawinan keduanya juga kandas dengan memilukan.

Kamu bisa baca sendiri kisah itu di buku Jangan Menangis, Ibu! karya Ayu Arman di kisah ke-16.

Ayu Arman itu sendiri adalah penulis yang mengalami kekerasan psikis dan memilih keluar dari hubungan beracun dengan suaminya dengan membawa kabur satu anak laki-laki dua tahun dan satu lagi yang masih menggeliat dalam rahim.

Aurel, saya cuplikkan kepadamu cerita perempuan dari Bandung yang aduhai cintanya kepada lelaki yang berjiwa monster itu. Begini:

Awal kehidupan kami sebagai suami istri penuh dengan cinta yang memabukkan. Dia selalu memanggilku dengan sebutan “Cinta”.

Dia begitu menyanjungku, baik lewat sikap yang romantis maupun puisi-puisi yang dia kirim lewat ponsel jika jarak memisahkan tubuh kami.

Saya seperti ratu. Dimanja sejadi-jadinya.

Tak heran, di luar sana, teman-teman menganggap kami pasangan romantis dan perkawinan kami tak ubahnya perkawinan surgawi.

Hingga suatu malam, tepat di hari ulang tahun perkawinan kami yang pertama, sebuah tragedi menguak perkawinan surgawi kami itu.

“Ngapain sih nyimpan air banyak-banyak?” tanya Agastya kala aku membeli empat jerigen air. “Satu aja cukup.”

“Buat persediaan, Pa,” jawabku.

“Balikin! Satu aja,” ia ngotot menyuruhku mengembalikan ke tukang air.

“Pa, kran air kan mati. Air itu buat persediaan malam hari nanti. Biar tidak beli bolak-balik,” kataku.

“Kamu itu perempuan bawel, ya!” serunya.

“Papa!” teriakku kaget. Rasanya janggal ketika ia memanggilku “kamu”. Kata itu tak pernah meluncur dari mulutnya. Apalagi, mengataiku perempuan bawel.

”Kenapa? Mau ngelawan?” katanya sambal menatapku tajam.

“Papa kenapa begitu? Niatku kan baik!” ucapku kesal.

“Dasar perempuan! Di mana-mana sama saja: goblok dan tukang pembuat sial,” katanya dengan ketus.

“Salahku apa kamu ngomong seperti itu?”

“Salahmu? Kamu perempuan goblok,” ucapnya sinis.

Malam itu kami bertengkar hebat. Dia menarikku ke atas kasur dengan kasar. Aku terjatuh. Dia menindihku, duduk di atas perutku sambil menekankan bantal kuat-kuat ke wajahku, “Mampus lu! Mampus lu!”

Nyaris aku mati. Tanganku mencakar ke sana kemari. Untung aku meraih ponselku yang tergeletak di kasur. Dalam kondisi genting dan darurat aku berhasil memencet nomor ponsel ayahku. Lima menit kemudian ayahku datang dan mengetuk pintu.

Malam itu nyaris aku mati di tangan lelaki macan.

Setelah kejadian itu, aku memafkannya. Tapi, kekerasan yang sama terulang kembali dan lagi. Minta maaf, berjanji tidak mengulangi, tetapi terus memukul dan memukuli lagi. Terkadang, gara-garanya hanya soal yang remeh.

Aurel, ada yang bisa keluar dari neraka seperti itu, kebanyakan lagi nggak bisa karena banyak faktor. Salah satunya adalah pertimbangan soal guncangan jiwa anak ketika melihat kedua orang tuanya berpisah. Dan, ini yang sudah kamu alami sendiri.

Tapi, mereka yang bisa keluar dari labirin kekerasan itu menjadi perempuan-perempuan pemberani berhadapan dengan dunia yang keras ini.

Di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Pulau Adonara, perempuan-perempuan kuat ini berhimpun dan mendirikan organisasi bernama Perempuan Kepala Keluarga atau Pekka.

Mereka berani bersikap dan berkata “TIDAK!” bahwa mereka juga bisa menjadi imam untuk keluarga mereka sendiri tanpa laki-laki.

Seperti itulah karakter Firdaus tercipta dan terbentuk. Aurel, kamu tahu, Firdaus adalah suara yang dilepaskan Nawal El-Saadawi di buku Perempuan di Titik Nol. Perempuan yang berumah dalam budaya di mana perempuan menjadi kelas dua.

Sejak kecil Firdaus berhadapan dengan ayahnya yang sangat berkuasa. Berkali-kali ia terkena gamparan dan dibiarkan lapar. Oleh ayahnya, Firdaus alih-alih mendapatkan curahan kasih, melainkan sebagai babu, sebagai pesuruh belaka menggantikan posisi ibunya.

Genaplah penderitaan Firdaus tatkala muncul monster lain dalam rumah saat sang paman mencabulinya. Kelak, Firdaus datang membawa kutukan bagi laki-laki mana pun.

Aurel, jalanmu masih panjang dan waktu kelam itu belum datang dan semoga saja tidak pernah. Tapi, cerita-cerita itu bukan dongeng, tetapi pengingat di awal agar tetap waspada.

