In Memoriam Bondan Nusantara: Perginya Guru Ketoprak “Rakyat”

Bondan Nusantara lahir dan mati di dunia ketoprak. Baca saja curiculum vitae penciptaannya yang membuat Anda tercengang: menulis 150-an lebih naskah lakon dan menyutradarai pentas lebih dari 500 kali.

Ia adalah bangsawan ketoprak dalam pengertian sesungguhnya. Maksudnya, tak ada dunia lain darinya selain ketoprak. Saat jelang pecah ketuban pada Oktober 1952, ibunya yang menjadi primadona ketoprak masih menari di atas panggung. Saat ia pergi untuk selamanya pun pada 20 April 2022 ia masih bertungkus lumus dengan ketoprak. Terutama, memastikan ketoprak tidak tumbuh sungsang, melainkan beregenerasi.

Kereta hidup Bondan adalah ketoprak, sekali lagi, sementara yang lain-lain hanyalah persinggahan-persinggahan kecil. Walau persinggahan kecil, terasa bahwa hal itu sangat berarti saat ia terus menggenggam dan memastikan ketoprak selalu hidup adaptif dengan perkembangan zaman; sejak era tobong, radio, televisi, sinema, hingga terkini kanal-kanal video digital.

Beruntung, sebuah buku penting terbit belum genap setahun saat ia mangkat dengan tenang di atas tanah liat Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Ditulis Purwadmadi dari dekat sekali, buku biografi Bondan Nusantara: Mewajah Kethoprak Indonesia, merentangkan sebuah proses panjang anak manusia budaya. Bukan hanya sebagai pelestari seni pertunjukan rakyat, melainkan juga segenap ironinya.

Bahwa, ya, Bondan Nusantara tidak ingin ketoprak sungsang bersama menuanya ia dan rekan-rekan seangkatannya yang merasakan gemuruh ketoprak pada dekade 80-an dan 90-an. Karena itu, ia bersedia menjadi guru bagi warga, bagi remaja. Dari kampung ke kampung, dari kecamatan ke kecamatan di seantero Yogyakarta, Purworejo, Klaten, Semarang.

Ia tak mempedulikan berapa upah. Yang di benak Bondan hanya agar nyala api ketoprak tetap ada. Sekaligus, ini semacam perjanjian gaib bahwa ia mesti menjadi manusia-berbagi dengan keistimewaan yang ia punyai.

Bondan sungguh sadar bahwa ia sesungguhnya sebatangkara dalam perkara jenjang akademis dan memikul hingga tua kutukan “dudu wong sekolahan”. Kedua orang tuanya ingin Bondan tidak perlu hidup dari tobong ke tobong seperti mereka di pematang berlumpur perang dan pekik revolusi. Mereka ingin Bondan belajar yang keras agar “dadi wong”, jadi orang.

Tapi, sejarah bekerja dengan raison d’etre-nya. Balon politik ‘65 meletus. Bondan yang baru saja masuk SMP Negeri 3 Pajeksan terdepak dan menerima ibu terkasihnya, Kadariyah, dikerangkeng bersama aktor-aktor ketoprak Kridho Mardi di Ambarawa. Terluka, tersingkir, terlunta.

Nama yang disandangnya, “Bondan Nusantara”, seperti luruh begitu saja. Bondan berasal dari nama tari yang dipanggungkan ibunya di depan warga Kampung Ngasem, Keraton, Yogyakarta, saat usia persalinan 9 bulan. Tari Bondhan adalah tari seorang gadis menggendong bayi. Sementara, Nusantara disematkan karena kedua orang tuanya adalah barisan pendukung Sukarno yang mengobarkan semangat persatuan bangsa. Karena tak elok menamai bayi “Indonesia”, dipilihlah “Nusantara”.

Ia mengarungi dunia remaja tanpa ibu. Seperti layangan kasih yang putus. Satu-satunya cara melihat wajah ibunya dari kejauhan, Bondan mesti menaiki bus Damri jurusan Yogyakarta—Semarang. Tak jauh dari dinding belakang Kamp Plantungan, dikereknya layangan kertas sebagai panggilan kepada ibunya bahwa ia tiba, ia menunggu, ia rindu.

Yang menarik adalah justru Bondan tidak menarik jarak dengan “ketoprak” yang mendorong ibunya ke dalam kegawatan hebat karena kelompok ketopraknya dituding terafiliasi dengan Lekra, dengan PKI.

