[Aku Pembajak] Menghapus Telur Garuda dari Daftar Bajakan

Bahagia sekali Seto hari ini. Di perayaan Hari Museum, ia ditunjuk Mas Nanang yang dikenalnya di acara Pancasila. Ia lupa momen persisnya. Yang ia tahu dan tak pernah lupa dan ia jadikan alasan mengapa ia tidak memangsa garuda adalah keluhan Mas Nanang tentang pahitnya hidup Rumah Garuda di tengah gemuruh mem-Pancasila-kan kembali semua warga negara lewat rupa-rupa acara. Keluhan itu diucapkan di depan Ratu Jogja.

Seperti saban tahun, Hari Museum digelar dengan pawai di sepanjang Malioboro. Didorong oleh motif entah apa, Seto mengajukan diri menjadi pemakai kostum utama Gardala yang jika difoto memang tampak gagah dengan sayap yang melebar seperti superhero bikinan animator negeri sakura.

Cosplay Gardala itu berat dan berkeringat memakainya. Tapi, Seto senang saja karena itu pilihannya sendiri. Menjadi relawan Gardala adalah bagian dari merasakan apa yang dikeluhkan Mas Nanang tentang derita Gardala dalam kosmos kebangsaan Indonesia.

Semua itu terjadi sebelum ia menjadi pembajak yang aktif. Kenangan itu tiba-tiba datang karena di WAG ada yang mengusulkan calon buku bajakan baru. Tentu saja, usulan itu di luar “aturan main”; bajaklah buku-buku yang menjadi mesin uang atau buku yang memiliki potensi sebagai mesin uang. Buku yang menjadi mesin uang tidak memandang siapa penulisnya karena yang dilihat adalah grafik kenaikan penjualan di banyak toko.

Seto terganggu dengan usulan itu. Mencari Telur Garuda terlalu jauh dari grafik pencetak uang. Artinya, Telur Garuda tidak masuk dalam “aturan main baku”.

Karena itu, ia langsung merespons. Tentu saja dengan sopan karena yang mengusulkan adalah senior yang dihormati dalam dunia perniagaan di mana dia hidup dan menghidupi dirinya. 

Jawaban yang ia terima ini: bagian dari partisipasi menyebarkan semangat Pancasila sebanyak mungkin kepada masyarakat.

Seto tidak langsung menjawab dan tak pernah lagi berkomentar. Ia makin gelisah setelah dua hari kemudian di email masing-masing file Mencari Telur Garuda sudah masuk. Artinya, buku itu siap dieksekusi di mesin cetak masing-masing.

Dengan sisa idealisme, Seto memutuskan untuk menolak “perintah” Dewa Pembajak untuk “menyebarkan semangat Pancasila sebanyak mungkin kepada masyarakat”. Kesungkanan kepada Mas Nanang itu melahirkan “keberanian” Seto. Setidaknya, hari ini, ia mengikuti ketukan hatinya. Entah besok.

Hikmah: belilah buku Mencari Telur Garuda ini hanya dengan nomor yang tertera di poster untuk membantu kelangsungan hidup Rumah Garuda.

#SeriAkuPembajak