PARA pembajak buku senior dan berpengalaman hanya nyengir basah melihat postingan mutakhir Tere Liye di akun FB-nya. Sudah sekian kali. Lalu, diikuti kipasan pendek dari sastrawan Eka Kurniawan. Juga, Puthut EA menimpali. Iqbal Aji Daryono juga. Krishna Pabbicara juga. Arman Dhani, iya.
Pendeknya, seperti musim yang berulang, warrior-warrior buku yang dibesarkan dan diperkaya kosa kata bahasa Inggris-nya oleh buku kamus bajakan “Jonekol” (Kamus Inggris-Indonesia yang disusun John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus yang sangat sering dibajak) ini pun sama-sama membikin pernyataan penuh murka.
Sampai di situ saja. Sampai di kemurkaan itu saja.
Berbahaya? Tentu tidak.
Apalagi, ditinjau dari sisi konten yang disajikan Tere Liye, makin berbunga hati para pembajak buku karena yang mendapatkan serangan paling telak adalah pembaca buku bajakan. Si konsumen. Si pemakai. Si pemadat. Yang digetok kepalanya adalah rantai terakhir dan terlemah dari ekonomi buku bajakan.
Reaksi si rantai akhir rantai makanan ini? Muntab. Dikatain goblok Tere Liye, mereka bersaf-saf balik memaki. Dan, terjadilah keramaian. Saya tahu persis akhir dari ramai-ramai itu, yakni senyap dan bakal berulang lagi pada Mei tahun depan di momen hari buku nasional saban tahun.
Dalam ritus tahunan itu, si pembajak, para godfather mega industri pembajakan itu selalu aman. Setiap ada penulis marah-marah, baik yang soft maupun yang muntab, dianggap pembajak sebagai kembang hidup belaka buat mereka supaya hidup tak terlalu enak dan membikin lupa diri untuk meningkatkan skill hidup dan mengingatkan bahwa bawaan bisnis bajakan adalah high risk high return.
Mereka menonton dari jauh gontok-gontokan yang sepertinya punya faedah, tetapi nyaris berakhir sebagai konten dan topik buat netizen saling memaki satu dengan lain. Antara yang sudah bertobat dengan yang masih berstatus sebagai pemadat akut. Nyaris pergontokan itu membentuk template, seperti pola berulang. Mula-mula yang dimaki itu adalah konsumen. Kalaupun levelnya naik, ya, pengasong buku bajakan dengan omset tidak seberapa.
Bagi pembajak buku, teramat mudah menggoyang para warrior dan pengikutnya ini. Ganggu saja moral gandanya. Memaki buku bajakan, tetapi menikmati film-film yang disebar secara ilegal di kanal-kanal teluk gelap (pirate bay), mendengar musik ilegal, memakai perangkat lunak ilegal. Bahkan, sebelum sampai tahapan hari ini, dulunya banyak dari pemaki ini adalah pemadat buku (kamus) bajakan juga.
Pendek kalimat, setiap unggahan dengan topik musiman ini tampak seperti pembela garis depan “copyright”, sementara akhlak harian adalah “copyleft”.
Begitu perkasa dan kuatnyakah para pembajak buku hingga sama sekali tidak tersentuh? Tentu saja iya jika Anda semua hanya berbicara di sektor moral melulu dari tahun ke tahun.
Sebab, yang ditakutkan si pembajak buku dengan semua gurita bisnisnya cuma satu: POLISI. Jika kamu bukan siapa-siapa, penulis nirnama bukan seperti Tere Liye atau penerbit semenjana dengan produk terbitan yang sama sekali tidak menarik, tapi bisa membawa polisi masuk ke halaman rumah si pembajak buku, Andalah lawan tanding yang sangat diperhitungkan.
Pembajak tidak terlalu berkurang signifikan omsetnya hanya karena celotehan ngeksis di berbagai platform percakapan sosial. Pun, mereka masih bisa toleransi kerugian jika produk jualannya di lokapasar di-takedown karena laporan-laporan acak dan tidak terstruktur.
