Obituari Gunawan Maryanto (1976—2021): Berdiri di Atas Dua Jembatan Gantung

“Menulis seperti membangun sebuah dialog dengan orang lain. Aku menulis dalam kesendirian. Tapi aku selalu membayangkan kehadiran orang lain” ~ Gunawan Maryanto

Membaca portofolio Gunawan Maryanto atau akrab disapa Cindhil secara cepat, kita menjadi tahu, ia bukan tipe palancong budaya. Ia lebih tepat disebut sebagai penambang; ruang jelajahnya tidak terlalu random, tetapi mendalam. Ia hanya berada di dua ruang yang sesungguhnya masih saudara sepersusuan: sastra dan teater. Irisan keduanya terletak pada naskah lakon.

Sementara, di panggung seni pertunjukan, teater nantinya beririsan dan berdialog intens dengan tari, musik, tata lampu, dan tata suara. Juga, tentu saja film yang melambungkan namanya dalam jagat keaktoran.

Dalam dua ruang itu, sastra dan teater, satu tema yang terus diolahnya, digalinya, seperti seorang penambang yang terus dibakar penasaran oleh pencarian atas mutiara-yang-entah di liang mana ari-ari mustikanya berasal: kebudayaan (Jawa) beserta seluruh cerita persilangannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain.

Jembatan Gantung Pertama: Dari Sastra (Tradisi) Jawa ke Sastra Indonesia

Selain Seno Gumira Ajidarma, Gunawan Maryanto saya kira manusia paling serius memindahkan dongeng-dongeng di alam batin dan tersaji dalam medium tradisional atau majalah khusus berbahasa Jawa bisa masuk dalam bingkai kontemporer. Dimuat secara wajar di media-media umum berbahasa Indonesia, seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Kompas, Suara Merdeka, dan seterusnya.

Untuk bisa melangkah ke sana, diperlukan watak seorang pekerja keras. Keras belajar. Juga, mudah beradaptasi. Terutama, mental dan pemikiran. Cindhil punya modal itu. Bisa dibayangkan bagaimana pergulatan Cindhil yang bertekun dengan dunia sastra Jawa tiba-tiba saja mesti memasuki dunia sastra Indonesia lengkap dengan segala eksperimennya, baik ide, tema, langgam, hingga bentuk.

Newsletter BlockNote yang dikelolanya bersama, antara lain Ugoran Prasad di Teater Garasi, menjadi jejak eksperimen di bibir batas antara sastra Jawa dan sastra Indonesia; antara tradisi dan kontemporer.

Di Yogya, BlockNote (Teater Garasi) dan On/Off (AKY) adalah dua media alternatif yang menjadi ruang bermain-main bagi sastrawan muda. Di dua media ini, semua yang rapi, dibongkar. Yang baku dan beku dicairkan. Jika alamat cerpen yang disebut “bagus” itu adalah cerpen-cerpen yang dimuat di majalah sastra macam Horison atau koran-koran nasional yang terbit di hari Minggu, dua media ini menyodorkan “hal baru” dalam soal pelonggaran banyak pakem. Bahkan, hukum tata bahasa pun dilabrak.

Gunawan Maryanto, Puthut EA, Ugoran Prasad, Eka Kurniawan, dan sederet sastrawan Yogya pada sekuensi waktu yang sama berada di pusaran pencarian yang keras ini.

Bukan berarti mereka tidak bisa menulis di koran-koran mapan itu. Tapi, mereka sangat sadar bahwa semua bentuk yang dibiarkan mapan membuat ekosistem kreatif membeku, mandeg, pejal, itu-itu saja.

Antologi cerita Bon Suwung yang kemudian diterbitkan Insist Press pada 2005 adalah tonggak perjalanan kreatif Cindhil melewati jembatan gantung yang bergoyang setiap saat antara yang lama dan baru. Makanya, Budi Darma menyebutnya “asing”. Wajar, karena di mana pun segala yang eksperimen adalah asing, adalah liar, adalah urakan. Mirip transisi kelahiran sastra cyber menyambut fajar internet tahun 2000-an awal yang dicemooh dan diludahi sebagai taik kucing belaka dalam ekosistem kesusastraan.

Jembatan Gantung Kedua: Waktu Batu

Waktu Batu adalah naskah lakon yang ditulis bersama dengan Ugoran Prasad dan Andre Nur Latif. Pada naskah lakon yang kemudian diterbitkan Indonesia Tera pada 2004 ini, saya menangkap kesan betapa kerasnya Cindhil belajar dalam pengertian otodidak. Ia memasuki dunia sastra dari yang lama ke yang baru (puisi dan cerpen), lalu terjun ke dalam dunia panggung.

