Hanya Rezim VOC yang Boleh Didemo saat Pandemi

SEHARI setelah “Pemerintah Pusat” mengganti istilah “PPKM Darurat” menjadi level-levelan, demonstrasi pemuda meledak di Bandung.

Tidak terlalu mengagetkan, demonstrasi itu kelanjutan dari demonstrasi yang luar biasa besar sepanjang September hingga November 2020. Isunya berbeda, tetapi punya kesamaan momentum. Yakni, saat kurva pandemi Covid-19 terus menanjak.

Kesamaan yang lain: begitu banyak yang menyayangkan, kenapa mesti demo di tengah pandemi. Padahal, pandemi ini bisa diputus sebarannya kalau kerumunan dikurangi. Demo justru sebaliknya, mengundang kerumunan. Makin berkerumun, makin asyik.

Saya sepakat dengan kelas yang menyayangkan demo di tengah pandemi seperti ini. Sebab, ini rezim bukan rezim VOC, ini rezim Pancasila hasil rumusan BPIP dan bersemangatkan (vaksin) gotong-royong.

Ini rezim welas asih yang terangkum dalam satu kalimat pamungkas dari Lord Luhut Binsar Panjaitan: “Saya jamin tidak akan pernah pemerintah memberikan kebijakan atau aturan yang akan menyesarakan, menyesengrakyat, menyesengrasan, menyesengra, menyesengsarakan, menyesengsarakan menyengsarakan rakyatnya”.

Para pemuda, pelajar, mahasiswa, janganlah mendemo rezim ini. Sebab, yang boleh didemo di masa pandemi hanyalah rezim VOC.

Kok, bisa?

Begini ceritanya.

Pandemi Covid-19 ini sesungguhnya gelombang ketiga pandemi menggebuk negeri ini. Gelombang pertama adalah pes atau sampar (1910-1913) dan gelombang kedua influenza (1918-1921).

Jika Anda membaca koran-koran di masa pandemi sampar atau pes itu, mirip dengan Anda saat ini yang barangkali muak, bosan, dan linglung karena terus disuguhi berita inalillahi di linimasa media sosial dan media massa. Termasuk, toa-toa masjid dan sirene ambulans di jalanan kota siang dan malam.

Tapi, justru di tengah pandemi sampar itu, organisasi-organisasi yang beberapa kemudian menjadi motor gerakan radikal Indonesia justru lahir.

Muhammadiyah, misalnya, lahir di tengah pandemi pes sedang dahsyat-dahsyatnya di bumi Jawa, 18 November 1912. Sarekat Islam atau SI didaftarkan ke notaris pada 10 September 1912 oleh H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya, kota yang menjadi salah satu episentrum pes.

Di Bandung, Indische Partij lahir pada 25 Desember 1912 oleh tiga nama yang mengguncang kolonial: Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjipto Mangunkusumo.

Jelang pandemi gelombang kedua (influenza) pada 1918, Soerjopranoto, kakak dari Soewardi Soerjaningrat, mendirikan Adidarmo yang berkonsentrasi kepada pendidikan budi dan advokasi kelas buruh. Untuk mengorkestrasi gerakan buruh di Jawa Timur dan Jawa Tengah, bangsawan Pakualaman ini memimpin Personeel Fabrieks Bond atau PFB.

Pemogokan paling bersejarah dari aksi serikat buruh ini terjadi pada 20 Agustus 1920 di pabrik gula Madukismo, Yogyakarta. Mahkota “Raja Mogok” yang disematkan di kepala Soerjopranoto itu terjadi saat kurva pandemi influenza mulai melandai.

Di Surakarta, dokter revolusioner Tjipto Mangoenkoesoemo membikin Insulinde, partai jelmaan baru Indische Partij yang muncul pada pandemi gelombang pertama. Di tengah pandemi influenza, Tjipto yang sangat berpengalaman pada wabah pes karena turun langsung sebagai bagian #wargabantuwarga, justru tidak memilih berdiam diri.

Dalam gebukan influenza, Tjipto menyeru-nyerukan untuk membelejeti feodalisme keraton yang makan dari keringat rakyat. Ia berada dalam barisan petani yang berdemo dan protes di perkebunan Tegalgondo dan Nglungge (Klaten).