Saya mewanti-wantimu karena kamu harapan Kepala Negara untuk menjadi contoh sebuah keluarga yang selalu dipenuhi rahmat, tipe keluarga baru dan ideal untuk zamanmu.

Melalui surat ini, saya bertanya kepadamu Aurel dan juga kepada kamu sekalian, “Adakah yang lebih hina daripada bergantung kepada orang lain?”

Di situ mula-mulanya. Ketergantungan yang mutlak membikin dunia kita menjadi sangat rentan. Tanpa kuasa ekonomi, bagaimana bisa mandiri. Tanpa pendidikan, bagaimana berdaya. Tanpa jaringan dan korespondensi dengan dunia luar, bagaimana bisa berdetak.

Hidup dalam “pingitan” itu, hidup dalam ketidaksetaraan itu, membikin kita tuna dalam segalanya, rapuh dalam semuanya. Rentan terhadap kekerasan.

Sebelum berkeluarga, kita barangkali bisa hidup dengan angan-angan yang besar, cita-cita yang muluk. Namun, setelah anak pertama hadir dan pasangan hidup ternyata adalah laki-laki bermental sipir, habislah hidup, padamlah obor.

Ayo, jangan mau menjadi perempuan yang bergantung. Bekali diri dengan segala ilmu, segala keterampilan hidup yang membawamu pada pencapaian kebahagiaan dan menjauh dari kekerasan dengan segala mantelnya.

Kamu bisanya berkebun, ya, berkebunlah dengan profesional. Jangan karena suami melarang, terus ditinggalkan.

Yang menari dan punya jiwa peran, gelutilah itu, jangan mundur. Yang menyanyi, asah terus hingga mencapai peak performance. Yang akuntan, sekretaris, pilot, dokter, guru, anchor, atlet, ilmuwan, pedagang, tetap bertekun dengan profesi-profesi itu.

Saya, misalnya, tahu betul saya punya kemampuan menulis. Saya pun menulis agar cahaya itu tetap menerangi hidup dan nasib saya. Saya tidak boleh padam atas kelemahan saya berhadapan dengan budaya yang melemahkan posisi saya di zaman itu.

Sekuat-kuatnya saya rebut apa yang saya bisa rebut.

Oh, saya juga bisa membatik, membatiklah saya. Untuk jadi profesional di dunia batik, saya belajar sepenuh-penuhnya. Hasil pembelajaran serius itu melahirkan draf naskah saya berjudul Handchrift Japara.

Buku saya itu menjadi rujukan buku De Batikkunst in Ned. Indie en hare Geschiedenis karya G.P. Rouffaer dan H.H. Juynboll.

Bukan itu yang ingin saya tekankan, Aurel. Bahwa, di atas semua itu, sekuat-kuatnya diri terhubung dengan pengetahuan dunia luar agar kita tidak goblok dan bego.

Aurel, saya adalah arwah pengingat kepada perempuan muda sepertimu dan sekaligus hantu bagi semua lelaki berwatak monster kepada perempuan.

Laki-laki yang sedari diri menancapkan kuasa suaranya setara dengan Tuhan dalam rumah adalah bibit samar monster. Baemon, baby monster. Semoga baemon itu tidak pernah besar dan hanya bagian dari canda dan untuk keperluan konten entertain.

Titania Aurelie Nurhermansyah, saya kini memanggil nama lengkapmu. Saya sadar betul, kamu terlahir ketika negeri ini dilanda kekerasan politik dan Jakarta terbakar oleh api kebencian dan jeritan perempuan diperkosa memilukan udara Ibu Kota.

Saat mortalitas diperagakan secara brutal, ada natalitas dan harapan yang tumbuh. Ya, kamu, Aurel. Kamu terlahir. Yang pertama kamu lihat dari Indonesia adalah kepulan asap legam kota yang terbakar.

Aurel, sampai di sini saja surat ini. Jika ada yang sebaya denganmu bertanya surat dari siapa dan dari mana yang sedang kamu baca ini, bilang saja dari Kartini. Hanya Kartini. Nggak pakai embel apa-apa.

Oleh sebagian perempuan di Indonesia yang menjadikan saya sebagai pahlawan nasional pada 1964, saya mereka gadang-gadang sebagai prototipe Marxiswati! Saya ulangi: MARXISWATI!

Sebutan itu ada-ada saja, ya. Nggak usah direken, Aurel.

Sampai jumpa di April tahun depan. Saya balik kembali ke kubur. Panjang umur perjuangan. Semoga bahtera keluarga barumu tidak seperti keluarga Pipi-Mimimu yang lalu-lalu.

Jika pun iya, kamu sudah tahu jalan seperti apa yang harus ditempuh saat bahtera udara sedang stall. Cepat-cepat cut dan buang semua barang sampah yang meracuni kehidupanmu di tempat pembuangan yang tersedia.

* Tulisan ini dipublikasikan pertama kali Mojok.co, 21 April 2021