Obituari Agus Sunyoto: Sang Suwung Berpelita Buku

Tiga hari sebelum purnama April ditutup, Agus Sunyoto meninggal dunia. Kematiannya yang sudah 100 hari saat esai ini dimuat di Ruang Merah untuk pertama kali, ia seperti pengelana yang terus bergerak: sakit di Malang, meninggal di Surabaya, dan dikuburkan di Kediri. Daya gerak seperti itu terasa membaca fiksi sejarah yang dibabarkannya dengan penuh energi. Juga, kecintaan kepada sastra

MARI membuka halaman akhir trilogi ketiga roman Syaikh Siti Jenar atau buku jilid 7 bertitel Suluk Malang Sungsang. Terutama, pada kalimat akhir: “… lantaran sang suwung tak bermakna apa-apa itulah ia telah memiliki kesadaran burung yang sangat menghormati dan memuliakan kemerdekaan, cinta kasih, ketulusan, kehidupan, kesucian, dan pengorbanan yang justru telah menghilang dari jiwa banyak manusia di zamannya”.

Kalimat itu seperti epigraf yang letih, tetapi membebaskan tentang sebuah pekerjaan besar yang bisa diakhiri Agus Sunyoto pada—mengutip epigraf setelah kalimat saya kutipkan di atas—”Malang, Rabiul Awwal 1426 H”. Tebal “babad” tiga session dalam 7 serial ini mencengangkan: 2800 halaman.

Dan, ini bukan kitab biasa. Penulisnya bersandar pada 325 sumber yang terdiri dari buku kajian sejarah dan babad dalam banyak bahasa: Indonesia, Sansekerta, Belanda, Arab, dan Inggris. Boleh dibilang, ini magnum opus Agus Sunyoto. Bekal dari sebuah ikhtiar suwung mengetengahkan sebuah babakan penting dalam sejarah Islam di tanah Jawa.

Setelah buku ini selesai ditulis dengan segala “kesabaran dan ketabahan” menampilkan Siti Jenar sebagai manusia beriman, sebagaimana dituliskan penerbit di jilid ke-7, buku-buku yang lain adalah bonus umur bagi Agus Sunyoto.

Saya tidak sedang meresensi buku ini. Saya mengingat tujuh jilid buku ini untuk melihat dari dekat bagaimana daya yang dibutuhkan seorang penulis memungkasi sebuah wacana kontroversial dalam sejarah Islam di Jawa dengan mendekati sumber-sumber semasa. Terutama, sosok dengan sebutan minor dalam sejarah kewalian di bumi Jawa Dwipa: Syekh Siti Jenar.

Di hadapan Agus Sunyoto, Siti Jenar adalah beyond. Di lembar dua dari halaman pamungkas, lewat sosok Raden Ketib, Agus menganggit kesimpulan yang disebutnya suwung itu, atau dalam istilah Gus Dur “bukan-bukan”:

Saat itulah ia tiba-tiba disadarkan Ruh al-Haqq yang tersembunyi di kedalaman jiwanya bahwa Syaikh Datuk Abdul Jalil yang dicarinya selama itu telah ia temukan sebagai sesuatu yang tak dapat ia jabarkan dengan kata-kata; dia bukan bapak, bukan saudara, bukan suami, bukan laki-laki, bukan guru suci, bukan ulama, bukan orang beriman, bukan orang beragama, bukan manusia, bukan sesuatu yang bisa dikaitkan dengan kata-kata, angan-angan … dan makna-makna.

Nada minor yang mengabuti itu paripurna diterabas Agus Sunyoto dengan sangat meyakinkan. Sadar dengan dengungan minor itu, ia pun menyandarkan karyanya pada sumber-sumber yang bisa dijangkaunya dan memilih sastra sebagai medium pengisahan. Inilah faktanya, tak ada karya sastra yang memukau menceritakan kesuwunganan Syekh Siti Jenar selain yang dilakukan Agus Sunyoto.

Agus bukan penulis ujug-ujug dalam kancah “penulis islami”. Ia tumbuh dari tradisi jurnalistik. Bukan. Ia mula-mula seorang perupa di IKIP Surabaya pada tahun 80-an. Dari dunia warna, ia hijrah dalam dunia kata. Rupa-rupanya, ketakjubannya pada kata mengantarkannya sebagai seorang jurnalis di koran ikonik di antero Jawa Timur: Jawa Pos.