Terutama, protes atas sistem Vorstenlanden yang membikin para kromo di desalah yang “menghidupi” raja dengan seluruh rombongan pangeran dan setengah pangerannya, bupati dan setengah bupatinya. Sistem ini juga sekaligus menghidupi tuan paduka pemerintah pusat di Batavia.

Di saat pandemi influenza ini betul-betul berhenti, organisasi-organisasi radikal dan keras kepala melakukan protes dan pembangkangan itu membangun aliansi dan lahirlah Partai Komunis Indonesia (PKI).

* * *

Lihat, pandemi pes dan influenza itu tidak memberhentikan kegiatan yang menjadi pembibitan benih pembangkangan politik. Di satu sisi, pes/sampar dan influenza itu membikin nyawa manusia melayang tiap hari.

Dahsyat? Iya, mengerikan.

Saking mengerikannya pes atau sampar ini, misalnya, sampai-sampai diserap menjadi menjadi ungkapan serapah mendoakan cilaka dalam bahasa Belanda: krijg de pest.

Tapi, pes dan influenza tidak kemudian membikin aktivis pemberani dan berpengetahuan mengandangkan diri dalam rumah menunggu mati. Sehebat-hebatnya pes memetik nyawa, ia tidak pernah bisa merumahkan pembangkangan.

Pilihannya adalah mati cepat karena pandemi atau mati perlahan-lahan karena diisap hidup dan semua ekosistemnya.

Kita lalu tahu, Sarekat Islam, Indische Partij, ISDV, Sarekat Rakjat, Insulinde, Adidarmo, untuk menyebut beberapa, menjadi dua madrasah perkaderan bagaimana menjadi pembangkang yang baik, benar, dan saleh.

Pembangkangan aktivis di tengah pandemi itu tentu saja berujung pada penjara. Aktivis-aktivis dan para pemimpin redaksi berbaris ke pintu penjara dan pembuangan.

Tirto Adhi Soerjo yang dituduh mencemarkan nama baik pejabat karena korupsi di tengah pandemi pes dijatuhi hukuman buang; mula-mula ke Lampung, lalu ke Bacan, Maluku.

Tiga pendiri Indische Partij dijatuhi hukuman buang karena aktivitas protes mereka lewat koran. Delik puncaknya adalah disebabkan artikel propaganda Soewardi Soerjaningrat yang mengolok-olok pemerintah.

Tatkala kurva wabah pes melandai setelah tahun 1913, grafik eksponensial pembangkangan justru menanjak.

Untuk meredakan gejolak itu, pada 1914 Staatblad No. 205-206 pasal 66a dan 66b diluncurkan. Undang-undang ini kemudian dikenal dengan pasal karet atau haatzai artikelen. Isinya, meringkus siapa saja yang dengan sengaja mencemarkan nama baik dan menyebarkan kebencian lewat pers di muka umum.

Kalau sulit membayangkan postur undang-undang ini, Anda bisa membayangkannya dengan yang terdekat: UU ITE.

Pelaksanaan pasal karet itu menjadi sempurna setelah si Gubernur Jenderal mendeklarasikan lembaga superbody bernama Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda pada 1916.

Membangkang kepada siapa sesungguhnya sejumlah daftar nama yang sudah disebutkan di atas? Ini jawabannya: rezim VOC.

Apa yang kita kenal dengan pemerintahan Hindia Belanda sejatinya adalah rezim pedagang yang serakah. VOC atau Verenigde Oost Indische Compagnie mula-mula hasil peleburan enam perusahaan kecil.

Ya, miriplah Bank Mandiri hasil peleburan beberapa bank pemerintah yang sudah di ambang kebangkrutan karena krisis 1998.

Enam perusahaan itu kemudian menjadi kamer atau cabang. Ada Kamer Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen. Sudah tahu, ‘kan, asal kata “Kamar” di akronim Kadin itu, Kamar Dagang Indonesia itu. Ya, betul, hehe, itu bagian dari ikhtiar merawat apa yang baik dari VOC.

Sejarah rigid VOC itu berlimpah arsipnya di Arsip Nasional Republik Indonesia.

Saya hanya ingin rangkumkan empat ciri besarnya.

