Kisah biografis Galam Zulkifli yang seorang perupa berjumpa dengan pujangga besar Pramoedya Ananta Toer justru datang ketika seni rupa berdialektika dengan teks sastra di sampul buku.
Anda sebagai pembaca karya Pramoedya Ananta Toer yang fanatik, tahukah bahwa sampul Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) sudah mengalami empat kali perubahan?
Edisi pertama Hasta Mitra 1980-an menjadi edisi klasik dengan harga jutaan rupiah. Di Edisi Pembebasan tahun 2000-an, Tetralogi Buru tampil dalam dua sampul. Yang pertama — dan ini yang paling banyak beredar — adalah montase foto lawas dengan drawing foto pemuda necis berdasi kupu-kupu. Sampul ini dibuat legenda sampul buku Jogja, Ong Hari Wahyu.
Sementara sampul kedua — ini yang hanya beredar terbatas — cetakan dengan sampul montase Minke dan empat perempuan yang dekat dengan sang tokoh utama. Sampul ini dibuat duo seniman Gelaran Budaya yang sama-sama berasal dari Sumbawa. Dipo Andy bertindak sebagai desainer sampul, sementara Galam Zulkifli pelukis wajah sang tokoh.
“Saya membaca tuntas Tetralogi itu sebelum memutuskan karakter tokoh untuk saya lukis,” kata Galam.
Seniman kelahiran Nusa Tenggara ini sempat bertanya retoris, jika Anda seorang coverist dan ditawarkan membuat sampul Tetralogi, tindakan akhir apa yang Anda lakukan?
“Tepat, Anda mesti menonjolkan Minke dan umumnya patriarkh, maskulin. Saya justru mendapatkan kekuatan Minke justru dari perempuan-perempuan di sekelilingnya.”
Bagi Galam, Tetralogi adalah imaji Pram tentang Indonesia modern awal, tentang tanah dan airnya. “Minke itu ibarat adalah tanahnya, sementara air yang menghidupkannya, air yang menyuburkannya adalah perempuan dari suku bangsa yang berbeda-beda,” jelas master seni karakter wajah yang kini berpameran tunggal “Indonesia Idea” di Sumbawa ini.
Galam pun bereksperimen bahwa sosok Minke adalah obsesi Pram tentang sosok Tirto Adhi Soerjo. Maka, wajah yang dimunculkan Galam adalah pantulan wajah Pramoedya itu sendiri. Tiga lukisan pensil (drawing) di atas kanvas 50 x 75 adalah wajah “Minke” dan empat karakter perempuan yang disaring secara ketat dari hasil kerja-baca Galam yang tekun atas Tetralogi. Ketiga lukisan yang kemudian menjadi sampul Tetralogi itu disumbangkan seluruhnya oleh Galam kepada keluarga pengarang asal Blora ini.
Karakter wajah perempuan yang dilukis oleh Galam adalah Nyai Ontosoroh, Annelies Mellema, Ang San Mei, dan Princess van Kasiruta.
“Karakter berbeda-beda bangsa itu yang ingin dikatakan Pram saat berbicara Indonesia. Nyai Ontosoroh dengan karakter wajah Jawa yang keras. Annelies seorang blasteran. Mei seorang Tionghoa dan sekaligus aktivis pergerakan. Sementara dari Indonesia di belahan timur diwakili karakter Princess van Kasiruta.”
Memasukkan wajah dari Maluku ini menunjukkan Galam peka pada detail dan kemampuannya menangkap yang tersirat dari pesan Pram. Bahkan, sosok yang menjadi istri Minke di pembuangan itu kerap terlupa dan jarang tertulis dalam uraian pengulas Tetralogi sebagaimana kita bisa susuri dalam pencarian di internet.
“Sebagai orang dari Nusa Tenggara, saya kira Pram tepat menggambarkan karakter perempuan timur: kuat, garang, atau Pram menyebutnya sebagai orang yang selalu di depan melindungi suaminya dari serangan musuh. Tapi, ya, itulah nasibnya orang timur: disepelekan, didiskreditkan, lalu dilupakan,” imbuhnya.
Jadilah kita dapatkan ada satu periode dalam sampul Tetralogi yang kini diterbitkan Lentera Dipantara, wajah perempuan antarbangsa tampil; wajah dan karakter yang turut merajut wajah Indonesia hari ini.
Sampai di sini, kita mendapatkan sosok Galam adalah seniman pembaca buku garis keras. Ajaklah ia bicara soal Kho Ping Hoo, tujuh hari tujuh malam ia bisa adu kuat melisankan isi cerita silat itu.
“Saya pasti habis dan tuntas membaca novel atau cerita. Kecuali buku-buku filsafat atau diktat seni,” ujar seniman drop out semester empat di IKIP Yogyakarta dan dua kali gagal melewati ujian masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
“Saya otodidak belajar melukis. Diktat apa yang dibaca mahasiswa ISI, juga saya berusaha mencari, meminjam, dan membacanya. Jika mahasiswa ISI untuk lulus sketsa harus bikin 500-an, saya bikin dua kali lipatnya,” cerita Galam dengan semangat.
