Manusianya, Bukan Kameranya

Ada dua lembar foto yang terus ditampilkan kala hari merdeka tiba. Satu, foto pose bersama saat Sukarno “membacakan” teks Proklamasi. Kedua, saat pengibaran bendera merah putih.

Sepanjang tujuh puluh empat tahun, dua lembar foto itu menemani imaji visual kita atas pagelaran “17-an” di titik 0. Hingga di titik ke-74, kita baru menyaksikan penambahan foto baru. Yakni, bingkai foto dari perspektif lain tentang “perayaan” yang hikmat dan sekaligus mendebarkan dari hari kemerdekaan itu. Foto itu viral begitu saja di media sosial, bukan dari lembaga arsip milik negara.

Dua foto legendaris itu bersifat “elite”, mereka yang dalam bingkai adalah “tokoh-tokoh penting”: (1) Sukarno, Hatta, serta tokoh-tokoh “pendiri” bangsa lainnya, (2) kelompok paskibraka. Pemujaan kita terhadap elitisme bisa terbaca dari foto pertama, sementara impian remaja Indonesia menjadi pengibar bendera terwakili foto kedua.

Setelah 74 tahun lamanya, foto itu ternyata bersambung. Menggambarkan kemeriahan rakyat Jakarta yang ikut serta tumplek-blek di halaman rumah Sukarno. Jika foto awal yang selalu nempel di buku sejarah berperspektif “re-publik”, foto terbaru itu datang dari perspektif “publik”. Lihat, viralnya saja bermula dari “media sosial”.

Yang menarik, dua foto dengan perspektif berbeda itu sesungguhnya satu paket, satu rentetan bidikan. Dari satu orang? Bukan. Dari dua orang: Alexius Impurung Mendur dan Frans Sumatro Mendur. Kakak beradik. Mendur bersaudara ini tahu betul pentingnya “copy”, pentingnya “cadangan” dalam peristiwa genting pecahnya ketuban dan lahirnya negara baru bernama Indonesia.

Kakak beradik membidik peristiwa yang sama, dalam perspektif yang sama. Naluri keduanya benar. Kamera Alex kena sweeping tentara Dai Nippon. Frans, si adik, mengambil tindakan spontan dan justru menjadikan foto proklamasi itu “keramat”; mengubur kameranya. Dari ritus penggalian “jenazah” kamera itulah kita menyaksikan visual hitam putih “17-an” pertama di Ibu Kota.

Lalu, dari sidik jari keduanya kita menyaksikan lahirnya majalah jurnalistik foto pertama Indonesia bernama IPPHOS Report setahun setelah Republik Indonesia berlayar atau tepatnya 2 Oktober 1946. Dari kerja Indonesia Press Photo Service atau IPPHOS inilah kita mendapatkan visualisasi perang revolusi; dari yang heroik hingga yang humanis; dari sidang-sidang darurat pejabat tinggi hingga denyut kota dan masyarakat; dari foto wajah hingga foto bareng.

Pendeknya dari darat, laut, hingga udara; dari wajah Indonesia hingga dunia internasional karena tagline majalah ini adalah “Madjallah Bergambar untuk Dalam & Luar Negeri”.

Indonesia mestinya berterima kasih atas “jurnalisme fotografi” yang dalam hal ini ditunjukkan Mendur Bersaudara ini. Mereka leluhur dari fotografer patriotis, fotografer yang bersabung nyawa di garis front (meja diplomasi atau perang gerilya) yang tumbuh bersama up dan down-nya spirit revolusi. Mereka bukan fotografer istana, bukan pula fotografer hobi.

Manusianya, Bukan Kameranya

Fotografi memang bertumpu pada teknologi. Tetapi, sukma fotografi adalah tidak semata pada adu canggih kamera. Betapapun, posisi tertinggi kamera semata tools, alat. Inti fotografi adalah manusia di balik lensa, sebagaimana inti samurai–pinjam parafrase Eiji Yoshikawa dalam Musashi–bahwa, inti ilmu pedang terletak pada kewaskitaan manusia, bukan jenis pedangnya. Bahkan, dengan sebilah pedang kayu, dan ini bagian paling menggetarkan dalam novel gemuk itu, bisa menyelesaikan sebuah pertarungan besar.

Konsepsi ini saya kira yang coba dihidupkan sekelompok seniman fotografi (fotografi seni) di Yogya, MES 56. Mereka mencoba membawa fotografi ke ranah seni rupa kontemporer dengan eksperimen alat dan rekayasa objek, warna, komposisi. Mereka mengembalikan fotografi bukan pada kecanggihan alat, tetapi mata manusia penggunanya. Yang terhebat dari fotografi adalah intelektual, pengalaman kemanusiaan, dan mata artistik natural dari si dia yang berada di belakang alat.

Mari sebut salah satu teknologi purba fotografi: kamera lubang jarum. Di tengah kecanggihan kamera digital dan dengan harga sangat terjangkau, masih ada sekelompok komunitas yang kembali secara ekstrem ke teknologi awal abad 20. Namanya Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI).

Saya sebut teknologi awal abad 20 karena pada 1903, jurnalis Tirto Adhi Soerjo mengulas teknologi fotografi itu dalam artikel berjudul “Ilmu Menggambar Sorot”. Esai ini dimuat di Soenda Berita, No 3, Tahun I, 21 Februari 1903 dan dimuat ulang di Poetri Hindia, No 17, Tahun II, 1 Juli 1909, hlm. 232-233 dan 244-255.

