Mentalitas Dokumentasi Kita Acakadut sejak Negara Berdiri

Jika teks Proklamasi kita jadikan sandaran sebagai dokumentasi sangat berharga dalam babad kemerdekaan, kita berhadapan dengan tradisi dokumentasi yang acakadut. Sembrono. Teks Proklamasi yang kemudian dilambari dengan teks konstitusi (UUD/Pancasila) merupakan akta lahir resmi negara bangsa.

Dan, dua teks itu, Proklamasi dan UUD (Pancasila termasuk di dalamnya), nyaris saja kita tidak punyai akibat keteledoran yang teramat parah.

Mestinya, saat kelelahan melakukan turne dari “operasi penculikan” di Rengasdengklok, Sukarno, Hatta, Soebarjo, dan kawan-kawan, tidak perlu membikin teks darurat yang berisi lebih kurang 35 kata dan dibubuhi dengan “dan lain-lain” itu andai saja satu di antara mereka yang kita sebut “pendiri bangsa” yang berkumpul di rumah Laksamana Maeda itu membawa dan menyimpan teks keputusan PPKI yang disiapkan dalam debat panjang dan melelahkan berbulan-bulan itu.

Hatta bertanya, di mana teks “UUD” itu, teks yang dianggap sebagai Magna Carta Libertatum atau Declaration of Independence-nya negara baru bernama Republik Indonesia. Semua bungkam. Tanpa itu, apa yang mesti dibaca, apa yang mesti disampaikan secara resmi untuk menyatakan bahwa hari ini kita terputus dari rantai penjajahan, kita melangkah di “jembatan emas” bernama kemerdekaan.

Karena tak satu pun tahu di mana teks itu, jalan darurat pun diambil. Tak ada akta resmi, akta sementara pun tak apalah. Proklamasi adalah akta resmi yang dibikin sangat darurat pada subuh hari di 17 Ramadan atau 17 Agustus ‘45.

Sampai di sini, masalah belum berhenti, kemelut terus berlanjut. Surat berharga kemerdekaan yang ditulis tangan Sukarno dan sudah ditik pula ini sempat masuk ke tong sampah. Ya, jika tak ditanya Bung Karno, Sajuti Melik tak mungkin memungut kembali kertas yang sudah diremukkan itu dari kaleng sampah di pojok ruangan. Lihatlah, kertas paling berharga yang memancung kepala kolonial itu dipungut dari tong sampah. 

Setelah 17 Agustus, tiada satu pun yang peduli pada selembar kertas itu. Maklum, perang berkobar. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk bersabung nyawa di front, di parit-parit gerilya, sebagaimana salah satu skena heroismenya digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Di Tepi Kali Bekasi. Atau, pekikan itu termanifeskan dalam magma auratik puisi “karya” Chairil Anwar yang berjudul Antara Karawang Bekasi.

Dokumentasi akta lahir negara bangsa itu nyaris tanpa perlindungan lembaga berkompeten. Apa lacur, lagi-lagi akta penting itu dipungut oleh “kolektor”. Untunglah, kolektor itu patriotis. Untunglah, akta itu di tangan jurnalis Republikan bernama M. Diah. Setelah disetrika karena terkoyak, M. Diah menyimpannya selama nyaris setengah abad. Tiga tahun jelang Indonesia ulang tahun emas, teks ini baru kembali ke folder negara.

Soal lain lagi. Tapi, masih sama pengadeganannya dengan teks Proklamasi. Yakni, serial foto peristiwa Proklamasi yang diabadikan juru foto Mendur bersaudara. Nyaris peristiwa itu hanya imajinasi belaka dan kita pungut rekonstruksinya dari sejumlah biografi pelaku sejarah jika negatif film hasil jepretan sang fotografer tidak dikubur. Juga, jika saja jurnalis foto yang kemudian melegenda itu lupa dengan tindakannya.

Semuanya bersifat untunglah, untunglah. Lebih dari 70-an tahun kita hanya menyaksikan selembar atau dua lembar foto Proklamasi itu karena praktik dokumentasi yang serba darurat itu. Baru setahun dua tahun ini kita bisa menyaksikan foto yang lebih banyak di banyak posisi bidikan yang menunjukkan, selain fokus kepada elite, juga orang banyak yang berkumpul di Pegangsaan Timur. 

Itulah gambaran paling awal di benggala pandangan saya bagaimana tradisi dokumentasi negeri ini terbangun. 

Tradisi dokumentasi kita tumbuh dari untunglah, untunglah. Semua bertumpu pada untung ada individu ini, ada individu itu. 

