40 Tahun Galam Zulkifli Melukis (Ide) Indonesia (4): Sejak Dini Takjub dengan Lukisan Pangeran Diponegoro

“The right man on the right place in the right time,” begitu orang-orang manajemen bisnis merumuskan pengelolaan sumber daya manusia. Ketepatan menempatkan orang tepat di waktu yang tepat bisa memberikan dampak pertumbuhan bagi entitas usaha.

Namun, apakah rumusan itu juga berlaku bagi Galam Zulkifli? Terutama, di Sumbawa, saat ia menapaki dunia dini seninya. Sebuah kawasan yang kampung enggak, kota pun ragu-ragu.

Mari kita mulai dari SDN 5 Sumbawa. Sekolah yang berada di Jalan Hasanuddin ini adalah ruang di mana Galam “memperlihatkan” kepada semesta bakat alamnya menggambar. 

Disebut “bakat alam” karena nyaris tidak ada guru yang mengajarkan Galam bagaimana menggambar. Ia tumbuh seperti oak. Sendiri. Menantang angin tanpa himpunan.

Teman-teman SD-nya yang tahu kemampuan itu juga turut mendapatkan anugerah. Saat ada pelajaran menggambar, terutama wajah pahlawan nasional, Galam adalah dewa penolong.

“Tidak mudah menggambar wajah orang. Sulit sekali. Saya dan teman-teman selalu nitip dibuatkan,” kata Budi “Didi” Karyanto, sahabat Galam sejak kecil hingga saat ini.

Di SDN 5, temannya seperti Iyos Sudarso, Tommy Sofyan Ahmadi,

Mujib Hermani, Saprudin (Sap Besar), maupun Iwan Fajar adalah saksi bagaimana kelihaian Galam menggambar.

“Ketika menonton televisi, yang saya tunggu dan perhatikan adalah penyiarnya. Wajah mereka mudah dilukis karena duduknya seperti robot. Gak seperti penyiar sekarang ini,” kisah Galam.

Saat melukis penyiar televisi itu, Galam duduk di kelas 4 SD. Di usia itu, rumahnya telah dimasuki kotak ajaib bergambar.

Jadi, sejak dini, Galam telah berlatih bagaimana menangkap gambar hidup untuk dilukis. Menangkap yang bergerak untuk dibekap.

Sebab, “Saya takut menggambar guru. Takutnya, mereka marah digambar mukanya,” kenangnya.

Maklum, Galam adalah sasaran kemarahan guru karena semua buku tulisnya isinya dari halaman pertama sampai terakhir melulu gambar. Bahkan, boleh dibilang ia hanya punya dua buku tulis untuk semua pelajaran. Dan, ya, itu tadi, isinya coretan garis.

Terutama, gambar pahlawan. Galam menganggap, gambar pahlawan yang tergantung di dinding kelas itu adalah model yang ia eksploitasi habis-habisan.

Entah kenapa, gambar yang paling menarik perhatiannya adalah Pangeran Diponegoro. 

“Saya tidak sadar kenapa saya tertarik sekali menggambar Diponegoro. Barangkali karena ia karya lukisan. Komposisinya bagus. Menggambar Diponegoro seperti saya diajari oleh gambar itu untuk komposisi,” lanjut Galam.

Seperti dituntun kekuatan gaib, Pangeran Diponegoro menjadi perhatian Galam hingga kreativitasnya berusia 40 tahun.

Pembaca, di tahun 2021, lukisan NFT termahal Galam justru adalah Pangeran Diponegoro seharga 5 Etherium. 

Pengetahuan visual Diponegoro tidak berhenti sekadar lukisan. Galam melangkah lebih gila dengan mengumpulkan puluhan ribu foto situasi “Jalan Diponegoro” di seluruh Indonesia. Dari riset besar itu, ia tahu di kota mana Jl. Diponegoro terpendek dan terpanjang.

Karya bertema Diponegoro yang berjudul “Jalan Sang Ratu Adil” itu diikutkan Galam dalam pameran arsip di Galeri Nasional yang dikurasi oleh penulis sejarah Diponegoro par excellence asal Inggris, Peter Carey.

Dalam soal Diponegoro, kegilaan atau kesurupan Peter Carey terhadap sosok Diponegoro sama dengan Galam Zulkifli di medium yang berbeda.

Rupanya, alam visual Diponegoro itu akarnya telah tertanam sebagai pengetahuan awal ihwal apa yang disebut “lukisan bagus”.

Di SMA 1 yang berada di Jalan Garuda, Galam memilih Jurusan Biologi atau A2. Musababnya karena di rumah, buku-buku terkait kesehatan dan lain-lain tersedia lantaran ayahnya adalah seorang juru suntik.

Tapi, itu tadi, siswa Biologi, tapi nyaris perhatiannya habis ditelan ketakjuban pada gambar.

Sayang, hanya sampai pada SMP guru-guru mengenalnya sebagai si jenius gambar. Saat SMA, keahliannya hanya beredar di laci belakang teman-teman sekelasnya.

Karena itu, Galam terlibat intens secara klandestin menjadi joki bagi teman-temannya untuk menyelesaikan tugas menggambar.

“Saya bisa membikin 10 gambar yang berbeda sekaligus. Tergantung pemesan. Tapi, yang saya bagusin kalau bisa mentraktir di kantin secara layak. Di situ, saya jadi banyak diidolakan siswa cewek. Beberapa menjadi sangat ‘dekat’,” kenang Galam.

Tapi, Galam merasa ia cukup pendiam saat menapaki “gita remaja” di Sumbawa. Ia juga heran, mengapa banyak perempuan belia menaruh perhatian dengannya. 

Rupanya, Galam tak menyadari sudah menabung “karakter” sebagai manusia seniman yang memiliki fanbase.

Salah satu teman ceweknya di SMA 1 yang kerap memakai jasanya menggambar terpilih mewakili sekolah dalam lomba menggambar.

Karena takut ketahuan, sang teman pun memilih mundur dengan bermacam alasan.

Mengetahui hal itu, anggota gengster remaja SexPolice di Kampung Bugis ini hanya terbahak. Rasakan. Tapi, ia seniman yang solider. Kesaksian teman-teman sepermainannya menunjukkan itu.

Di geng kampung, semua kenakalan seperti merokok dan mabuk dihabiskan oleh Galam. Vodka itu seperti air suci yang membakar energi remajanya. “Saya memang nakal, tetapi bukan kriminal,” imbuhnya.

Dana kenakalan itu didapatkannya dari uang saku dari orang tua yang gak terpakai karena makanan di kantin diperoleh dari “jual beli” tugas gambar. (Bersambung)