40 Tahun Galam Zulkifli Melukis (Ide) Indonesia (2): Menolak Kutukan Melukis Kerja Kemiskinan

Pembaca, saya ajak Anda melantai sejenak di Balai Lelang Masterpice, Singapura. Tahun itu, 2008, lukisan Galam Zulkifli berjudul “Elvis” (2007) laku terjual US$ 30,660. 

Di balai lelang yang sama, pada 2009, karya Series “Illusion-Britney & Beckham” dilego sebesar US$57.000.

Sudah. Cukup. Harga di balai lelang itu sudah cukup memberikan gambaran bagaimana posisi ekonomi karya Galam Zulkifli. 

Oh, ya, kalau dirupiahkan, US$57.000 itu setara dengan Rp845.070.422. Itu harga satu bingkai lukisan dengan ukuran yang “kecil”, seperti bingkai lukisan Kakbah di ruang tamu “keluarga (ber)haji”. Yang paling kecil dari ukuran rata-rata karya Galam Zulkifli. 

Jika tak terbayang ukuran yang saya maksudkan, silakan dilihat pameran tunggal Galam Zulkifli di Istana Sultan Muhammad Kaharuddin III, Jl. Merdeka, Sumbawa Besar, NTB, Indonesia. Pameran itu berlangsung dari 20 hingga 30 Juni 2022.

Tentu saja, tak pernah terbayangkan oleh masayarakat se-Nusa Tenggara Barat bahwa ada lukisan pelukis berdarah Sumbawa bisa semahal itu.

Tidak juga dengan kedua orang tuanya. Jangankan membayangkan harga, melukis itu bisa dijadikan sandaran hidup yang naik satu trip dari garis kemiskinan juga tidak.

Mari kita dengarkan kesaksian Ibu Rahmani, guru Galam Zulkifli di SDN 5, Sumbawa. Sosok ini, sepengakuan Galam adalah pribadi yang “menemukan” dirinya sebagai seorang pelukis. 

Galam tahu dirinya bisa menggambar. Asal tahu saja. Bahwa, menggambar itu bagian dari “kesenian” dan bisa diperlombakan, sama sekali tidak mengerti.

Sampailah saatnya perlombaan antarsekolah tiba. Sudah bisa ditebak, penyelenggaranya adalah Dinas P&K. Lokasinya adalah yang saat ini menjadi Istana Sultan Muhammad Kaharuddin III. Tahunnya 1982. Galam duduk di pojok kanan istana. 

Ibu Rahmani tahu potensi tersembunyi dari Galam. Karena itu, ia mendaftarkannya. Bukan cuma mendaftarkan, tetapi juga mengantarkan.

“Ternyata, dalam lomba itu, mesti pakai cat air. Bukan pakai pensil biasa seperti yang saya lakukan. Padahal, jangankan memegang dan menggunakan, melihat cat air saja belum pernah. Bahwa, menggambar bisa pakai cat air berwarna pun baru tahu,” kenang Galam.

Untunglah ada salah satu peserta lomba yang berbaik hati meminjamkan cat airnya setelah selesai menggambar. Galam juga sudah selesai, tapi masih dengan pensil. Dia pun meminta diajari secara on the spot bagaimana gambar wajah Pangeran Diponegoro itu diberi warna dengan cat air.

Dan, Galam keluar sebagai juara 3 se-kabupaten.

“Yang paling saya senangi dari juara 3 itu adalah hadiahnya: empat paket cat air dan buku gambar. Itu semua adalah bahan menggambar. Dengan cat air, gambar bisa berwarna. Ajaib. Cat air itu ajaib,” tambah Galam.

Benar saja, momentum mendapatkan cat air dengan cara berprestasi menggambar itu dipandang Galam sebagai jalan pertama dirinya melukis. Kejadian 40 tahun di pojok kanan beranda Istana Sultan Muhammad Kaharuddin III itu tak pernah dilupakan seumur hidupnya. Kejadian itu menjadi tonggak dan titik kisar pertama dari mana kegandrungan melukis itu bermuasal. 

Sebelum pengumuman juara itu diumumkan, Ibu Rahmani yang berhadapan dengan masalah karena “bonek” mengikutkan Galam dalam lomba. Ayah Galam Gulkifli yang mantri itu setelah tahu anaknya “disesatkan” oleh Ibu Rahmani, datang ke sekolah.

“Bapaknya pernah mau mukul di sekolah. Gara-garanya soal lomba melukis. Saya bilang, Galam terpilih utusan sekolah. Dia anak berbakat. Kita gak bisa menghalanginya,” tutur Ibu Rahmani.

Kekacauan ikut lomba itu sebetulnya sudah dicium Ibu Rahmani lantaran Galam tidak mau hadir karena tidak dibelikan pensil. Ia pun pasang badan membela habis-habisan bahwa Galam utusan sekolah berlaga.

Ia tahu, Galam berbakat di menggambar. Dari 123 muridnya, tidak ada yang menyamai Galam. 