Satu, VOC ini oligarki yang bersandar pada tiga kaki: pedagang, serdadu, ilmuwan (ulama/pendeta/akademisi).

Isi kapal-kapal dagang besar yang berlayar menuju negeri bawah angin berisi persekutuan tiga kelas itu. Makin lengkap persekutuan jahat dan gelap itu lantaran peta jalan menuju Nusantara tidak lain tidak bukan hasil curian serdadu bernama Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman dari Portugis.

Mula-mula rezim maling VOC ini hanya kongsi dagang, gabungan dari enam kamer yang sudah disebutkan sebelumnya. Karena menggemukkan saku banyak pejabat di Belanda yang menanam saham, kongsi ini diberikan wewenang yang besar.

Hak-hak yang dipunyainya sudah seperti sebuah pemerintahan: boleh punya tentara, boleh ngeluarin maklumat perang, boleh membangun permukiman (koloni), boleh menjarah dan memerintah daerah-daerah, boleh menerbitkan mata uang sendiri, dan boleh menarik pajak.

Untuk bisa menjalankan wewenang “boleh” itu, saudagar-saudagar serakah ini butuh serdadu. Karena monopoli luas tidak bisa tercapai kalau tidak disertai dengan kekuatan penekan.

Dalam semangat monopoli, semua yang dianggap menghalangi arus laba harus dihabisi. Pers yang membocorkan usaha dagang, secepatnya dibreidel. Lawan usaha dibangkrutkan.

Monopoli itu bisa mulus menggelindingnya hanya jika dijaga serdadu. Modal keamanan untuk sektor ini tentu saja sangat besar. Tidak hanya membiayai kehidupan sehari-hari serdadu, perusahaan juga berjaga-jaga untuk dana perang dengan pesaing mereka, baik sesama pedagang dari Eropa maupun bangsa koloni yang gak manut.

Pitung dan Jaka Sembung menyebut serdadu yang menempel di perusahaan ini dengan kumpeni. Kumpeni itu berasal dari huruf “C” di singkatan “VOC”, yakni “Compagnie”. Kita bisa maklumi bila jagoan kita ini hanya bisa melihat searah di depan dan tidak bisa menganalisis sisi melik.

Maklum, si Pitung dan si Jaka Sembung nggak makan sekolah apalagi kuliah di Universitas Indonesia yang diajar langsung Ari Kuncoro dan Ade Armando. Maka, tahunya kompeni itu, ya, tentara merah-putih-biru bersenjata laras panjang. Bahwa, kompeni itu adalah sebuah perusahaan transnasional, sabodo dah.

Agar VOC bisa diterima sebagai orde baru baik hati yang datang dari negeri atas angin, negeri modern berperadaban tinggi, diperlukan legitimasi.

Ahli agama (pendeta) dan orang kampus dibutuhkan tenaganya sebagai soft power, yang maju ke gelanggang koloni untuk mengambil hati masyarakat setempat sebelum dirampok tanahnya dan dijarah semua isinya semau-maunya.

Dalam bahasa penceramah agama di Iduladha, ketiga kaki oligarki itu disebut dengan nama tiga berhala: Ula, Wustha, Uqba.

Ula adalah Firaun, pejabat yang menindas, Gubernur Jenderal dan centeng-centeng birokrasinya. Wustha adalah Karun, pengusaha serakah. Ula adalah Balam, ahli agama dan orang kampus pengecer pengetahuan untuk mendukung dua berhala sebelumnya.

Dua, membuat Pemerintahan Pusat (Hoge Regering).

Karena diberikan wewenang membangun koloni, oligarki berkaki tiga itu kemudian mendirikan hoge regering atau pemerintahan pusat/agung. Kalian sudah tahu dari mana asal kata “pemerintahan pusat” itu? Cakep. Kalian boleh bertepuk anak saleh.

Pemerintah Pusat itu tentu saja mesti dilengkapi badan-badan lain agar “rezim VOC” betul-betul seperti pemerintahan pada umumnya. Maka, berturut-turut yang dibuat dalam tiga abad pertama pendudukan itu adalah Hoge Commissie atau Komisi Tinggi, Algemene Rekenkamer atau Badan Umum Pengawas Keuangan, dan Raad van Justitie atau Dewan Peradilan.

