Ahmad Syafii Maarif yang wafat pada 27 Mei itu seorang pendekar. Setidaknya, Gus Dur bilang begitu pada esainya di Tempo yang bertarikh 27 Maret 1993, “Tiga Pendekar dari Chicago”.Chicago yang disebut Gus Dur itu disebut Syafii sebagai satu titik kisar penting yang mengubah pandangan dunia pemikirannya.Sebelum periode Chicago, spirit yang dipikul Syafii adalah kerinduan tegaknya negara Islam. Ia pemamah atraktif pikiran Sayid Qutb, Maududi, Maryam Jameela. Pendeknya, ia seayun dalam satu trek lurus dengan cita-cita pengerek bendera Ikhwanul Muslimin dan Masyumi. Dengan Islam dalam bentuk negara, semua perihal beres.Kampus Chicago mendepak keluar spirit “politik Islam” itu ketika berjumpa dengan cendekiawan asal Pakistan bernama Fazlur Rahman. Pada sosok itu, Syafii menemukan kepakaran kepada Islam klasik dan sekaligus Islam modern, tetapi kritis terhadap alam kemodernan.Di hadapan Fazlur ini pula, penyair Muhammad Iqbal asal Pakistan merasuki jiwanya. Fazlur mengganjarnya dengan nilai A+ atas mata kuliah “Pemikiran Iqbal”. Walhasil, Syafii pun boleh dibilang sebagai juru bicara Iqbal Sang Muffakir-e-Pakistan ini di Indonesia. Sepengakuannya, ia nyaris tidak punya teman dalam kelas “readings in Iqbal” dengan sumber berbahasa Inggris dan Persia.Saya kemudian ingat betul, saat Republika pada 20 Februari 1998 menurunkan laporan Dialog Jumat bertopik “Pemikiran Muhammad Iqbal” untuk memperingati 120 tahun Iqbal. Syafii langsung memperbaiki curriculum vitae bahwa perkembangan termutakhir, Iqbal bukan lahir pada 22 Februari, melainkan 9 November.Di luar itu, keterpesonaan kepada Iqbal membuatnya insyaf dan sampai pada pengambilan posisi bakal menghajar habis-habisan rasialisme dengan memakai baju apa pun, termasuk dibungkus (bahasa) agama. Dalam esai pendamping laporan besar Republika itu, Syafii menulis esai berjudul “Iqbal, Barat dan Timur”.Barangkali, paragraf ihwal “persaudaraan universal” yang ditiupkan Iqbal itu menjadi cerminan sikap teguh Syafii saat menyikapi isu-isu aktual satu atau dua dekade mutakhir yang melibatkan perkawinan agama dan politik secara berlebihan dan tidak senonoh.Saya kutipkan satu paragraf Syafii: “Iqbal adalah salah seorang dari para pemikir kontemporer yang sangat gigih melawan rasialisme yang telah membelah dan menghancurkan persaudaraan universal antar umat. Dalam suratnya tertanggal 24 Januari 1921 kepada Dr. Nicholson, Iqbal mengkritik Ernest Renan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah musuh besar Islam. Renan sama sekali salah, kata Iqbal. Musuh Islam yang terbesar, menurut Iqbal, adalah gagasan tentang ras (race-idea), yang juga sebenarnya merupakan musuh terbesar kemanusiaan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban seluruh pencinta kemanusiaan untuk berontak melawan hasil temuan setan yang mengerikan ini”.Dari Iqbal, Syafii seperti menabalkan bahwa jangan bermain-main dengan rasialisme. Bahkan, ia dihalau sejak dari hal-hal yang barangkali sepele. Syafii yang juga merupakan sejarawan itu tahu betul bagaimana persoalan kriminal sepele di Cirebon antara seorang pedagang Tionghoa dan pedagang batik di pasar bisa menyulut kerusuhan massal hingga di Surabaya yang membuat Sarekat Islam kewalahan mengatasinya.