“I have always imagined that paradise will be a kind of library” ~ Jose Luis Borges, Kepala Perpustakaan Nasional Argentina 1955
“Semuanya bermula dari karya sastra Snow Crash” ~ Michael Abrash, Direktur Sains Oculus Facebook dan tokoh kunci Metaverse
Mestinya, pandemi yang bikin panik seisi planet ini mengubah secara keseluruhan cara pandang kita melihat realitas masa depan. Terutama, perpustakaan. Sebuah ruang yang dengan angkuh menyebut diri sebagai “pusat ilmu pengetahuan”.
Dalam sebuah talk show yang berlangsung daring di pekan pertama Desember, salah satu deputi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI menyebut literasi (baca perpus) sangat ampuh memulihkan ekonomi dan reformasi sosial.
Betulkah?
Alih-alih menjadi semacam PKO atau penolong kesengsaraan oemoem—pinjam istilah Muhammadiyah—yang berada di garda depan di masa pandemi, nasib perpustakaan justru sebelas dua belas dengan mal. Ruang yang sakaratul maut memohonkan iba dan donasi. Perpustakaan yang selama ini meminta untuk didatangi, oleh pandemi, justru sedapat mungkin dijauhi.
Sampai di sini, saya justru heran saat membaca sepotong berita baru dengan pesan tampak sangat lusuh. Bahwa, perpustakaan di kampus negeri ternama di Yogya dengan bantuan dana dari Pegadaian, mendandani interior ruangan serupa musim lebaran. Ya, menambah sofa, bikin mini golf, dan permainan meja sepak bola. Mereka menyebut ruangan itu sebagai The Gade Creative Lounge.
Tidak ada yang salah dalam soal memperindah interior dengan alasan ini dan itu. Namun, ini ide setelah pandemi yang justru menginterupsi apa yang disebut ruang fisik terpusat.
Monster pandemi yang telah membunuh 5 juta orang itu seperti sesuatu yang lewat begitu saja tanpa membuat paradigma kita memandang realitas berubah sama sekali. Kebanggaan sebagai negeri pemilik perpustakaan terbanyak nomor dua di dunia seakan sebuah prestasi yang terus digotong dengan kacamata kuda.
Nyaris setiap pidato, para pemangku jabatan di perpustakaan negeri selalu mengeluarkan data-data seperti ini: Indonesia punya 164.610 perpustakaan di 514 kabupaten/kota; sebanyak 493 Dinas Perpustakaan sudah dibentuk, dan sekitar 23 ribu perpustakaan desa sudah dibangun.
Metaverse
Semua itu adalah infrastruktur. Nyaris terlupa bahwa ada pintu masuk memasuki dunia baru setelah pandemi. Yakni, (platform) iPusnas. Sebuah rencana proyek paling ekor atau lampiran pada mulanya, tetapi justru menjadi terdepan ketika pintu perpustakaan terkunci berbulan-bulan.
iPusnas berada di tengah perayaan transformasi ekonomi digital yang berlangsung cepat. Bayangkan, valuasi sektor ekonomi digital hingga tahun 2021 ini dikalkulasi mencapai seribu triliun rupiah. Atau, pada 2025 diperkirakan bakal tumbuh 2 ribu triliun rupiah.
Saya ulangi, 2 ribu triliun. Menggiurkan, bukan? Tapi, di mana perpustakaan dalam deret angka ribuan triliunan itu. Nyaris tidak ada.
Hanya iPusnas yang klop dengan format ruang virtual masa depan yang di penghujung tahun ini menjadi perbincangan paling hangat. Yakni, metaverse. Bagi yang memiliki akun medsos Facebook, Instagram, dan WhatsApp, terma ini sangat akrab lantaran menjadi nama induk perusahaan yang menaungi ketiganya.
Meta bukan sekadar nama, tetapi model kehidupan baru. Dari sisi bahasa, metaverse adalah melampaui (meta, beyond) semesta (universe). Istilah ini—sebagaimana cyberspace—disumbang tradisi literasi. Lebih tepatnya, sastra.
Metaverse pertama kali hidup dalam fiksi sains Neal Stephenson pada 1992, Snow Crash. Dalam fiksi itu, tercipta sosok avatar yang berinteraksi dengan sesuatu yang nyata dalam ruang virtual tiga dimensi. “Khayalan” Stephenson ini, oleh para visioner pembangun infrastruktur virtual dalam perusahaan internet raksasa seperti Facebook, dianggap berkontribusi besar bagi keberlanjutan keajaiban di dunia internet.
Dalam jagat metaverse yang fisik dan digital hadir bersamaan. Di ruang metaverse itu, sang avatar berinteraksi sedemikian rupa dalam rutinitas, rapat-rapat di kantor, nongkrong dan ngegim, traveling, nonton konser, maupun belanja sayur di pasar.
