6 Demotivasi dari Indonesia pada Hari Pertama sebagai Negara

Pada 18 Agustus, 76 tahun silam (hitung mundur saat esai ini dituliskan), adalah hari pertama Indonesia bangun tidur dan resmi berstatus sebagai negara. Itu pun negara ini bangunnya nggak pagi hari setelah salat Subuh, melainkan sore hari.

Kalau kata orang, biasakan bangun pagi supaya rezekimu nggak dipatok orang. Bagi Indonesia, kalimat motivasi itu tidak sepenuhnya betul. Buktinya, ia bangun sore. Tepatnya, 16.20. Bakda Asar. Kamu betul, itu bangunnya rata-rata seniman.

Maklum saja, pembukaan, batang tubuh, dan susunan pemerintahan baru rampung dibahas dan dimufakati sore hari 18 Agustus 1945. Termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden.

Artinya, Dibyo Primus benar ketika bilang Indonesia merdeka (Proklamasi dibacakan) sebelum zuhur atau lohor berdasarkan analisis teks Pembukaan UUD 1945: “Dengan didorong oleh keinginan luhur.”

Sekadar melanjutkan Dibyo Primus, jika Indonesia merdeka sebelum zuhur, Indonesia menjadi negara justru bakda asar.

Inilah demotivasi pertama dari Indonesia buatmu: tidak selamanya bangun pagi itu baik, tidak selamanya kerja yang bagus harus dimulai dari pagi. Kalau mengikuti cara baik ala (negara) Indonesia, memulai kegiatan pada sore hari fine-fine saja. Negara Indonesia saja baru resmi ada dan menggeliat pada sore hari.

Berlanjut ke demotivasi kedua dari Indonesia untukmu, jam karet adalah budaya yang melekat langsung pada para pengurus organisasi, termasuk organisasi pemerintahan.

Jika kamu merasa bersalah selalu molor dan tidak tepat waktu masuk sekolah, kuliah, kantor, atau ikut rapat, jangan mengutuk diri seakan melakukan perbuatan dosa besar. Pada hari pertama Indonesia sebagai negara, budaya jam karet itu sudah dicontohkan secara gamblang.

Informasi itu sudah terkonfirmasi. Notulensi 18 Agustus 1945 dibuka dengan paragraf ini sebelum Sukarno sebagai Ketua PPKI membuka persidangan:

Dikatakan mula-mula, bahwa rapat akan dimulai pukul 9.30, tetapi sampai lebih dari pukul 11 rapat belum dimulai dan jumlah anggota ditambah dengan 6 orang menjadi 27. Rapat dibuka pukul 11.30.

Berapa jam molornya? Empat jam.

Nggak peduli bahwa yang dirapatkan itu bukan soal sederhana; bahwa yang dirapatkan itu soal keputusan final konstitusi, dasar negara, jimatnya negara. Atau dalam bahasa Sukarno, “Pada hari ini kita berada pada saat yang mengandung sejarah.”

Membicarakan hal sepenting, hal yang se-“mengandung sejarah” seperti itu saja bisa molor empat jam. Artinya, Indonesia memberi tahu bahwa jam karet itu sebangun dengan karakter. Kata orang, karakter itu melekat rapi dan fiks dalam CPU bernama otak.

Buktinya, nggak ada anggota yang ngamuk-ngamuk dengan mulur mungkretnya waktu sidang ini.

Demotivasi keempat dari Indonesia: mencla-mencle alias berubah-ubahnya keputusan.

BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada 16 Juli 1945 sudah bulat memutuskan rancangan Undang-Undang Dasar. Sidang berbulan-bulan itu dipungkasi dengan perkataan ketua sidang, Radjiman Wedyodiningrat:

Jadi rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi saya ulangi lagi, Undang-Undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya. Bagaimana tuan-tuan? Untuk penyelesaiannya saya minta dengan hormat supaya yang setuju, yang menerima, berdiri. (Saya lihat Tuan Yamin belum berdiri). Dengan suara bulat diterima Undang-Undang Dasar ini. Terima kasih tuan-tuan. (Tepuk tangan).