Lain cerita jika sudah melibatkan polisi. Lonceng kebangkrutan sudah meraung-raung karena bisa menggerus semua yang didapatkan bertahun-tahun. Apalagi, jika nasib sedang berada di titik nadir keapesan, bukan saja aset disita, tetapi juga diri menghuni penjara. Bangkrut di harta, badan terkucil.
Sampai di sini, tampaknya mudah. Oh, tidak, Saudara. Ini perkara rumit dan besar karena menyaratkan adu logistik.
Pembajak buku menganggap persoalan sangat serius bila ada seseorang atau sekelompok orang yang mengumpulkan pengacara dan melayangkan aduan ke pihak berwajib karena si pengadu punya endurance, punya power, untuk bertarung dengan nafas panjang. Bukan saja menyaratkan kesabaran yang tinggi, tetapi juga dana kas yang tidak sedikit. Karena, mesti keluar untuk menyewa pengacara-pengacara tangguh dan “biaya perkara lain tak tertulis”.
Sampai di sini, para pembajak berhitung dengan sangat detail kerugian besar apa yang sudah di depan mata. Memang, bisa dilawan. Perlawanannya juga melibatkan nyaris semua kas utama yang bertahun-tahun ditabung di deposito, diinvestasikan di sertifikat tanah, rumah kos, kios-kios sewaan, barang mulia, saham, koin kripto, dan seterusnya.
Alhamdulillah, sampai sekarang, tampaknya pembajak buku masih selalu berada di bawah lindungan Mbak Dewi Fortuna. Beberapa penerbit mapan sudah melakukan terobosan ini, yakni melawan dengan melibatkan polisi. Satu dua kali ada aksi dilakukan untuk ditulis wartawan yang menjadi sangkakala bahwa perang (semu) dimulai. Ada juga koalisi penerbit yang resah berkumpul dan mengepalkan tangan bersama hingga ke meja polisi. Setelah sekian lama saling mengirim gertakan dan psywar, berakhir di secarik kertas putih.
Setelah suasana menjadi kalem lagi, kala lautan perbukuan kembali teduh, mesin cetak kembali meraung-raung untuk mengembalikan kas yang hilang selama “perang dingin” itu.
Poinnya adalah bahwa ini perkara yang mahal. Pembajak buku tentu saja masygul bila ada yang menuding si pembajak ena-ena saja nggak punya risiko finansial saat mengambil posisi nista seperti ini: nggak bayar ini, nggak bayar itu. Keliru, Saudara. Mereka memang tidak membayar yang “nggak-nggak” itu. Sebab, semua keuntungan dari praktik nista ini diakumulasi dan dibekukan sedemikian rupa untuk menghadapi perang besar entah kapan harinya datang.
Sampai di sini, saya tidak pernah lupa kata-kata Buldanul Khuri yang jujur/polos dan nyaris seperti sabda pasrah: “Beperkara (secara serius) dengan buku bajakan, kita tidak hanya kehilangan kambing, tetapi sapi sekaligus!”
Suhu Buldan ingin mengatakan bahwa mustahil bisa diterobos kemahalan ini walau penerbit-penerbit bangkrut sudah bersulih menjadi peternak kambing atau sapi.
Di tengah kemustahilan itu, masih ada jalan me-murah-kannya? Selalu ada jalan. Tapi, seperti biasanya, yang murah meminta syarat agak berat. Persiapkan satu generasi yang lahir dari keluarga para penerbit atau penulis atau patriot-patriot copyright ini menjadi perwira polisi yang mengisi posisi penting di polsek-polsek seluruh Indonesia. Polisi-polisi inilah yang bergerak dan mengambil inisiatif melakukan patroli bajak buku. Penerbit dan penulis hanyalah pengadu dengan probono, polisi yang mengurus semuanya.
Demi perjuangan menggulung buku bajakan, mulailah melihat polisi tidak dengan dengusan permusuhan; sisihkan satu atau dua anggota keluargamu berkarier di korps pet cokelat, jadilah keluarga polisi. Selamat Hari Bhayangkara, sebulan lagi.
Pertama kali dipublikasikan Mojok.co, 29 Mei 2021