Saat nasib “dudu wong sekolahan” mencekau batang alam sadarnya, ia justru menghubungi seorang wanita sahabat ibunya yang dipanggilnya budhe, yakni Sujilah. Sujilah adalah pegiat ketoprak Wargo Utomo. Jika Anda tidak kenal, Sujilah adalah ibunda Marwoto Kawer dan nenek dari MC beken Alit Jabang Bayi. Di panggung Wargo Utomo, Bondan merasakan pertama kali atmosfer panggung yang justru berangkat dari kesialan dan sekaligus mendapatkan “wow” dari penonton kala celananya melorot sempurna. Ledakan tawa penonton tobong pun tak terpermanai.

Pilihan Bondan pada akhirnya terjun total ke ketoprak searah dengan kebijakan politik baru. Kodim 0734 Yogya yang menyita aset Kridho Mardi pada 1966 rupanya berusaha menghidupkan ketoprak dengan langgam Orde Baru. Atmonadi dan ayah Bondan, Suyatin, dipanggil sebagai tenaga pelaksana. Lahirlah Dahono Mataram. Suyatin ditunjuk sebagai dalang, Atmonadi sebagai direktur, sementara Kodim sebagai payung pelindung.

Di tingkat yang lebih luas, Kodam IV Diponegoro juga menghidupkan kembali ketoprak. Kakak beradik, Bagong Kussudiardja dan Handung Kussudyarsana ditunjuk menangani ketoprak Sapta Mandala.

Pada ketoprak Sapta Mandala inilah, terutama setelah perjumpaannya dengan Handung Kussudyarsana, titik balik kesadaran Bondan Nusantara terjadi. Handung, sepengakuannya, bukan saja sebagai gurunya melakoni ketoprak secara total, tetapi juga menyelamatkan hidupnya yang mewakafkan diri secara total untuk dunia panggung pertunjukan.

Jurnalis Budaya

Menjadi jurnalis dan penulis lakon sekaligus adalah dua matra yang didapatkan Bondan dari Handung dan juga SH Mintardja. Nama terakhir adalah penulis lakon yang kuat dan sekaligus novelis silat yang kemudian jejaknya coba diikuti Bondan saat ia pertama kali menerbitkan novelnya pada 2011 berjudul Rembulan Ungu: Tragedi Cinta Gadis Tionghoa di Bumi Mataram.

Dulu, ketoprak, sebagaimana laku di tobong-tobong, proses belajar lewat metode niteni, niroke, nambahi. Lewat mentornya, Bondan perlahan mulai mengubahnya. Ketoprak sebagaimana teater modern adalah ilmu pengetahuan. Bisa dipelajari. Ada teorinya, ada praktiknya. Talentanya sebagai jurnalis di Kedaulatan Rakyat dan Bernas membuatnya cepat beradaptasi. Di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), saat ditunjuk sebagai staf pengajar, ia dipaksa paham teori.

Maka, jalan menulis naskah lakon sesungguhnya adalah metode Bondan Nusantara untuk belajar banyak hal. Dengan menulis lakon, ia harus punya sangu pengetahuan yang luas. Salah satunya, memamah sebanyak-banyaknya buku. Dari mana Bondan mendapatkan aliran pengetahuan menyusun lakon dan adegan kalau bukan dari membaca tumpukan buku sejarah, pahlawan, cerita dan dongeng, maupun sastra. Beruntung, posisinya sebagai jurnalis mendapatkan privelese mengakses perpustakaan anak Gatotkaca yang dipunyai grup Kedaulatan Rakyat. Nyaris semua buku yang membahas sejarah Jawa dia tuntaskan.

Sekolah tinggi boleh tidak punya, tetapi lewat Handung, ia diajak bersekolah budaya membangun koneksitas yang disebut Bondan sebagai mara sanja, sapa aruh. Saat Handung berkunjung dan ngobrol dengan tokoh budaya, saat itulah Bondan menyimak.

Begitulah model sekolah kebudayaan ditempuh Bondan. Termasuk saat Handung terlibat pembicaraan intensif dengan Suprapto Atmosutija, pemimpin Sanggar Karawitan Gambir Sawit, bertopik Ki Ageng Mentaraman.

Yang menarik adalah Handung selalu memakai kunci-pas pembuka perkenalan dengan menyebut “Kadariyah” untuk menunjuk Bondan Nusantara. “Putra dari Kadariyah” adalah kartu truf. Semacam tiket belajar yang ironis. Memang, Bondan dinaungi cahaya kasih dari seorang ibu. Sukma Kadariyah merasuk dalam jiwanya. Menjadi karakternya. Disayangi semua orang, walau menjadi seorang tapol. Sebagaimana Kadariyah, Bondan juga diterima di mana saja karena ia tahu cara bergaul; dengan senior, dengan yang lebih muda.