“Nggak nakal itu Galam. Bersih juga anaknya. Tapi, acuh tak acuh. Gak pernah ranking. Jelek pelajaran Bahasa Indonesia. Sukanya lagu “Balonku”. Nggambar aja kerjaannya. Disuruh ngarang malah nggambar. Ia menggambar tubuh kucing, singa. Katanya, itulah karangannya,” kisah Ibu Rahmani.

Ibu Rahmani tidak meleset. Galam juara di semua tingkatan; tak ada tanding dari SD yang bisa melaju sampai ke tingkat provinsi.

Teman-temannya pun tahu bakat itu sedari awal. Bahkan, teman sejak SD. Didi, misalnya. Teman Galam sejak SD hingga SMA ini tak pernah lupa bagaimana jika tugas “seni menggambar” itu datang, mereka semua merapat kepada Galam sebagai joki. Semuanya minta digambarkan.

“Anehnya, kami semua mendapat angka 7, Galam sendiri yang 9. Saya heran, bisa berbeda begitu,” heran Didi.

Ada atau tidak ada lomba, ada atau tidak ada tugas “seni menggambar”, Galam memang keranjingan mencoret.

“Hampir seluruh penyiar TVRI yang saya lihat sewaktu kecil saya gambar wajahnya,” aku Galam.

Caranya, Galam menunggu datangnya program “Berita Nasional” maupun “Dunia Dalam Berita”. Sepanjang anchor televisi itu tampil, sepanjang itu pula Galam menggambar wajah mereka. Bukan berita yang disimaknya, tetapi lebih dalam lagi dari itu: raut dan gestur wajah para pembaca berita. Galam mencoba menjajal kemampuannya dengan durasi waktu tertentu.  

Tapi, ayah Galam tetap tidak ingin anaknya menjadi tukang gambar. Mau jadi apa nanti. Lebih baik jadi perawat atau guru saja.

Cukup beralasan kekhawatiran itu. Gambaran nyata dari seorang pelukis itu ditunjukkan oleh sosok yang semua orang di Kota Sumbawa tahu hidupnya mengenaskan. Seseorang yang berasal dari Jawa, Sukidi namanya. Ia menggotong lukisan pemandangan dan kaligrafi ke mana-mana untuk dijajakan. Pakaian kumal, kaki kapalan, betis mengeras karena berjalan kaki maupun mengayuh sepeda. 

Seperti itulah gambaran seorang pelukis: kere-nya nauzubillah. Dan, Galam ingin menggambar, Galam ingin menuntut ilmu melukis di Yogyakarta.

Seingat Galam, ia dilepas seperti “tanpa restu” oleh keluarga. Kekhawatiran gagalnya hidup dari lukisan itu musababnya. Ia memang diberi bekal dengan memakai seluruh tabungan. Mula-mula lancar, lalu kiriman seret.

Bagi Galam, melukis kemudian adalah pertaruhan hidup dan mati. Ia mengambil resiko menjadi manusia gagal atau berhasil dari dunia lukisan.

Dan, kabar itu datang dari Yogya. Bunyinya kurang lebih: “Galam menggelandang jadi pelukis di Yogya”.

“Ada yang coba ngasih saran kepada keluarga Galam agar utang saja untuk membiayai kuliah anak. Dan, memang mengutang. Eh, dengar anaknya, Gev (Galam Zulkifli) jadi pelukis jalanan, bapak dan ibunya menangis. Artinya, Galam nggak kuliah. Akhirnya, bapak-ibu Galam ingin ikut dengan saya ingin pergi menengok anaknya di Yogya karena mereka tak lagi kuat bekerja. Kasihan sekali, bapaknya mencari pasien-pasien untuk disuntik. Bapaknya sudah tak kuat lagi dengan utang,” kisah Ibu Rahmani.

Dalam hati, Ibu Rahmani mendongkol hebat dengan pembawa berita itu. Ingin rasanya Ibu Rahmani menantangnya berkelahi. Berita yang  membikin orang tua tidak tenang di kampung.

Tapi, berita itu benar adanya. Galam yang gagal dua kali tes masuk ISI Yogyakarta dan kemudian banting stir ke IKIP, memilih lebih banyak belajar melukis di Malioboro ketimbang di kampus.

Malioboro yang hanya sepelarian dari asrama mahasiswa putra Sumbawa memang menjadi episentrum berkesenian di Yogyakarta. Di sanalah Galam Zukifli belajar habis-habisan. Bukan saja kerasnya hidup berkesenian, tetapi juga memalu dadanya bahwa melukis tidak seperti yang dipersepsikan oleh kebanyakan orang tua.

Dunia melukis adalah cinta mati Galam. Tidak mungkin sesuatu yang ia cintai menyengsarakan kehidupannya. Galam menolak kutukan bahwa melukis sudah berarti miskin. Ia buktikan. Tapi, jalannya memang tidak mudah. Sangat tidak mudah.

Riwayat transaksi di balai lelang pada 2009 yang disebutkan di awal tulisan ini adalah harga dari ikhtiar keras Galam Zulkifli. (Bersambung)

# Pertama kali dipublikasikan Harian GaungNTB, edisi 23 Juni 2022, hlm. 11