Dasar tahu bulat, apa yang bulat pada 16 Juli itu bisa berubah sangat dramatis pada 18 Agustus. Mestinya, 18 Agustus hanya tinggal mengesahkan saja. Toh, yang membahas pada 16 Juli dengan 18 Agustus mayoritas orang yang sama juga.

Ta-tapi, kok, bisa berubah begitu?

Pembukaan Undang-Undang Dasar, misalnya, tidak seperti yang disahkan pada hari pertama negara lahir. Lumayan panjang. Terdiri dari tiga hal pokok: pernyataan Indonesia merdeka (Proklamasi), pembukaan UUD, dan UUD yang terdiri dari 42 pasal.

Paket itu seluruhnya 13 paragraf yang oleh Muhammad Yamin disebut “Piagam Jakarta”. Bagian Proklamasi terdiri dari 12 paragraf, sementara yang disebut “pembukaan” hanya satu paragraf yang isinya lima sila yang dikenal dengan Pancasila.

Jadi, yang berubah bukan hanya soal hilangnya susunan kata “dengan kewajiban menjalankan syariát Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, tetapi sembilan paragraf lain juga di-ctrl-alt-del. Ini sih bukan revisi.

Alasan Hatta, orang yang dipersilakan Sukarno pertama kali menjelaskan perubahan itu, karena dorongan “suasana dan juga waktu bersejarah yang tiba kemarin (17 Agustus), bahwa lebih baik kita kembali kepada preambule yang lama”.

Maksud Hatta dengan “yang lama” itu adalah keputusan sebelum “Piagam Jakarta”. Oh, rupanya sudah ada sebelumnya.

Bagaimana membaca yang sebelumnya itu? Maksud saya, di teks yang mana? Sementara, di risalah yang diterbitkan secara resmi oleh Sekretariat Negara RI tidak ada lagi yang lebih ringkas dari 13 paragraf itu.

Tuhan, kami lapar malapetaka ada di sini. Di bagian akhir tulisan ini saya bahas malpraktik dokumen negara.

Kita langsung masuk ke demotivasi yang keempat: Sukarno dan Hatta menjadi presiden itu nyaris seperti celetukan saja. Setelah ketua sidang Sukarno membuka sidang pukul 15.15, Otto Iskandardinata langsung nyambar di kesempatan pertama.

“Berhubung dengan keadaan waktu saya harap supaya pemilihan presiden ini diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri,” kata Otista.

Sukarno yang mungkin sudah tahu jalan ceritanya dan tanpa perlu tanya ini-tanya itu langsung lempeng bilang, “Tuan-tuan, banyak terima kasih atas kepercayaan tuan-tuan dan dengan ini saya dipilih oleh tuan-tuan sekalian dengan suara bulat menjadi Presiden Republik Indonesia.”

Tepuk tangan. Dan, semua hadirin berdiri dengan menyanyi lagu “Indonesia Raya”. Begitu saja.

Pemilihan Hatta juga sama. Yang mengusulkan juga Otista. Sesederhana itu. Seringkas itu.

Terbukti, soal memilih pemimpin (orang), Indonesia sudah mencontohkan dilakukan biasa saja, dilakukan secara sederhana saja, jangan dirumit-rumitkan seperti mau perang. Yang tidak boleh dibikin sederhana adalah bikin aturan. Kita bernegara tidak menempatkan orang untuk semaunya, tapi menjalankan aturan yang dibikin bagus.

Membikin aturan bisa sangat jelimet, menguras semua pengetahuan, pengalaman, dan juga kebijaksanaan seluruh anggota sidang; mulai dari badan pembikin aturan itu bernama BPUPKI hingga PPKI.

Soal perkataan “asli” dalam pasal “presiden orang Indonesia asli”, misal, bisa cukup lama debatnya. Anggota keturunan Arab, Tionghoa, Jerman, misalnya, mesti berceramah panjang.