Coba simak komentarnya yang sangat rendah hati atas sosok sutradara Hanung Bramantyo. Ia kerap diajak Hanung untuk main di film yang disutradarainya, seperti Sang Pencerah dan Kartini.

“Saya ini sering berkata dalam hati. Hanung mengajak saya main film pasti bukan karena saya actor, sepertinya ingin memberi sesuatu kepada teman lama yang sama-sama mencintai panggung kesenian karena dulu Hanung pemain teater,” ucap Bondan.

Dengan kerendahan hati seperti itu, ia menggotong ketoprak. Ragam jenis ketoprak sudah ditanganinya, mulai dari ketoprak kampus, bintang, ketoprak sekali pakai, hingga ketoprak karyawan, seperti PJKA, Batan, Intan Pariwara, Amigo Group. Termasuk, ketoprak multimedia, sebagaimana teater modern.

Ketoprak “Rakyat”, Ketoprak Pelajar

Tidak ada yang membuat Bondan sangat bersemangat selain ketika bersentuhan dengan ketoprak warga maupun ketoprak pelajar. Ketoprak “warga” atau ketoprak rakyat adalah usahanya menjaga api ketoprak yang dinyalakan ibunya tidak padam dan menghilang dari muasalnya.

Ketoprak rakyat membuatnya belajar bahwa hidup haruslah punya daya juang, lentur, adaptif. Bagi rakyat, bukan fasilitas dan panggung yang wah yang menghidupkan panggung seni, melainkan kemauan dan kreativitas.

Dari rakyat itu pula, semangat kethoprak plesetannya bekerja. Ia mendirikan Dagelan Mataram Baru (DMB) pada 1993 dengan tujuan: “realitas wacana politik rakyat”. Salah satu naskah Bondan Nusantara yang pernah heboh dan mendapatkan kecaman adalah Suminten Ora Edan. Bahkan, Budi Susanto menyajikan sepak terjang DMB dan lakon nyerempet politik itu dalam bab sendiri di buku Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial: Siasat Politik (Kethoprak) Massa Rakyat.

Kalau ingin membayangkan betapa “nakalnya” Dagelan Mataram Baru itu, rentangkan saja sejarah Teater Gandrik. Dua komunitas panggung pertunjukan itu “bersaudara”

Bahwa, kethoprak adalah cara rakyat berdaya sebagaimana warisan yang diberikan para pelaku kethoprak pada angkatan Kadariyah. Di masa Kadariyah, terdapat 300 lebih kelompok kethoprak yang berada di bawah naungan Badan Kontak Organisasi Kethoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi) yang terafiliasi dengan Lekra.

Di lembaga yang berkantor di gedung di belakang BNI Yogya itu (saat ini Museum Sonobudoyo), lakon yang dipertunjukkan adalah lakon di mana rakyat berdaya dan berjuang memenangkan hidupnya yang rentan oleh sistem yang tak berpihak. Bakoksi mengajak semua pegiat ketoprak memenangkan revolusi dan tak gentar melawan imperialisme yang makin dekat dengan perbatasan Indonesia.

Pada Dagelan Mataram Baru, Bondan menunjukkan di mana posisi teater ibunya di masa lalu, teater rakyat, teater yang tidak berjarak dengan jiwa warga. Pada ketoprak pelajar yang terejawantahkan dalam ekstrakurikuler, Bondan Nusantara menemukan jalan regenerasi.

Betapa gembiranya Bondan Nusantara menyambut tawaran Edy Sulistyanto untuk jadi guru ekstrakurikuler ketoprak di salah satu sekolah swasta di Klaten. Tawaran dari pemilik usaha Amigo Group itu menjadi jalan awal lahirnya Festival Ketoprak Pelajar (FKP) di mana Bondan terlibat sebagai pelatih. Itulah festival di mana ratusan siswa antusias menjadi pemain dan terlibat dalam ketoprak.

Pada akhirnya, Bondan memang “dudu wong sekolahan”, tapi tradisi belajarnya yang gigih membuatnya menjadi guru besar kebudayaan. Talenta yang dipunyainya sebagai pemain, sutradara, penulis, manajer, pelatih sudah cukup menjadikannya sebagai seniman paripurna.

Dipublikasikan pertama kali Jawa Pos Edisi Akhir Pekan, 30 April 2022