Demi masa depan yang diyakini PASTI terjadi itu, Facebook merogoh kas perusahaan sangat dalam; kurang lebih 50 miliar dolar Amerika. Tidak peduli anggaran segigantis itu bisa menggerus laba perusahaan. Tapi, itulah pertaruhan dari sebuah keyakinan.
Lihat, saat orang berlomba-lomba menggelontorkan dananya untuk infrastruktur virtual, perpustakaan masih dengan paradigma lama, tapi sesungguhnya salah kaprah.
Misal, siapa garda terdepan kerja literasi di Indonesia? Tidak ada pustakawan yang bertungkus lumus menggotong buku dari pulau ke pulau, memindahkan buku dari rumah ke rumah penduduk. Yang memberikan literasi spiritual di mimbar-mimbar Jumat juga bukan pustakawan, melainkan mubaligh.
Museum dan Hotel
Sebagaimana dunia memasuki gerbang virtual, perpustakaan mestinya bersiap. Dimulai dari perubahan paradigma berpikir yang diejawantahkan ke pembangunan infrastruktur virtual secara besar-besaran.
Perpustakaan yang sudah ada mulai secara perlahan-lahan dialihfungsikan. Saya usulkan dua.
Satu, dari perpustakaan ke museum. Buku adalah benda museum. Menjadi artefak ide. Karena dipandang sebagai museum, perpustakaan mengubah cara pandangnya selaiknya seperti museum melihat “tamu”. Sekadar datang untuk melihat sekadarnya dan pulang membawa kesan-kesannya. Perpustakaan bukan lagi tempat membaca di mana kita suntuk memahami dunia di dalamnya.
Sejatinya, ini bukan usulan baru. Toh, perpustakaan yang kita kenal dengan PNRI saat ini mulanya merupakan pembelahan diri dari Museum Gajah (Museum Nasional RI). Kembalikan itu ke habitatnya semula.
Kedua, dari perpustakaan ke hotel. Di koran ini pada 26 Oktober 2008, saya mengusulkan Hotel Atlantic yang berada di depan kompleks “Perpunas Lama” di Salemba, Jakarta Pusat, sebagai percobaan. Kini, setelah Perpusnas pindah ke ring satu, kompleks yang kini tampak wingit itu bisa disulap menjadi Library Hotel (LH).
LH bukan perhotelan yang ada sudut bacanya. Perpustakaan dan hotel berada dalam satu konsepsi. Lantai-lantai hotelnya bisa diberi nama sesuai berdasarkan Dewey System; dari lantai (000) Computer Science, Information dan General Works, (100) Philosophy and Psychology, hingga lantai (900) History and Geography. Kamar-kamarnya mengambil nama-nama penulis penyumbang gagasan besar keindonesiaan. Isi kamarnya adalah buku-buku terpilih.
Hotel jenis ini di Indonesia belum ada. Di New York ada satu. Namanya Library Hotel yang beralamat 299 Madison Avenue. Tidak jauh dari NY Public Library. Kala Jakarta terpilih sebagai “Kota Literasi”, apa tidak sebaiknya memiliki pula hotel khusus di mana para tamu literasi internasional menginap dan menikmati panorama literasi Indonesia yang katanya ini katanya itu.
Konsekuensi dari usulan itu dari segi nomenklatur adalah perpustakaan mulai menarik satu kakinya dari Kementerian Pendidikan (virtual library). Perpustakaan tetap berdiri sebagai bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan. Artinya, ia dibutuhkan oleh (calon) kaum terpelajar untuk menyelesaikan problem gagasan yang disimulasikan dalam berbagai tugas dalam kelas.
Tapi, satu kaki lagi mesti diletakkan di Kementerian Pariwisata karena gedung-gedungnya yang beralih fungsi sebagai museum, wahana bermain, dan hotel yang masuk dalam peta kunjungan wisata publik. Sebut saja wisata literasi.
Demikianlah, perpustakaan mesti tahu menempatkan diri bahwa mereka tidak boleh melawan arus informasi yang tersaji di internet; mereka bagian yang tak terpisahkan dari arus zaman. Mungkin, ia masih dibutuhkan tatkala internet belum masuk kelurahan. Jika itu terjadi dan kian dekat, perpustakaan bakal habis. Ia tetap eksis, tapi menjadi sekadar “proyek” menghabiskan anggaran. Alih-alih menjadi sebuah paradise sebagaimana dibayangkan pustakawan tuna netra legendaris asal Argentina bernama Jorge Luis Borges.
~ Versi pendek esai ini diterbitkan pertama kali di Jawa Pos, 1 Januari 2022. Esai ini bagian dari bahan pelatihan menulis esai dua hari di IMM Fakultas Sastra, Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, 9–10 Desember 2021.