Di koran inilah, selain berlatih bagaimana bertafakur dengan fakta dan peristiwa, ketakjubannya pada kata dalam dunia fiksi berbuah dengan membanjirnya cerita-cerita bersambung. Membaca karya-karya fiksinya, kita tidak menduga bahwa kesarjanaan Agus Sunyoto berasal dari seni rupa dan kepiawaiannya menyusun kalimat ditimbanya dari tradisi jurnalistik.

Agus adalah penutur dengan energi yang besar dan panjang. Seakan, ia adalah pewaris dari tradisi menulis fiksi dalam bentuk “cerita bersambung”. Jenis tulisan yang di masa pergerakan awal dinamakan feuilleton ini sangat populer dan masuk dalam model penyajian sangat purba dalam tradisi jurnalistik kita; dari Bintang Batavia (1893) hingga Ien Po (1917); dari Medan Prijaji (1907) hingga Boedi Oetomo (1920).

Tidak banyak penulis (fiksi) kita tumbuh dari menulis “cerita bersambung” seperti ini. Jika Anda bisa lancar menyebut nama Seno Gumira Ajidarma, Remy Silado, maupun Noorca M. Massardi, Anda pun mestinya mudah melafazkan nama Agus Sunyoto ini.

Di Jawa Pos, misalnya, Agus Sunyoto menulis 11 feuilleton. Di Surabaya Post, Surya, Radar Kediri, dan Bangsa ia menyelesaikan 13 cerita. Jumlah yang sulit dipecahkan oleh jurnalis cum pengisah terkini.

Sejatinya, saya kesulitan melukiskan daya apa yang dipunyai Agus untuk menghasilkan cerita sebanyak ini selain—mohon maaf menggunakan kata-kata klise dan pamungkas ini—anugerah Ilahi. Daya langit ini bisa mengatasi segala yang kurang dan lemah dari seorang manusia pengisah untuk terus bergelut sehabis-habisnya dengan kata, ide, dan pengalaman.

Kita tahu juga, Agus bukan hanya menulis karya fiksi an sich. Karya-karya nonfiksinya juga mendapatkan apresiasi yang tinggi, terutama buku epos Atlas Wali Songo yang diganjari Buku Terbaik pada 2013.

Ia juga penggerak organisasi. Selain mengelola Pondok pesantren Tarbiyatul Arifin, Malang, namanya turut andil menaikkan kembali pamor Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) di era reformasi ini setelah terpilih sebagai ketua umum pada 2015. Terutama sekali, menaikkan pamor seorang penulis di rantai puncak kebudayaan NU.

Perpaduan sisi-sisi yang banyak ini membikin sosok Agus menjadi eklektis. Namun, namanya sulit meredup karena ia berangkat dari dunia kreatif kepenulisan dan pulang meninggalkan buku. Kitabnya itu menjadi pelita abadi di epitaf kuburnya di Kediri.

Magnum opusnya tentang Syekh Siti Jenar yang bukan saja meyakinkan saya betapa linuwih-nya Agus Sunyoto, tetapi juga memberitahu para pendiri Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) untuk memanggil dan mendengarkan Agus Sunyoto pada Oktober 2016 dalam satu rangkaian acara bertajuk besar “200 Tahun Serat Centhini”. Di sinilah, di ballroom Hotel Plataran, Borobudur, sembari “membelah diri” dengan sesekali mengikuti rangkaian acara pembentukan asosiasi penulis yang kelak bernama Satupena, saya bertakzim mendengarkan Agus Sunyoto berkisah perihal pengelanaan tokoh Serat Centhini di Jawa Timur. Bersama Timbul Haryono (topik: kuliner) dan Agus Wahyudi (topik: seks dan religiusitas), BWCF menahbiskan Agus Sunyoto sebagai pembaca khasanah lama Nusantara yang mumpuni dan piawai. Ia adalah pelisan yang halus dan palung cerita yang dalam. Dan, suwung. Suwun, Mas Agus. Seratus hari sudah. Sungguh. (*)

* Pertama kali dipublikasikan di laman Ruang Merah, 8 Agustus 2021