Ali Mochtar Ngabalin, Mubalig Buldoser yang Selalu Siap ‘Open BO’

Di mana ada keributan soal-soal yang terkait dengan isi kebijakan bekas istana VOC di kawasan Koningsplein, di situ terpacak nama Ali Mochtar Ngabalin. Sebut apa saja. Rentangkan kroniknya sejak Ali ditunjuk sebagai salah satu front dalam soal adu mulut di layar kaca dan lini masa media sosial.

Pertanyaan yang selalu mengganjal adalah; mengapa harus Ali Mochtar yang dipanggil menempati saf pertama pasukan bumi hangus?

Kalau soal galak, partai utama pengusung presiden yang berkuasa saat ini punya stok melimpah. Kalau pilihannya pada surban dan aksesori keagamaan, NU selalu surplus.

Tidakkah menjadikan Ali etalase di mana wajah istana terwakilkan di sana bisa merusak citra yang selama ini dijual dengan diskon gede-gedean? Citra santun, murah senyum, welas asih, memangku milenial, berpihak kepada wong cilik, lempar-lempar bungkusan kepada orang papa, dan seterusnya.

Dari semua anggota “west wing” atau KSP, Ali memang tidak ada duanya. Dari sisi mode yang terpacak di kepala saja, ia sudah sangat berbeda. Berbeda dalam segala hal, termasuk sesungguhnya berbeda dalam “ideologi”.

Tetapi, mengapa? Ini penjelasan saya.

Bermula dari Kawatuna, Tempat Pembuangan Sampah

Saya sesungguhnya tidak asing dengan Ali Mochtar Ngabalin. Saking tidak asingnya, selanjutnya, saya menulis “kak” sebagai bentuk penghormatan tiada putus atas sosoknya. Terutama sekali, ia adalah super-senior saya di Pelajar Islam Indonesia (PII) di Sulawesi Tengah.

Bukan sekadar senior, saya sangat segan dengannya. Keseganan seorang murid STM negeri kelas dua terhadap si singa mimbar. Di mimbar Jumat atau Tarawih, Kak Ali adalah penyihir.

Sebagai mubalig, sosok Kak Ali Mochtar Ngabalin sebelas-dua belas dengan Kak Jamaluddin Hadi. Dua-duanya penguasa podium, penarik gerbong anak muda yang memiliki gairah keagamaan yang meluap-luap.

Kak Ali pewaris tradisi mimbar Masyumi, pendebat ulung. Retorikanya, pilihan diksinya, dan artikulasinya dalam menyampaikan gagasan luar biasa membius.

PII yang dianggap ilegal karena dituduh tidak menerima Pancasila sebagai asas tunggal membutuhkan propagandis-propagandis muda, membutuhkan mubalig pemberani seperti itu. Sebagai manusia muda fresh graduate IAIN di Makassar, semua prasyarat itu dipunyai Kak Ali Mochtar Ngabalin.

Dan, Kak Ali menjadi pimpinan pondok pesantren di Kawatuna, Kota Palu. Kawatuna terkenal dengan tempat pembuangan sampah. Seperti Bantargebang di Bekasi, seperti Piyungan di Yogya. Kawatuna adalah dataran tinggi yang dari sana kita bisa melihat seantero Kota Palu. Termasuk leluasa menyaksikan mendarat atau lepas landasnya pesawat di Bandar Mutiara karena lokasi bandara ini persis di bawah mata Kawatuna.

Juga, tentu saja itu dulunya kawasan sepi. Berkali-kali menjadi lokasi favorit eksekusi mati bagi narapidana berat. Para kader PII militan yang berjuang di bawah tanah, terutama Brigade (sayap paramiliter), kerap ke pesantren Kak Ali, Ponpes Nurul Falah. Kadang hanya kunjungan biasa, kadang pula mengadakan pelatihan kader dan uji mental juang selama berhari-hari.

Dengan sosok yang kekar, mata elang, dan suara menggelegar, Kak Ali adalah visualisasi dari apa yang disebut “kader militan” itu. Apalagi, ditambah dengan sorban yang meliliti kepalanya dan bukan songkok, paripurna sudah.

Karena kader militan di PII dalam pengertian yang paripurna, Kak Ali khatam belajar politik. Ia boleh dibilang menjadi pewaris politik Masyumi di Sulawesi Tengah. Dalam darahnya menurun karakter Kasman Singodimedjo si jago debat.

Di Kawatuna, di perbukitan sampah itu, Kak Ali menggembleng diri sebagai ideolog sekaligus belajar politik Islam. Kedua-duanya diperlukan untuk membentuk diri sebagai taruna “melawan” penguasa laknatullah.

Basis perlawanan itu secara halus digelar dari masjid ke masjid. Masjid, bagi Kak Ali, bukan sekadar ruang tempat menggelar sajadah dan bersujud. Masjid adalah madrasah untuk belajar ihwal apa saja; terutama, soal ideologi, situasi ekopol. Juga, membangun dan menenun jaringan yang tidak mudah diendus aparat keamanan.