Sebetulnya, hal ini tidak terlalu mengagetkan mengingat Cindhil tidak saja berasal dari keluarga seniman (tradisi), tetapi jarak rumahnya dengan Purna Budaya UGM (kini, PKKH atau Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri) hanya empat menit berjalan kaki. Di gedung inilah ia bisa menyaksikan banyak pentas teater modern yang lain sama sekali dengan ketoprak; mulai dari Bengkel Teater Rendra, Teater Dinasti Emha Ainun Nadjib, hingga Teater Gandrik.

Artinya, indra visualnya sudah terbiasa melihat pentas teater modern yang sangat berbeda dengan panggung lakon seni tradisi.

Sebagaimana karakternya, seperti itulah Cindhil teater jenis apa ia pilih untuk mengembangkan diri. Betapa, ia memasuki dengan sangat sadar Teater Garasi; sebuah kelompok yang mencari panggung dan penontonnya sendiri di luar penonton “kelompok teater raksasa” yang sudah eksis dengan banyak nama besar. Di sini, Yudi Ahmad Tajudin seperti mesiah baru yang menunggu datangnya si anak bawang dari Karangmalang.

Sebagaimana BlockNote dan On/Off yang gelisah dengan bentuk penceritaan dalam sastra, Yudi Ahmad Tajudin adalah “pembaharu” yang gelisah dan mencari penuturan baru, gerak lakon baru. Ia suara baru dalam teater kontemporer.

Waktu Batu adalah penanda Cindhil dengan kerja autodidaknya yang keras mampu “nepuk dada” dalam diam bahwa saya, Cindhil, tumbuh dari keluarga seni tradisi, berkuliah di UGM (Sastra Jawa), bisa ambil bagian secara intim dalam penyusunan naskah Waktu Batu yang kemudian dipentaskan secara estafet di beberapa kota. Bahkan, keluar negeri.

Pada Waktu Batu, kita bisa melihat sosok Cindhil menyatu dengan Garasi; ekosistem yang menantangnya untuk tetap berdiri setimbang di atas jembatan gantung yang terus bergoyang. Tenang, filosofis, absurd, aneh, kadang meledak. Demikianlah, kala situasi politik yang berisi sumpah serapah, kritik, justru dengan Waktu Batu kita dibawa ke pedalaman manusia yang senyap, keresahan yang tak terkata, dialog aneh antara tubuh dan benda, serta dan impian-impian absurd.

Baca saja kalimat dari judul tiga versi lakon Waktu Batu ini: (1) “Waktu Batu: Kisah-kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu; (2) “Waktu Batu. Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa yang Terbelah”; dan (3) “Waktu Batu: Deus ex Machina dan Perasaan-Perasaan Padamu”.

Saya kira, pada naskah lakon Waktu Batu, kita kemudian melihat energi macam apa yang ada dalam Teater Garasi dan bagaimana Cindhil melarutkan diri di dalamnya.

Di sini pula kemudian Cindhil disergap oleh kegelisahan betapa penulisan naskah lakon dalam ekosistem kesusasteraan kita terancam mandeg.

Preferensi paling mudah dilihat adalah lenyapnya naskah lakon di halaman koran. Padahal, sebelumnya, koran dan majalah umum masih menyediakan tempat untuk memuat naskah lakon satu atau dua babak. Kalaupun ada, ia hanya muncul (tidak ajeg) di jurnal khusus sastra.

Kegelisahan itu juga yang terbaca dari riset salah satu eksponen penting Teater Gardanalla dan juga penyumbang beberapa naskah di Garasi, Joned Suryatmoko. Di buku Arsipelago (IVAA, 2014), Joned menuliskan laporan bertitel “Arsip Bergerak: Mengarsipkan Seni Tradisi, Mengolah Interaksi”. Dari Joned yang membongkar arsip pertunjukan di Jakarta, saya menangkap betapa lusuhnya dunia penulisan lakon ini. Betapa kurang menggembirakannya.

Sudah dipastikan, “uluran tangan” Joned itu cepat disambut hangat Cindhil karena memiliki kegelisahan yang sama. Garasi dan Gardanalla mesti bergerak cepat. Keadaan buruk ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Jangan juga terlalu berharap banyak pada kampus yang mendaku diri Fakultas Sastra-nya berwibawa. Bisa jadi, penulisan kreatif naskah lakon ini tidak diminati sama sekali.

Lihat, nyaris kita tidak temukan ada kelas penulisan kreatif naskah lakon, baik berbayar maupun gratis. Yang ada kelas menulis esai, puisi, cerpen, novel. Pelatihan naskah lakon tidak. Bahkan, lombanya saja nyaris taka da. Kalaupun ada, sayup-sayup. Bedakan, ya, dengan musyawarah nasional teater ini dan itu. Ini soal naskah lakon.