Tiga, bikin DPR-DPR-an.

Nama kerennya Volksraad. Pendiriannya pun karena didesak oleh parlemen di Belanda setelah politik balas budi berjalan.

VOC sudah bikin Pemerintahan Pusat, tapi, kok, gak ada DPR-nya. Lucu, gak, lucu, gak, ya, gak luculah.

Ya, karena supaya terlihat rezim berbudi luhur dalam politik, DPR atau Volksraad pun dibentuk. Sebut saja DPR-DPR-an. Isinya mereka-mereka juga. Isinya centeng-centeng perusahaan.

Oke, supaya kelihatan ada unsur “Rakyat”, diajaklah aktivis masuk DPR-DPR-an itu. Ajakan ini bikin heboh organisasi-organisasi. Ribut. Diskusi berlangsung berbulan-bulan untuk menentukan apa maslahat dan mudarat mengirim wakil ke DPR.

Sarekat Islam, misalnya, pecah jadi dua kubu gara-gara isu ini: “berjuang keluar di dalam” atau “melawan di jalanan”. Centraal Sarekat Islam (CSI) yang berpusat di Surabaya melunak dan mau mengirimkan wakilnya untuk duduk di Volksraad.

Sementara itu, SI Surakarta dan SI Semarang menjadi motor penentang duduknya para aktivis dalam DPR-DPR-an itu. Mereka memaki habis-habisan kelompok aktivis di Volksraad itu.

Empat, ngasih beasiswa kepada kelas tertentu.

Karena ditekan oleh parlemen di induk negaranya, Belanda, rezim VOC membuat ke-BIJAK-an untuk “mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa (kuli) bernama Hindia”.

Tentu kalian sudah hapal apa yang disebut Etische Politiek yang diluncurkan pada 1901 itu: Irigasi, Imigrasi, Edukasi.

Irigasi itu simbol pembangunan infrastruktur yang, maunya, sih, mensejahterakan rakyat jajahan. Imigrasi adalah proyek transmigrasi. Dan, edukasi adalah memberi kesempatan kepada bumiputra untuk mendapatkan akses pendidikan dan pengajaran.

Tapi, bumiputra yang dimaksud tentu saja sudah diseleksi. Hanya dari kelompok bangsawan dan pegawai negeri rekrutan rezim saja yang boleh menikmati madu pengetahuan dan cahaya pencerahan.

Nama-nama seperti Sosrokartono, Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangunkusumo, Tirto Adhi Soerjo, Soerjopranoto, dan ratusan anak bangsawan dan inlandsch bestuur atau pangreh praja yang mendapatkan privilese dan akses untuk “menggapai” kehidupan yang lebih cerah.

Program “beasiswa” dari politik balas budi itu bukan pendidikan yang berorientasi untuk semua kalangan, tetapi dari kelas yang digadang-gadang bisa memperkuat posisi rezim untuk terus mengakumulasi modal di negeri koloninya.

Justru di sini titik krusialnya. Rezim VOC salah hitung. Rupanya, mereka keliru mengalkulasi bahwa program “beasiswa” itu awal dari retak kecil yang berubah menuju kebangkrutan.

Dari ratusan murid dari bangsawan itu terdapat sebagian kecil memilih untuk membebaskan negerinya. Bahwa, rezim VOC ini tidak lebih dari rezim yang serakah, rezim penindas, rezim pengibul, dan pengadu domba. Mereka penjajah.

Dan, melawannya haruslah dengan metode yang mereka ajarkan sendiri: organisasi dan mimbar bebas. Dengan organisasi, kekuatan dan jaringan antarpulau bisa terkait dan terikat. Dengan mimbar bebas menggunakan media, suara bisa echo dan menggema hingga ke Belanda.

Mereka sadar, masyarakat Belanda banyak tidak tahu kelakuan bejat dan jahanam rezim VOC. Sebabnya adalah media dikontrol.

Bayangkan, koran lelang Bataviase Nouvelles yang terbit pada 1744 hanya bertahan dua tahun. VOC menganggap, koran yang “hanya” memberitakan berita lelang dan perdagangan di Batavia ini membahayakan (monopoli) dagang mereka. Terutama, bila dikupingi pesaing-pesaing mereka di Eropa.