“Marilah kita bersatu dalam platform yang sama antara kita. Demi penyatuan umat manusia di bumi ini, Alquran mengabaikan perbedaan-perbedaan kecil antar sesama,” kata Iqbal sebagaimana dikutip Syafii.Bukan hanya dikutip, tapi pencerahan dari Iqbal itu menjadi pondasi bagaimana ia menghadapi kenyataan.Dari Fazlur Rahman ke Haji Agoes SalimPerjumpaan dengan Fazlur Rahman tak hanya mempertemukannya dengan Muhammad Iqbal, tetapi juga membangunkan kembali mesin keterpesonaannya dengan sosok Haji Agus Salim.Salim, kata Syafii, adalah guru dan sekaligus “Bapak Kaum Intelektual Muslim Indonesia”. Ia mengatakan hal itu saat diundang sebagai penyumbang tulisan untuk memperingati 100 Tahun Agus Salim.Berbeda dengan Fazlur Rahman yang tertata dalam menuntut ilmu, Salim melewati jalan yang terjal dan berliku, lewat jalan autodidak. Namun, keduanya sama, memiliki kemampuan berbahasa asing yang mumpuni. Sama-sama poliglot. Dengan anugerah itu, mereka mengembangkan apa yang disebut dengan “berpikir merdeka”.Corak berpikir merdeka itu yang membawa Syafii pada kontemplasi yang berujung kepada kesimpulan; mereka yang mencita-citakan terbentuknya negara Islam dengan jalan teror tidak lain dari halusinasi politik. Tidak bisa diterima orang-orang yang menjadikan teror sebagai jalan mencari nafkah.Seperti Salim, Syafii melihat wajah umat tidak menolak modernitas, tapi juga tidak kolot yang tidak bisa membedakan mana ajaran Islam, mana budaya Arab.Syafii sangat sering mengutip peristiwa 1927 bagaimana Salim merobek kain tabir yang memisahkan laki-laki dan perempuan di sebuah rapat Jong Islamieten Bond yang berlangsung di Solo. Saat menyampaikan pidato bertitel “De sluiering en afzondering der vrouw”, Salim dengan dramatis menarik kain tabir itu.Tentu saja, berpikir merdeka itu tidak mudah dalam praktik. Syafii dihadapkan pada realitas sosial; bukan hanya saat kepulangannya ke tanah air polemik jilbab sedang pasang, juga penentangan yang keras atas pemberlakuan asas tunggal Pancasila di medio 80-an.Sebagai manusia Muhammadiyah lahir dan batin, sang anak panah didikan langsung Madarasah Muallimin, Syafii seperti terkucilkan, sebagaimana kampungnya di Sumpur Kudus yang untunglah, katanya, “Muhammadiyah bisa tersesat sampai ke sana”.Muhammadiyah berada dalam pusat ketegangan itu. Syafii yang masih canggung dengan ekonomi keluarga centang-perenang tidak bisa berbuat banyak dalam politik yang memanas. Disertasinya tentang debat panas dua tahun asas negara di Dewan Konstituante berjudul Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia mestilah ia simpan baik-baik dulu dalam lemari sebelum kemudian diterbitkan LP3ES tiga tahun kemudian.Dalam perdebatan panas yang berujung pada kekerasan di Jakarta itu, Syafii tidak ikut menjadi peniup terompet. Karakternya tidak mengizinkan ia segera naik podium dan berteriak ini dan berteriak itu. Ia memilih menjadi pendakwah yang tergabung dalam Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan sekaligus menjadi jurnalis di Suara Muhammadiyah.Di media Muhammadiyah itu, ia sedikit demi sedikit mengecer gagasan yang dibawanya dari Chicago. Syafii tampaknya, sekali lagi, tahu diri bahwa ia bukan dua pendekar lainnya yang disebut Gus Dur, yakni Nurcholish Madjid dan Amien Rais. Keduanya senang sekali bikin geger, memancing keributan.Karakter Syafii Maarif lebih cenderung kontemplatif. Kritik-kritiknya memang keras, pilihan katanya tajam. Misal, mereka yang saling sikut dan partisan untuk mendapatkan kekuasaan di Muhammadiyah tidak bisa tidak disebut Syafii sebagai manusia amoral. Atau, saat mengatakan Kementerian Agama sebagai lembaga pemerintahan terkorup