Kak Ali terlatih dengan semua itu. Seperti halnya terlatihnya para mubalig Jakarta Utara di tahun-tahun politik Islam membara di Tanjung Priok pada medio 1980-an.

Peristiwa ini bisa disebut sebagai pusat gravitasi dan merembet ke mana-mana, baik sebelum maupun sesudahnya: kasus pembajakan pesawat, peledakan pos polisi, pengeboman BCA dan pelataran Candi Borobudur.

Para mubalig yang berbenturan dengan tafsir tunggal ideologi oleh aparatus negara dibariskan satu demi satu ke penjara.

Nama-nama seperti Abdul Qodir Jaelani, A.M. Fatwa, Ali Alhabsyi bersaudara, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Imaduddin Abdulrahim, untuk menyebut beberapa, memanggul risiko dipenjara untuk mempertahankan ideologi ideal anutan.

Tapi, Kak Ali Mochtar tidak mesti berjibaku membikin perhitungan vis-à-vis dengan aparat keamanan di jalanan. Sebab, garis juang Kak Ali adalah pendidikan, tarbiah. PII adalah gerakan pendidikan untuk kalangan pelajar, sementara HMI menjadikan kampus sebagai ladang perkaderannya.

Baik PII maupun HMI punya kesamaan: sama-sama digeprek penguasa di tahun-tahun pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal kehidupan sosial. Dulu, ada badan dengan tafsir tunggal atas Pancasila dibentuk: BP7. Miriplah dengan BPIP saat ini dalam versi halus.

Dalam praktiknya, BP7 ini yang bertanggung jawab “menggarap” semua kaum pelajar agar sama dalam pikirannya tentang apa dan bagaimana Pancasila lewat pendidikan doktrinal bernama P4.

PII tidak bisa menerimanya. Karena membangkang, PII dicap sebagai organisasi ilegal. Buka SK Nomor 120 Tahun 1987 bertarikh 10 Desember yang ditandatangani Mendagri Supardjo Rustam: “PII tidak diakui keberadaannya karena tidak memenuhi persyaratan UU, dan semua kegiatan yang mengatasnamakan Pelajar Islam Indonesia dilarang.”

Sejak beleid yang tidak pernah menjadi keppres itu keluar, PII pun tiarap dan tak pernah lagi muncul secara formal ke permukaan. Di dekade ’80-an itu, paling terakhir PII menyelenggarakan acara formal secara terbuka pada awal 1980 saat menyelenggarakan muktamar di Surabaya. Selanjutnya, semua dilakukan diam-diam, dilakukan dengan senyap dan bisik-bisik.

Di harakah seperti itulah Kak Ali berdakwah. Di harakah yang terus-menerus diinteli tersebut semua kadar dilatih instingnya untuk “pintar-pintar membawa diri”. Mestilah tahu bagaimana “berpakaian”.

Kader-kader dilatih untuk licin menyusup ke banyak lembaga dakwah, terutama sekali masjid dan musala rohis kepunyaan OSIS. Maka, menjadi mubalig adalah salah satu siasat dakwah.

Pendeknya, pola hidup “nomaden” seperti itu membikin kader-kader pilihan semacam Kak Ali Mochtar Ngabalin menjadi sangat “profesional”. Di lembaga mana pun, tetap tahu bersikap, tahu membawa diri.

Politik kulit bawang

Ada istilah khusus yang ditelurkan PII jelang memperingati Hari Bangkit (Harba) PII ke-49 di Yogyakarta pada Mei 1996 untuk “mendefinisikan” sikap yang diambil PII untuk kembali akur dengan pemerintah.

Di Benteng Vredeburg, Km 0, Yogyakarta, kader dan para alumni untuk pertama kalinya muncul secara resmi ke publik setelah satu setengah dekade bergerilya di belakang musala dan emperan masjid.

“Orang boleh melontarkan beribu pendapat dan penilaian terhadap langkah PII. Tapi, PII telah berbuat dan menentukan pilihannya sendiri. Pancasila bagi umat Islam, juga bagi PII, sudah tidak dipermasalahkan. Hal ini murni hasil musyawarah internal PII, tanpa dipengaruhi siapa pun, termasuk Keluarga Besar PII,” demikian Abdul Hakam Naja, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PII periode 1995-1996.

Cuplikan pidato yang disampaikan di Vredeburg itu direkam dalam satu halaman majalah berita UMMAT edisi 27 Mei 1996, No. 24, halaman 22.

PII memang terbelah dua sikap. Daerah-daerah besar seperti DKI Jakarta dan Yogya mantap mengambil sikap agar PII menerima saja asas tunggal dengan catatan ini bagian dari politik kulit bawang.

Jadi, menerima sekadar administrasi, bukan seutuh-utuhnya. Beberapa daerah di Sulawesi, termasuk Selatan dan Tengah, ada yang melanjutkan gerilya seperti sediakala dan lainnya menunggu dan menyimak.

PII mengambil sikap melunak itu karena angin “politik negara” terhadap Islam politik mulai menampakkan wajah berdamai. Laut sedang teduh. Terutama sekali karena ada nama B.J. Habibie yang menjadi patron dengan hidup di dua kaki berbeda: satu kaki di umat (ICMI), satu kaki lagi di birokrasi pemerintahan (menteri ristek).