Saya kira, Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) pertama pada 2010 di Institut Français Indonesia (IFI-LIP) Yogyakarta lahir di titik kemuakan dengan keadaan. Selain kelompok teater itu sendiri dipaksa keadaan mesti melahirkan naskahnya sendiri, diperlukan gerakan—baca sekali lagi GERA’AN—mendeteksi dan sekaligus memancing para kreator muda bertenaga besar berkecimpung dalam penulisan naskah lakon. Dalam bahasa IDRF, festival ini haruslah menjadi “jembatan antara penulis naskah dengan sutradara maupun kelompok teater; promosi naskah lakon secara terencana dan lebih komprehensif”.

Gunawan Maryanto saya kira salah satu manusia paling sibuk nyaris satu dekade mengurusi festival agar terencana dan komprehensif. Bahwa, selain membaca adalah bagian dari teater, IDRF adalah modus pengarsipan yang dinamis dari apa yang kita kenal dengan “arsip bergerak”. Jika situasinya memang sangat buruk, tidak ada lagi kata menunggu. Mesti menjemput. Pengarsipan dalam bentuk teaterikal dan balutan festival yang melibatkan beberapa negara ini tentu saja jauh dari bayangan dunia pengarsipan formal yang dipelajari di kampus-kampus.

Pamungkas dan Maut Kedua

Teater Garasi adalah komunitas paling lama di mana Cindhil berumah. Berumah di sini dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Ia adalah takmir. Ia saksi bagaimana sekretariat (mereka menyebutnya lab) berpindah-pindah di seputaran kampung seni Nitiprayan itu.

Di Teater Garasi pula naskah-naskah lakonnya lahir, baik ditulis sendiri maupun dengan penulis lain. Juga, tentu saja buku kumpulan cerita pendek maupun puisi yang ia terbitkan sendiri secara indie dengan bendera OmahSore maupun penerbit-penerbit mayor di Jakarta. Karya-karya itu kemudian mendapat anugerah ini dan itu dalam peristiwa sastra adalah bonus. Sudut-sudut Garasi menjadi saksi dari hulu bagaimana semua-mua itu mula-mula Cindhil pikirkan, mula-mula Cindhil curahkan.

Termasuk, kumpulan cerita yang diterjemahkan Lontar untuk diikutkan dalam pameran besar di Frankfurt Bookfair pada 2015 silam, Sukra’s Eyes and Other Stories. Petikan cerita dari kumpulan ini kemudian ia bacakan dengan suaranya yang berat dan pelan di hadapan para pengunjung pavilion pamer “Indonesia” Frankfurt Bookfair.

Sesungguhnya, saya merasakan ada semacam hubungan gaib antara Gunawan Maryanto ini dengan Teater Garasi. Penanda ini saya saksikan sehari setelah bumi Yogyakarta dipaksa rebah oleh gempa bumi pada Mei 2006. Cindhil menjadi satu-satunya manusia yang saya temukan menjaga tiang-tiang Garasi agar tetap tegak berdiri. Ia tidak apa-apa menjadi penjaga terakhir komunitas saat rekan-rekannya di alam panggung. Sebab bagi Cindhil, di ujung paling jauh dari panggung (menjadi pembikin kopi atau pemegang kunci lab) sama saja dengan saat sedang di atas panggung disoroti lampu dan ditepuki penonton.

Saya ingat betul kata-kata terakhirnya waktu itu setelah mengucapkan syukur lolos dari maut lantaran ia begadang. Karena begadang, ia tetap terjaga, dan setengah linglung masih bisa berlari keluar membawa tubuh ringkihnya.

“Garasi lagi sepi. Kosong. Teman-teman lagi di Jepang semua. Mementaskan Waktu Batu 3 di Jepang. Itu posternya,” tunjuk Cindhil.

Kini, tahun 2021, bulan Oktober, tanggal 6, saat pandemi belum benar-benar surut, Cindhil tak bisa mengelak lagi dari maut kedua. Di Garasi, lagi-lagi, ia disambit maut saat meja dipenuhi segala rencana dan pikiran soal teater, keaktoran, dan segala-gala proyek bagaimana ekosistem ini tetap sehat walafiat. Maut yang barangkali sedari siang menguntitnya itu bekerja sangat cepat seperti menit datangnya gempa Yogya ’06 yang menggodam dadanya.

Atas nama waktu batu (nisan), Cindhil akhirnya meninggalkan Teater Garasi dan dengan semua ketakjubannya pada kata dan gerak tubuh panggung untuk selama-lamanya. Selamat jalan, manusia komplet, manusia yang dicintai oleh semua pekerja seni yang pernah berpapasan dengannya dengan satu sebutan: pekerja yang rendah hati.

“Semua sayang Kante,” kata orang bola.

“Semua sayang Cindhil,” kata orang sastra, kata orang teater, kata orang film. Itu.****

* Versi ringkas obituari ini dimuat di Harian Jawa Pos Edisi Akhir Pekan, 9 Oktober 2021.