Atau, tentang wilayah, Yamin dan Hatta berhadap-hadapan dengan konsep masing-masing. Yamin ngegas, misalnya, Papua harus masuk, Hatta bilang nggak. Kalau dipaksakan, ditunda dahulu. Sukarno yang disindir Hatta jika Papua kita paksa masuk ke wilayah Indonesia ntar kita jadi imperialis baru, langsung meradang, menerjang, sedemikian rupa.

Konkretnya, Indonesia versi hari pertama jadi negara ingin bilang ke kamu: pintar-pintar memilah mana yang semestinya disederhanakan, mana hal yang urgent dan memerlukan curah gagasan yang kompleks. Jangan dibalik-balik.

Memang, sih, bikin undang-undang bagus butuh kegiatan sport otak. Kalau otak pas-pasan, bisa “heng”.

Baik, lanjut ke demotivasi selanjutnya.

Demotivasi Indonesia yang kelima adalah ngambek dalam politik itu tidak baik bagi karier politik. Kalaupun ngambek, jangan di situasi yang krusial.

Konteks demotivasi ini adalah absennya Muhammad Yamin di sidang PPKI pada hari pertama negara Indonesia lahir.

Ya, Sukarno memang mahabintang dalam sidang-sidang BPUPKI. Ceramahnya pada 1 Juni tentang “Dasar Negara Indonesia” memukau. Namun, ada satu bintang lain yang jika tidak ada tokoh ini dalam forum, Sukarno, si mahabintang ini, sangat gelisah. Ya, Muhamad Yamin.

Misalnya, saat Radjiman membagi tim dalam tiga panitia atau bunkakai. Oleh Radjiman, Yamin tidak dimasukkan dalam line-up yang dikapteni Sukarno dengan pokok bahasan Rancangan UUD. Yamin justru dimasukkan ke Panitia Keuangan dan Perekonomian dengan Hatta sebagai kaptennya.

Padahal, kita tahu, Yamin dan Hatta kerap seperti Tom and Jerry. Susah dipertemukan. Yang satu omongannya meluap-luap, satunya lagi irit bicara. Satunya fantasia, satunya disiplin dengan logika dan realitas politik.

“Tuan Ketua, saya menyesal tidak dapat menerima keanggotaan dalam panitia keuangan karena kurang pengetahuan. Saya tidak ada sumbangan buat panitia itu. Saya tidak menerima,” protes Yamin.

Radjiman, tokoh sepuh dari Boedi Oetomo itu bergeming, “Sudah selesai. Sebetulnya saya harus membebaskan lagi Tuan Yamin, tetapi itu tidak bisa. Sekarang rapat ditutup.”

Di rapat kepanitiaan perancang UUD esok harinya, tanpa basa-basi Sukarno menyinggung lagi soal Yamin ini. Terkesan, tanpa Yamin, Sukarno kehilangan tandem terbaiknya. Intinya, ia meminta dukungan kepada anggota lain untuk bisa membawa Yamin ke line-up mereka.

Alasan Sukarno, “Mr. Muh. Yamin telah memasukkan lampiran berisi rancangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”

Mesti kita akui, Yamin otak utama di balik penyusunan diksi pembukaan UUD, terutama paragraf terakhir. Sukarno memang memperkenalkan istilah Pancasila, tetapi diksi yang dipakai di sila-sila itu Yamin yang memborongnya. Setidaknya, begitu kesan dari membaca risalah resmi BPUPKI.

Saya hanya ingin menyebut satu bagian. Sebab, bagian ini bikin gemetar anak-anak SD untuk membacakannya, untuk menghafalkannya. Sebab, “kalimat berdiksi aneh” ini tidak bisa dilafalkan dalam sekali tarikan napas.

Paling tidak perlu tiga atau empat kali tarikan napas untuk tandas melafalkan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Di sidang BPUPKI 29 Mei, saat diberi kesempatan memberikan ceramah panjang tentang dasar negara, ada lima kerangka uraian yang dikemukakan Yamin. Bagian yang mendapat porsi terbanyak uraian adalah Peri Kerakyatan.

Sebagai bandingan, untuk bagian Peri Ketuhanan hanya satu paragraf dan ia jelas menuliskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian disebutkan lagi oleh Sukarno dua hari sesudahnya atau pada pidato 1 Juni.