Sosok seperti Kak Ali Mochtar Ngabalin mudah saja menerapkan taktik politik kulit bawang itu. Dalam politik kulit bawang mesti dipisahkan mana kulit mana inti. Dalam soal yang substansial, ideologi Islam yang intrinsik tidak boleh dirayakan di permukaan karena hanya mempercepat matinya harakah. Semua yang bersifat “isi” mestilah disembunyikan rapat-rapat.

Sebaliknya, amalan-amalan duniawi yang sekadar kulit belaka itu bisa didamaikan. Di sana, bersikaplah senatural mungkin. Dalam konteks Orde Baru, Kak Ali Mochtar Ngabalin sangatlah profesional menempatkan mana politik duniawi, mana ideologi yang dimenangkan kelak. Tradisi menyaru menjadi pengurus ini dan itu di lembaga sana dan di sini menjadi amalan hidup sehari-hari.

Dari sini, mudah sekali memahami bagaimana kemudian Kak Ali Mochtar Ngabalin berpolitik setelah fajar Reformasi merekah.

Mula-mula, Kak Ali Mochtar Ngabalin bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB) yang digadang-gadang sebagai wajah baru Masyumi yang pernah dibelejeti Sukarno dan dipendam Soeharto.

Dalam implementasi politik kulit bawang, terlarang untuk fanatik terhadap semua yang bersifat politik duniawi yang dalam hal ini (ber)partai politik.

Kak Ali Mochtar konsisten dengan karakter politik kulit bawang seperti itu. Dari PBB, ia pindah ke partai sana, ke partai sini. Bahkan, mudah dan enteng saja bergabung dengan Partai Golkar.

Yang terpenting dalam politik kulit bawang adalah profesional. Bekerja sebaik mungkin di tempat di mana di sana kita diterima. Di sana, tanggalkan semua yang dinamakan “loyalitas” berbasis aliran. Yang punya bayaran bagus, ambil. Kontrak habis, pergi. Sesederhana itu, Bos.

Sebagai manusia profesional dalam mempraktikkan politik kulit bawang sejak di PII hingga di perkumpulan-perkumpulan remaja masjid se-Indonesia, Kak Ali Mochtar Ngabalin tampak mengejawantahkannya dengan sangat natural tanpa kehilangan ciri khasnya: galak, akrobatik, dan singa mik. Baku hantam dan adu mulut sudah menjadi menu organik kesehariannya di organisasi yang menghidupkannya sejak dini selama ini.

Dengan politik kulit bawang itulah, Kak Ali dengan sangat mudah beradaptasi dengan siapa yang membayarnya pantas dan tinggi. Dalam soal politik kiwari, menjadi kampret di siang hari dan cebong di malam hari dalam satu lintasan waktu adalah perkara gampang.

Kini, istana negara bekas petinggi VOC di Batavia di masa yang jauh membutuhkan tenaga Kak Ali Mochtar. Terutama, posisinya sebagai pion galak untuk menghajar siapa pun. Sekalipun para pengkritik istana itu datang dari PII maupun HMI atau dari sosok yang dulunya bergandengan tangan dalam satu cita-cita ideal tentang negeri masa depan yang diridai Allah Swt.

Fee Kak Ali sebagai anggota komisaris PT Angkasa Pura I (Persero) sebetulnya tidak sepadan bayarannya sebagai seorang “mubalig politik” profesional. Tapi, diterima saja ketimbang tidak ada penawaran lebih tinggi dari itu.

Jika ada calon diktator baru yang menyaru seperti orang baik, misalnya, menawarkan harga yang menggiurkan, bukan tidak mungkin Kak Ali Mochtar Ngabalin menyambar kesempatan itu.

Menjadi buldoser adalah jalan hidup yang sudah teruji bagi Kak Ali Mochtar Ngabalin. Ia selalu siap dipanggil, nomornya tetap open dan well. Dirinya selalu siap dipakai kapan saja untuk kepentingan apa saja.

“Tandang ke gelanggang walau seorang” saja bisa eksis, apalagi ramai-ramai, apalagi bersama seluruh alat dan dana negara.

Sebab, Kak Ali Mochtar Ngabalin tahu betul hakikat siung bawang itu: seluruh tubuhnya hanyalah kulit. Maka, jika ada yang mempertanyakan dan memaki Kak Ali Mochtar nggak punya otak dan asal ngoceh, ya, karena memang sejatinya ia adalah siung bawang itu sendiri: semuanya kulit.

Jangan pernah mencari biji dan otak pada bawang, pada Allium cepa L. var. aggregatum. Sebaik-baik bawang yang terdiri dari kulit dan kulit, ya, digoreng.

Akhirul kalam, pembaca budiman, selamat berenang di ekosistem politik minyak jelantah bersama para politisi dan mubalig-mubalig bawang. Beradaptasilah dengan gaya Kak Ali Mochtar Ngabalin. Mari menggoreng. Itu.

* Pertama kali dipublikasikan Mojok.co, 6 Agustus 2021