Mentalitas Dokumentasi dan Politik Anggaran

Pramoedya Ananta Toer sampai akhir hayatnya berkali-kali mengeluhkan mentalitas dokumentasi ini. Pencatatan kita tidak benar-benar serius. Kalaupun pencatatan itu ada, sifatnya Kratonsentris, elite sentris. 

Dan, praktik ini nyaris berjalan di tempat.

Bukannya mental itu tidak ada dalam DNA warga negara. Kita, misalnya, bisa kok menyimpan dengan sangat baik ijazah sekolah, akta kepemilikan tanah, akte rumah, BBKP mobil atau motor, KTP, paspor, SIM, kartu asuransi, dan kini kartu vaksinasi. 

Saat terjadi bencana (kebanjiran/kebakaran), jika bisa memilih barang apa yang mesti dibawa lari bersama selembar nyawa dan sebatang tubuh, tentu saja kertas-kertas berharga yang disebutkan di atas. Harta boleh dimakzulkan bencana, tetapi dengan kertas-kertas itu separuh asa masih bisa ditegakkan.

Sebab, tanpa itu semua, hidup sangatlah repot dalam praktik berkewarganegaraan. Bahkan, anak muda yang mendaku anarko-nya anarko mestilah punya selembar KTP jika tidak hidupnya sungguh mati repot. 

Sayang, dimensi privat itu berhenti sampai di tingkat itu saja. Jika mentalitas itu kita naikkan ke tingkat negara, kita menemukan semacam rongga fatamorgana.

Nah, tataplah lubang hitam itu di profil resmi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas). 

Betul, untuk melihat secara objektif pentingnya arsip dan dokumentasi bagi suatu bangsa, lihatlah postur anggaran yang diberikan. Politik anggaran mustahil berdusta. Untuk membuktikan sebuah dukungan penuh terhadap sesuatu, periksa saja alokasi anggaran APBN. 

Jika penguasa bilang di hadapan pers, kita dukung pembangunan pertanian secara besar-besaran karena pangan soal hidup dan mati, tinggal Anda cek tabel anggaran untuk pertanian lebih besar mana dengan anggaran hankam dan infrastruktur.

Politik anggaran untuk arsip dan dokumentasi juga demikian. Terutama, kepada dua lembaga yang kita jadikan refleksi dan sekaligus sebagai benteng utama mewakili wajah negara dalam mengurus soal ini.

Alokasi anggaran ANRI terkini lebih kurang 263 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan Lembaga Administrasi Negara (LAN), 325 miliar. Perpusnas dua kali lipatnya, 675 miliar. Maklum, Indonesia adalah negara dengan perpus terbanyak di Asia. 

Besar? Sama sekali tidak. Perbandingannya, lihat postur anggaran untuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang dijatah sebesar 208 miliar. 

Jadi, kalimat Sukarno yang fantastik ini, “jangan lupakan sejarah, jas merah”, dilihat dari postur anggaran, kita bisa bilang tak lebih sekadar kata mutiara untuk bahan pidato di podium para pejabat atau calon politisi yang berkomeptisi secara reguler di ekosistem politik elektoral. Nyaris tiada guna ketika kita tahu politik anggaran untuk arsip dan dokuementasi itu jumlahnya nauzubillahi.

Nyaris tiada seujung kuku dengan misalnya anggaran untuk lembaga arsip di Amerika Serikat, National Archives and Records Administration (NARA). Lima T, saudara. Britania Raya? Segede gaban juga. 

Bahkan, di Inggris lebih gila lagi, salah seorang arsiparis terbaiknya ditunjuk sebagai pemimpin lembaga intelijen negara. Kita? “Diarsipkan” adalah kata pasif yang berkonotasi negatif buat seorang ambtenaar: disingkirkan.

Kita memang terengah-engah memperbaiki mentalitas dokumentasi dan politik kearsipan (anggaran) itu sendiri. Sebagai negeri yang pernah menjadi imam dari negara “triple A” (Asia, Afrika, Amerika Latin), semestinya visi pengarsipan kita meliputi dimensi yang luas itu.

Tapi, saya kira hal itu sangat sulit bagi negeri pewaris badan arsip Hindia Belanda yang kebanyakan menyimpan arsip-arsip VOC, arsip-arsip dagang kolonial ini. Yang dipelihara dan dirawat adalah arsip dan dokumentasi yang terkait dengan diri dan kepentingan kekuasaan semata. Yang bertentangan, out. Tentu saja tidak disepak langsung, tetapi dibiarkan tidak berkembang dan membusuk sendiri.