Baca paragraf Tirto ini: “Jikalau orang akan belajar menggambar sorot, pertama-tama patutlah dia kenal dulu dengan perkakas-perkakas gambar sorot (photographie tustel) itu. Perkakas ini ada dirakit daripada dua jenis, yaitu doos (kotak) di mana peta orang atau benda dibawa masuk oleh sorot matahari, yakni yang disebut kamera dan bumbungan di mana didapat gelas yang disebut lens yang menarik gambar ke dalam kamera itu.

Sebagai bagian dari kealamiahan, kamera ini ramah bahan baku dan bersifat handmade. Bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan manusia-manusia kreatif, membangkitkan kembali proses salt print, albumen print, cyanotype, dan banyak lagi, bukan lagi soal.

Terbukti, keterbatasan alat dan bahan yang selama ini menghantui, berubah menjadi kelebihan bahkan pada akhirnya malah menjadi khas daerah.

Misalnya, karena di Yogyakarta kaleng rokok mudah didapat lahirlah KLJ kaleng rokok, bahkan ditemukan pula KLJ kaleng yang bisa menghasilkan distorsi dan ini lahir dan menjadi khas KLJ Jogja. Karena di Malang kaleng susah didapat, lahirlah KLJ paralon bahkan lahir pula seorang ahli kamera KLJ kotak tripleks. Dan, di Jakarta lahir kamera KLJ “pocket” dalam arti sebenarnya, bisa dimasukan ke dalam saku.

Dari KLJI itu kita disuguhkan gambaran kuat untuk mengembalikan suatu momen dalam fotografi, yakni ritual dan upacara, sekaligus memberikan kembali kepada kita pemahaman tentang apa arti perlambatan di tengah digitalisasi kehidupan yang menawarkan percepatan: percepatan pembangunan daerah tertinggal, pertumbuhan teknologi, dan munculnya budaya instan dan konsumsi.

Teknologi kamera lubang jarum itu, sebagaimana pasangnya ritus bersepeda, memanifestasikan suatu diktum bahwa proses alam dan kenyataan harus diikuti oleh sebuah proses alkimia dengan menggunakan hukum jarum sebagai proses. Apabila itu dilakukan sendiri-sendiri hanya akan menjadi hobi. Tapi, jika dilakukan secara kolektif dan sadar, ia menjadi sebuah kesaksian jurnalistik di tengah deru percepatan yang dieluk-elukkan.

Lantas, jurnalistik kemudian tak semata hasil, tapi bagaimana hal itu dicapai dengan sebuah proses alkimia.

Momentum

Di atas semua itu, terutama naik pasangnya tradisi memotret di masyarakat kita, adalah momentum. Ada momen yang sangat “ekstrem”, ada pula momen yang biasa saja, tetapi diulangi ribuan kali.

Di momen pertama itulah saya kira letak mengapa foto momen “ekstrem” dan tentu saja “langka” dan menjadi atensi banyak orang milik Salihuddin diganjar sebagai yang terbaik di ajang World Press Photo Contest di Belanda 1996. Foto bertitel “Semburat” yang menjadi muka Jawa Pos pada 18 Mei 1995 itu dipilih tim “Dapur Jawa Pos” untuk diabadikan sebagai foto milenium di edisi super spesial: edisi milenium, 1 Januari 2000, halaman 48.

Foto itu menggambarkan proses terbaliknya truk kodam V/Brawijaya yang mengangkut suporter Persebaya.

Artinya, saat bonek terlempar dari truk yang miring dan wajah sopir berkaos loreng yang, ah, begitulah, momentum itu hanya dilakukan dalam sekali jepret. Mau blur, mau nggak fokus, mau ini, mau itu, tidak ada lagi dalam soal momentum seperti itu. Karena, itu bisa berlangsung sangat cepat. Biasanya, foto seperti ini otentik dan tak ada duanya. Sebab di sana hanya ada dua pihak: fotografer terpilih dan peristiwa.

Tapi, ada momentum kedua yang sebetulnya biasa saja, tetapi jika dilakukan puluhan ribu kali bisa membikin orang lain begidik menyaksikannya.

Itulah saya temukan dengan karya “foto bareng” Melani Setiawan. Ia seorang pecinta seni yang sangat aktif. Selalu ia tampakkan kekaguman kepada, bukan saja karya seni, tetapi juga penciptanya. Kekaguman meluap-luap itu ia abadikan dalam apa yang disebut dengan “foto bareng”.

Yang tidak biasa dan ekstrem dalam “foto bareng” dengan “topik yang sama” itu sudah dilakukannya sejak 1977 yang membuatnya sah disebut sebagai “ratu foto bareng seni rupa”. Yang tidak biasa lagi, ia simpan semua “foto bareng” itu. Hingga, sampailah pada batas yang menggetarkan, foto dengan momentum “biasa saja” itu menjadi sangat spesial tatkala Galeri Nasional Indonesia memamerkan 45 ribu foto dirinya dengan dunia seni rupa itu, terutama yang kebanyakan adalah “foto bareng” pada 2012.

Pameran meriah itu bertajuk Re-Claim. Seperti sebuah reuni, saya melihat, semua yang datang di malam pembukaan itu sama-sama bahagia. Terutama, pameran “foto bareng” itu didukung oleh banyak seniman dari bertingkat angkatan. Yang datang pun, terutama sahabat Melani, adalah mereka yang coba mencari wajah mereka sendiri.

Apakah Melani fotografer andal? Tidak. Fotografer dengan kamera canggih? Juga, tidak. Yang menggetarkan justru konsistensinya. Itu.

* Pertama kali dipublikasikan Jawa Pos edisi khusus “Merdeka”, 17 Agustus 2021.