40 Tahun Galam Zulkifli Melukis (Ide) Indonesia (1): Melipat Indonesia dari Sumbawa

Sekilas, keputusan Galam Zulkifli menyelenggarakan pameran tunggal di Sumbawa Besar sangat mengagetkan.

Memang, ia sering menggumamkan bakal membuat Museum Taman Seni di Sumbawa, daerah di mana tali pusarnya tertanam di buritan rumah.

Tapi, berpameran tunggal? Apalagi, Sumbawa adalah kota yang tidak ada dalam peta seni rupa.

Pembaca, Galam sudah sangat lama tak menggelar pameran tunggal. Ia sebetulnya tergolong pelukis yang “malas” berpameran tunggal.

Pertama kali ia menggelar pameran tunggal di Yogyakarta. Tepatnya, di Gelaran Budaya, pada 7 November 2001. Tajuknya, “IX Taman Seni”, tajuk yang kelak menjadi kompas bagaimana ia memproduksi lukisan. Saat itu, harga karyanya dijual mulai dari 12,5 juta hingga 17 juta rupiah.

Setahun kemudian, ia kembali berpameran tunggal. Kali ini, di Nadi Gallery, Jakarta pada 11 Juni 2002. Tajuk pemerannya “Mempertimbangkan Perjanjian”. Lalu, 28 April 2006, lebih kurang 30 karya Galam digantung di dinding Mon Décor, Jakarta.

Selanjutnya? Tidak ada. Jadi, ada jarak 16 tahun ia tak berpameran tunggal hingga ia kembali tampil lagi dengan sepenuh tenaga.

Di rentang jarak itu, bukannya ia berleha-leha, tak melakukan aktivitas berseni rupa. Bagi Galam, memproduksi karya dan berpameran tunggal tidak melulu satu trek. Ia bukan perupa yang berkarya karena ada tujuan berpameran tunggal.

Baginya, melukis itu pekerjaan sehari-hari. Seperti PNS masuk kantor. Seperti petani yang berangkat ke sawah. Seperti buruh yang masuk kerja di perusahaan. Seperti wartawan yang terus memproduksi tulisan.

Melukis pun demikian. Melukis itu kata kerja di mana eksistensi Galam ada dan tertanam di sana. “Aku melukis, maka ada aku ada,” kira-kira demikian kalimat Descartes kalau kita parafrasekan ke dalam konteks Galam Zulkifli.

Dalam rentang waktu 16 tahun sejak pameran tunggal terakhir, Galam terus terlibat dalam pameran bersama maupun event-event pameran berskala nasional maupun internasional. Ia ikut karena diundang lantaran posisi berkesenian dan karyanya.

Nah, pameran tunggalnya bertajuk “Indonesian Idea” ini adalah akumulasi berkarya yang diikat “taman seni”. Galam dalam periode setelah 2010 berusaha menggarap kolase besar ide-ide Indonesia yang berwujud dari bagaimana ia menggambar mereka yang menyumbang gagasan terbentuknya (ide) Indonesia.

Tidak sekadar melukis wajah “manusia penting”, tetapi ia juga melakukan riset ekstensif bagaimana kiprah sang wajah dan gagasan apa yang ia berikan. Wajah itu merentang dari semua aspek; dari politik, agama, olahraga, musik, senirupa, ekonomi, budaya, pendidikan, hingga teknologi.

Nyaris kerja risetnya sama dengan pembuatan almanak ide Indonesia. Berbeda dengan para penulis sejarah, presentasi Galam adalah lukisan. Karena sejarah Indonesia adalah sejarah besar, maka lukisannya pun tampil gigantik dalam format. Juga, enigmatik dalam metode kerja dan teknik.

Terbayang, bahwa lukisan yang menjadi pusat dari pameran tunggalnya di Sumbawa Besar ini adalah lukisan yang memicu kontroversial di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten. Judul berita daring pada Agustus 2006 silam itu bikin buluk berdiri: D.N. Aidit hadir di bandar.

Padahal, jika disaksikan secara langsung, nama yang disebut dan menjadi picu kontroversial berbulan-bulan adalah satu dari ratusan wajah (penyumbang ide) Indonesia. Itu pun, ukurannya sangat kecil.

Di situlah enigmatiknya Galam Zulkifli. Ia tidak saja mengejar mimpi-mimpi fantastiknya membingkai rupa-rupa sejarah, tetapi juga memperlihatkan Indonesia sebagai sebuah arena ide yang unfinished. Ide yang tak pernah selesai. Juga, gagasan yang tak selalu bulat, tak melulu rampat.

Mestinya begitu. Indonesia sebagai gagasan terus tumbuh dan berlanjut. Pemikir-pemikir penting hadir untuk mengisi masanya. Karena bagi Galam, setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Tugasnya adalah menangkap (ide) wajah mereka dengan cermat, tekun, dan penuh ketakjuban.

Termasuk dalam ketakjuban itu adalah bagaimana ia mempresentasikan Indonesia itu dalam bingkai dirinya sebagai manusia tenggara. Saya lupa sudah berapa kali Galam mengisahkan adegan melipat peta Indonesia itu di mana titik temu lipatan itu persis di kawasan di mana ia memilih memamerkan secara tunggal karya-karya yang diikat tajuk “Indonesian Idea”.

Walau tak ada dalam peta seni rupa, negeri tenggara adalah titik penting melihat Indonesia yang tidak saja plural, tetapi juga kompleks dalam segala hal. “Alami dan pelajarilah Nusa Tenggara dan di sana Anda melihat Indonesia yang dinamis. Manusianya. Alamnya. Bahasanya. Saya sudah merisetnya,” kata Galam Zulkifli.

Ya, saya nyaris lupa, bagi Galam, bagan kerja melukis itu sama seperti bagan kerja seorang ilmuwan. Lukisan itu ilmu pengetahuan. Selain, aset yang luar biasanya mahal, tentu saja. (Bersambung)

# Pertama kali dipublikasikan di Harian GaungNTB, edisi 20 Juni 2022, hlm. 10