Sosok yang menjadi salah satu pendiri Gelaran Budaya pada 1999 dan Yayasan Indonesia Buku pada 2006 ini menempuh jalan yang sangat keras untuk setara dengan seniman-seniman yang belajar formal di kampus-kampus. Dengan jalan membaca dan berlatih sehebat-hebatnya.
“Saya bisa tahan tak bicara pada siapa pun selama tiga bulan dan hanya berhadapan antara buku dan lukisan,” katanya.
Galam ingat ketika ia tak punya uang untuk beli buku baru karena belum masuk ke Perpustakaan Daerah, sementara dompet terkuras hanya untuk belanja kebutuhan melukis yang memang mahalnya naudzubillah. Langkah yang diambilnya adalah berangkat dari asrama Sumbawa ke toko buku berpendingin dan nyaman di Jalan Sudirman, Yogya.
Lalu, “Saya membaca buku di toko buku. Tantangannya hanya satu, lihai dan tebalkan muka berhadapan dengan teguran satpam. Untuk menamatkan satu buku dengan tebal 200-an halaman, saya butuh tiga kali kunjungan ke toko buku berpendingin itu.”
Praktik berjalan kaki untuk membaca itu bukan sesuatu yang baru bagi Galam. Ia ingat kerap masuk ke perpustakaan sekolah untuk mencari buku pendukung pelajaran. Di sanalah ia bertemu dengan novel-novel “ringan”, termasuk berjumpa dengan puisi-puisi Chairil Anwar.
Lulus SMP ia berkenalan dengan karya-karya Karl May yang rata-rata bertema petualangan. Karya Karl May itu ia rasa paling berkesan saat remaja. Di atas semua itu, cerita silat Asmaraman S. Kho Ping Hoo tak ada yang bisa menyingkirkannya dari bacaan yang mempengaruhi pikirannya.
Nah, berbekal kesukaan membaca dan kemampuan menggambar wajah seperti itulah Galam berangkat ke Yogyakarta dan mulai berkenalan dengan buku-buku yang lebih serius, seperti buku-buku bertema politik, sosial, budaya, psikologi, maupun filsafat.
Walau demikian, ia tetap berendah hati mengatakan bukan pembaca buku yang baik. Ia mengakui, jarang sekali membaca buku sampai tuntas. Ia juga bukan tipe pembaca yang runtut, tetapi membaca semaunya.
Terkadang, ia membaca meloncat-loncat, kadang mulai dari belakang, baca dari tengah, atau memilih bab yang menurutnya menarik. Namun, untuk bacaan yang cara bertuturnya seperti novel, biasanya ia baca sampai tuntas. Tapi kalau buku-buku, apalagi yang ada hitung-hitungannya, ada rumus-rumus kimianya, atau kimia, fisika, atau matematika, ia mengaku cepat bosan.
Hobinya membaca terpengaruh dari ibunya. Dalam keluarganya, sosok ibu adalah pribadi yang gemar membaca, mulai dari membaca majalah, buku-buku agama, novel, dan lain sebagainya. Kegemaran sang Ibu ini tidak terkendala keterbatasan kemampuan dalam membeli buku. Meski sedikit buku yang dipunyai, namun sang ibu telah mewariskan hobi membacanya kepada Galam.
Pewarisan buku dari ibu itu membawanya ke perpustakaan yang cukup jauh dari rumah untuk ukuran siswa SD. Perpustakaan yang sering ia datangi adalah perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah. Dahulu, di Islamic Center Sumbawa ada perpustakaan kecil dengan luas 4 meter persegi. Menurutnya, perpustakaan itu sebenarnya tidak begitu layak. Tetapi, setelah dipindah ke sebuah stadion, ruang perpustakaan menjadi lebih luas. Jarak dari rumahnya di Kampung Bugis ke perpustakaan tersebut sekitar 1 kilometer dan sering ia tempuh dengan berjalan kaki.
Kaki buku–pinjam istilah Sindhunata–adalah dorongan intrinsik antara ketakjuban dan pencarian ide. Ketakjuban Galam atas buku sesungguhnya bagian tak terpisahkan dari ketakjubannya atas seni rupa. Dan, pengalaman membaca dan melukis itu kita rasakan saat membaca bukunya yang “aneh” berjudul Taman Seni (2004).
Proses edisi awal buku itu semuanya dilakukan dengan swadaya, dengan daulat, dengan otonomi diri yang kuat. Buku tipis yang terbit pertama kali dengan sampul hitam itu sekaligus panduan buat diri Galam sendiri. Yakni, moral seni, pola kerja, maupun biografi pemikiran.
Sampai di sini, Galam ingin mengatakan praktik berseni rupa tidak semata kerja keterampilan menggambar. Seni rupa bukan vokasi. Seniman yang semata skill tanpa ide berakhir pada pengulangan dan stagnan. Memang, seni rupa butuh keterampilan dasar, tapi selanjutnya setelah itu adalah ide dan pencarian atas itu yang tak pernah berakhir. (Bersambung)