Bahwa mesin cetak bisa masuk dan beroperasi di Hindia, iya. Bahwa koran-koran boleh terbit, iya. Bahwa buku-buku boleh beredar, iya. Tetapi, terbitan-terbitan itu terseleksi, tersensor. Seakan ramai penerbitan, tetapi itu hanya kamuflase. Media banyak (poli), tetapi suaranya satu (homoponik). Suara yang gak boleh mengganggu syaitonirejim.

Anak-anak beasiswa politik balas budi inilah yang melempar baju ningratnya, zirah kebangsawanannya. Mereka bersulih ke jalan buruh, jalan tani. Mereka meninggalkan privilese sebagai calon budak dan penjilat rezim VOC dan mengambil jalan panjang proyek pembebasan negeri.

Dengan kepakaran dan kepintaran karena mencicipi bangku sekolah, bangsawan-bangsawan muda ini mengorganisasi demonstrasi dan menyerukan bahwa KITA DIBODOHI, KITA DIISAP, KITA DITINDAS.

Mereka menyeru bahwa di alam penindasan, tidak ada Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak, Minahasa, Mandar, Papua, Aceh, Kaili, Minangkabau, Toraja, Tionghoa, Arab, Ternate, Sumba. Yang ada hanya dua, kata Tirto Adhi Soerjo: “kelas terprentah” dan “kelas memrentah”; kelas tertindas dan kelas menindas.

Mereka menyerukan pembangkangan tidak hanya dalam tulisan, tetapi juga di jalanan. Tidak saja di saat semesta sosial normal, tetapi juga saat pandemi menggebuk. Mereka berpikir, saat Pemerintah Pusat terkonsentrasi mengendalikan pandemi, saat itulah titik lemah terbuka.

Tentu saja, Pemerintah Pusat menghabiskan daya mengendalikan pandemi bukan demi nyawa rakyat jajahan, melainkan menyelamatkan cashflow ekonominya. Gema trauma Java Oorlog dan Aceh Oorlog masih mengiang-ngiang yang nyaris membangkrutkan rezim VOC.

Jika pandemi terus mengamuk, pabrik-pabrik tutup dan ekonomi mereka hancur. Belum lagi, situasi seperti ini dengan sangat mudah digunakan para ekstremis-ekstremis. Anak-anak didikan Pangeran Diponegoro/Sentot Alibasja dan Teuku Umar/Cut Nyak Dien bisa bangkit dan melakukan belapati atas tanah airnya.

Dengan berbekal pengetahuan, mesin pembangkangan tidak hanya dioperasikan, tetapi juga dioper.

Saat generasi Tirto Adhi Soerjo, H.O.S. Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hadjar Dewantara mulai melemah dan kepayahan, muncul pengganti berusia muda yang lebih galak dan terorganisasi: Soekarno, Sjahrir, Agus Salim, Hatta, Moesso, Tan Malaka, dan seterusnya.

Demikianlah, Saudara. Terutama, tenaga muda pembakar semangat zaman. Sejarah adalah cermin dari mana keteladan ditimba.

Sudah tahu, ”kan, dari mana jargon “jangan lupakan sejarah” bermuasal?

Jika pun berdemo di masa pandemi ini, itu tiada lain niatkan sebagai simulasi dari sebuah rekonstruksi masa lalu yang merupakan pelaksanaan dari kata-kata mutiara jasmerah yang mudah sekali diperdagangkan di lokapasar politik titik titik.

Tapi, itu tadi, di masa pandemi seperti ini, hanya rezim VOC yang boleh didemo secara serius. Rezim yang hanya memikirkan cashflow perusahaannya semata, bukan kesehatan rakyat negeri.

Kalau mereka menghabiskan uang pajak negara untuk melandaikan pandemi, itu semata karena rezim VOC tidak mau bangkrut gurita perusahaan mereka.

Dan, yang berkuasa hari ini, tentu saja bukan rezim VOC. Bukan.

Godverdomme op zeg, Jaka Sembung. Bah. Itu!

Pertama kali dipublikasikan Mojok.co, 22 Juli 2021