Di Peri Kerakyatan itu, Yamin menjelaskan secara rinci apa saja yang ada dalam Peri Kerakyatan itu, yakni “Permusyawaratan”, “Perwakilan”, “Hikmah Kebijaksanaan”. Dalil yang direntangkan Yamin rupa-rupa: dari Al-Qur’an, Hadis, sejarah Nusantara, hingga filsafat Barat.

Nah, menyusun diksi-diksi soal yang jelimet ini tidaklah mudah kecuali sosok itu punya kemampuan berbahasa yang bagus. Dan, selain lulusan hukum, Yamin pada dasarnya adalah penyair.

Jadi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” sesungguhnya (seperti) larik puisi. Tanpa membaca langsung penjelasan Yamin, mustahil kita bisa memahami lapisan tebal makna dalam larik “sajak” itu. Mungkin bisa dihafalkan, tapi tak ada garansi sedikit pun untuk tidak terpeleset makna.

Betapa besarnya peran Yamin. Justru di sinilah soalnya, pada hari pertama negara Indonesia melayari dunia, justru dia tidak ada.

Nama Yamin tak ada dalam daftar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Sukarno dan Hatta bertindak sebagai wakil. Dari 25 anggota yang bakal mengesahkan draf final (masih diperdebatkan beberapa soal kecil sih), tidak ada namanya di sana.

Ada apa dengan Yamin? (AADY)

Dugaan saya, Yamin ngambek. Pada hari saat negara Indonesia lahir bakda Asar, Yamin ingin bilang “bodo amat”. Dan, ngambeknya Yamin ini bikin karier politiknya seret.

Bayangkan, ia baru kembali ke tampuk pemerintahan setelah tahun 1950, setelah Sukarno kembali menjadi Presiden Republik Indonesia (sebelumnya, RIS).

Dari ketidakhadiran Yamin ini, Indonesia sejak hari pertama berpesan kepadamu, “Kalau memang serius terjun berpolitik, jangan mudah ngambekan.”

Latih diri bermuka badak, telinga didempul tebal dari omongan orang kiri dan kanan. Kalau nggak bisa, tetap aja di gelanggang kebudayaan, menjadi penyair. Sebab, politisi ngambek menghambat pertumbuhan rezeki dan portofolio politiknya.

Dan, sampailah kita di bagian akhir, bahwa risalah sidang-sidang BPUPKI yang berlanjut ke PPKI dari Mei hingga Agustus–seperti digunakan menyusun esai ini–bukanlah arsip risalah yang autentik.

Konon, yang autentik itu dipinjam Muhammad Yamin untuk sebuah keperluan “riset”. Setelah “riset” selesai, bundel tebal itu tak pernah dikembalikan.

Tahu-tahu, pada 1960 keluar buku berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 setebal 848 halaman. Di halaman sampulnya tertera nama Prof. Mr. Hadji Muhammad Yamin.

Coba, bagaimana, ya, perasaan Hatta melihat cara-cara licik Yamin seperti ini? Energi ngambeknya barangkali dia limpahkan untuk menyusun sebuah “buku sejarah” yang kemudian diwarisi Indonesia dalam soal sejarah konstitusi dan tata negara.

Akhirul kalam, inilah demotivasi Indonesia pada hari pertama sebagai negara, klaim-mengklaim yang licik itu bagian dari fatsun politik kita. Licik itu bagian dari tradisi politik kita. Hatta secara verbal memang menuduh Yamin bermain licik.

Ayo, politik licik ini mari kita terima dan teladani hanya agar kita tidak frustrasi melihat politisi licik dan culas di mana-mana. Indonesia pada hari pertama sudah memberi tahu.

Jadi jaga kesehatan jiwamu, Lur. Jangan gila karena menyaksikan politik negeri. Kalaupun gila, nggak jauh dari kantor Mojok, ada kampung bernama Pakem. Tinggallah di sana untuk memulihkan kabel otakmu. Itu.

* Pertama kali dipublikasikan Mojok.co, 19 Agustus 2021