Mau contoh, mari memasuki situs web Perpusnas.go.id. Kita ke dokumentasi presiden-presiden RI. Klik, misalnya, Susilo Bambang Yudhoyono, presiden dengan masa bakti 2004–2014. Masuk ke artikel atau kliping yang merekam sepuluh tahun kepemimpinan “Sang Demokrat”. Hanya 30 artikel, hanya 30 kliping yang terakses secara digital oleh publik. Bayangkan, satu dekade, hanya segitu yang bisa terakses dalam gawai, dalam suasana semua pejabat latah ngomong faiv point eu. Sukarno yang suaranya menggetarkan dunia hanya 100 kliping dengan kualitas kelas lima.

Apakah tidak ada dokumentasi di area gedung bertingkat Perpusnas yang kini sudah terbagi dalam dua lokasi itu. Tentu saja ratusan ribu. Tetapi, tidak terkelola dengan baik. Reservasi barangkali sudah 50 persen, tapi tidak bisa terakses dan terbaca (katalog) sehingga memudahkan pengguna mengaksesnya. 

Tidak terkelola karena tidak ada dua sumber sekaligus: sumber dana, sumber daya. Butuh dana mahabesar agar publik bisa menikmati layanan digital, paling tidak seperti yang sudah dilakukan dua media besar dan legendaris kita terhadap source yang sudah mereka kumpulkan bertahun-tahun: Kompas dan Tempo.

Kita punya jasad sumber dokumentasi dan arsip di dua gedung badan yang mengurus apa yang disebut sejarah negara dan cerita bangsa ini. Namun, semua bahan itu tak bisa dibangunkan. Untuk membangunkan itu semua butuh, sekali lagi, dana yang sangat besar.

Perpusnas sudah mulai mencobanya. Ya, itu tadi, mulai dari presiden. Hasilnya? Kembali ke paragraf sebelumnya. 

Pastilah proyek dokumentasi para presiden itu terhenti dan tidak bisa bergerak lagi. Lebih kaya situs kepresidenan saat SBY, sekali lagi, masih aktif menjabat di mana para staf kepresidenan sungguh-sungguh aktif merawat situs itu. Situs itu menjadi jujugan para jurnalis untuk menyarikan berita dari istana. 

Situs itu tak dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya dan bahkan, kini, sudah rebah terkubur dalam senyap di perkuburan massal situs bernama archive.org yang belum lama ini mau dibuldoser Donald Trump karena terus-menerus menjadi tambang berita membongkar aib masa lalunya.

Bayangkan, manusia nomor satu di Republik ini saja terbengkalai pendokumentasiannya, bagaimana nama-nama lain selain presiden. Republik ini punya ribuan tokoh. Siapa yang mengurus dokumentasi mereka? Kita juga punya ratusan ribuan pengusaha yang betapapun menjengkelkan tabiat dagangnya, toh tetap menyumbang pajak besar untuk rekening APBN.

Yang saya katakan itu sesungguhnya praktik pendokumentasian paling dasar. Belum sampai menjadikan dokumentasi dan arsip sebagai raksasa sumber pengetahuan. Hanya bangsa yang selesai dengan mentalitas dan politik anggarannya untuk arsip dan dokumentasi yang bisa memonetisasi dokumentasi sebagaimana Google lakukan.

Ketimbang menyelesaikan soal-soal yang sangat mendasar itu, kita sudah ingin meniru permukiman teknologi yang berpoin ini berpoin itu dengan tentu saja membelanjakan uang yang luar biasa besarnya.

Hanya politik yang bisa mengatasi sambat ini semua, bukan inisiasi satu pribadi atau sekelompok komunitas. Jika ada pribadi atau komunitas mendaku diri sangat bisa mengatasi itu, saya hanya bilang: menyedihkan sekali ukuran pakaianmu, Pak Bos.

Ya, dalam politik arsip dan dokumentasi acakadut seperti ini, pertahanan terbaik barangkali membentangkan sikap: biar negara mengurus dokumentasi negara dan ribuan tokoh-utama tokoh utama penghuni tiga(+) pilar penopang Republik: eksekutif, legislatif, yudikatif, plus pengusaha.

Sebab, negara tidak punya waktu mengurus arsip dan dokumentasi kalangan di luar itu, warga negara. 

Dalam soal arsip dan dokumentasi pun kita belajar tawakal: barangkali, negara sedang sibuk (tidak) mengurus dirinya. Jangan ganggu. Merdeka. Itu.****

* Pertama kali diterbitkan Jawa Pos, 14 Agustus 2021. Materi ini disampaikan dalam diskusi reguler Kampung Literasi Pakem (Kalipa), 15 Agustus 2021 via daring.