di Indonesia.Selebihnya, Syafii mengambil porsi menjadi guru. Di Yogya, ia mengajar di IKIP (UNY). Ia juga menjadi dosen di luar negeri, terutama di Malaysia dan Kanada. Dengan gaji tak seberapa dari kerja per-dosen-an ini dan ditambah dengan honor dari menulis di media, honor memberikan ceramah, dan royalti buku, ia berjuang mendapatkan rumah tinggal dengan cara mencicil atau KPR selama 15 tahun.Nah, fungsinya sebagai guru di ranah perguruan ini yang selalu mendekatkannya pada anak-anak muda. Lembaga Maarif Institute adalah bukti tak terbantahkan tentang kedekatan dan kehangatan Syafii dengan anak-anak muda Muhammadiyah yang datang dengan beragam pikiran.Syafii sadar betul, ia bisa saja menjadi dosen dan birokrat sembari menjadi saudagar yang memiliki berhektar-hektar tanah. Tapi, pilihan itu tidak diambilnya. Dalam soal ini, ia barangkali bisa dipandang sebagai sosok naif.Saya menyebutnya akhlak. Atau, dorongan tahu mengukur diri. Seperti halnya Muhammad Iqbal, lalu Agus Salim, hingga Fazlur Rahman, Syafii hidup di alam cendekiawan, tetapi bukan di menara gading. Ia mendayung di antara karier tertinggi akademis (profesor) dan karir tertinggi pergerakan (Ketua Muhammadiyah).Di luar karier itu, ini pilihan berat yang coba diambilnya, dipeluknya, hingga hayat sejarah hidupnya berhenti di hari Jumat, yakni menjadi manusia bersahaja dalam pengertian yang sesungguhnya. Walau, tidak seekstrem pilihan yang diambil Agus Salim—sang menteri dan diplomat tanpa tanding yang hidup melarat dan seumur hidup ngontrak—amalan hidup sehari-harinya yang tidak berpamrih membuatnya tidak mudah tunduk. Sebaliknya, ia tidak menginjak dan menganggap remeh mereka yang tunakuasa.Syafii menolak dan mengubur laku selaiknya priyayi modern yang serba dilayani manusia lain. Sebagai bangsawan pikiran, privelese untuk dilayani itu terbuka sangat lebar. Doktor lulusan Amrik, orang nomor satu di Muhammadiyah lagi. Tapi, Syafii menolak semuanya.Bagi dia, tatkala masih bisa dikerjakannya sendiri, ia tetap melakukan. Berpikir merdeka dan mandiri dalam bersikap sehari-hari. Termasuk—dan cerita model ini melimpah—mengantre seperti pasien lainnya di rumah sakit milik persyarikatan di mana ia pernah menjadi pimpinan tertingginya. Atau, menagih sendiri royalty bukunya yang diterbitkan penerbit yang dikelola anak muda bernama Nursam yang sekaligus tetangganya di Nogotirto.Syafii Maarif adalah cendekiawan pertapa di mana hulu air jernih pikiran mengalir. Sosoknya memang seperti nama kampung di Sleman, Yogyakarta, di mana ia berumah dengan cara mengangsur (KPR) sejak 1985: NOGOTIRTO. Sumber air (pikiran) jernih yang melimpah.Sampailah kita pada kisar terakhir Syafii. Titik kisar pertama dan kedua Syafii adalah Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau dan Muallimin di Yogyakarta yang memberinya kuda-kuda dasar dalam ber-Islam dan berperilaku baik, lurus, mandiri. Sementara, titik kisar ketiga adalah Universitas Chicago di mana ia “mengonversi” pikiran-pikiran “fundamentalisme” yang dibawanya dengan cara pandang baru dalam pergaulan baru di lingkungan Barat.Dan, kisar terakhir dari Syafii itu adalah kepergiannya pada Jumat setelah ia merampungkan semua tanggungan dan tugas, baik sebagai seorang akademis maupun sebagai penggerak harakah yang beraset triliunan rupiah.Rest in love, Profesor Ahmad Syafii Maarif, sang cendekiawan pertapa.****Pertama kali dipublikasikan Jawa Pos edisi Weekend, 28 Mei 2022