40 Tahun Galam Zulkifli Melukis (Ide) Indonesia (5): Kolektor Pertama adalah Teman

Saat memasuki “lobby” (baca: ruang tamu) Hotel Mekarsari, para tamu langsung berhadapan dengan tiga lukisan yang tergantung di dinding.

Di hotel itu–lebih tepatnya losmen seperti dalam cerita serial drama tivi yang marak tahun 80-an–dua dari tiga lukisan itu adalah karya Galam Zulkifli.

Bagi mereka yang melihat Galam hari ini, tidak mengira bahwa dua lukisan yang tergantung itu adalah karya Galam. Sebab, dari sisi visual sangat berbeda. Warnanya pun gelap.

Namun, sejarah awal Galam melukis secara “profesional”, tapi bukan pesanan, justru bermula dari dua lukisan yang merupakan seri bertema sama, yakni mesin.

Artinya, yang mengoleksi lukisan awal itu adalah yang mengikuti sepak-terjang sejak mula.

Betul saja, pemilik Hotel Mekarsari adalah teman bermain Galam sejak kecil. Namanya Budi Karyanto atau akrab disapa Didi. Hotel Mekarsari adalah warisan ayahnya, Sutarman, yang seorang pensiunan ABRI. Prajurit asal Blora, Jawa Tengah, itu masuk pertama kali ke Sumbawa setahun setelah ibu kota kembali ke Jakarta.

Boleh dibilang, Didi adalah satu dari sekian teman bermain Galam yang memiliki insting bahwa guratan lukisan Galam punya masa depan yang potensial.

Keduanya tidak berada dalam satu kota saat memilih tujuan belajar perguruan tinggi. Galam memilih Yogya lantaran ada tetangganya yang merekomendasikan bahwa Yogya adalah kota yang tepat belajar melukis. Sementara, Didi memilih Malang. Tepatnya, Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen Keuangan, STIE Kucecwara.

Keduanya pisah jalan seperti itu bukan tanpa alasan. Para orang tua sebetulnya diam-diam memisahkan anggota-anggota kelompok berandal remaja Kampung Bugis ini. Apa kata dunia jika mereka masih berada dalam satu kota.

Bayangkan saja, saat duduk di bangku SMA saja mereka sudah bertato. Ini Sumbawa, lho, ya. Tato adalah simbol yang enggak-enggak.

Geng mereka bernama Sex The Police dengan jargon “Yang Muda, Yang Ria, Yang Kreatif”. Yang bikin mal tato pada masing-masing anggota adalah Galam. Umumnya, dicetak di betis. Jika pakai celana pendek, tato itu pasti kelihatan. Yang menato adalah guru mereka sendiri yang berasal dari Bali.

Tapi, karena Galam takut ketahuan orang tua punya tato, ia menanamnya di paha. Jadi, aman dari mata awas orang tua.

Tatto Sex The Police di betis Ridwan Bafadal

Sepanjang kuliah di Jawa, Didi jarang mudik ke Sumbawa. Jika tiba waktunya libur, ia pergi ke Yogya. Berkumpul bersama gengnya. Termasuk, Galam.

Di Yogya, selain mabuk-mabukan di Crazy House, Didi bisa menyaksikan dari dekat sekali bagaimana Galam berkarya secara habis-habisan. Mabuk dan melukis berjalan beriringan. Tak kenal waktu. Makan seadanya. Minum sebanyaknya. Kamar berantakan seperti kapal pecah. Semua isi kepala seperti ditumpahkan dalam kamar sempit di Asrama Sumbawa yang letaknya tak jauh dari ruas Jalan Malioboro, Yogyakarta.

“Saya itu alergi debu. Sinusitis. Kalau ke Yogya dan berada di kamar Galam, saya minta izin membersihkan. Kasur diangkat. Seprei dicuci. Dalam proses bersih-bersih itulah saya melihat lukisan,” kisah Didi.

Sepenuturan Didi, lukisan-lukisan itu tergeletak sembarangan saja. Ada yang tergulung maupun tergeletak saja di lantai di bawah kasur. 

Ketika pulang ke Malang, Didi minta izin apakah beberapa lukisan bisa ia bawa. Jawaban Galam spontan mengiyakan. Selain mengikat pertemanan, usaha Didi mau “melihat” karyanya adalah sebuah apresiasi. Selain, “Daripada karya itu saya timpa lagi dengan cat lain untuk menghemat kanvas,” jelas Galam.

Apalagi, belakangan Galam tahu lukisan-lukisan itu dirawat. Bukan saja dirawat, tetapi juga dibuatkan bingkai dan digantung di dinding.

Bagi seniman, saat seseorang memperlakukan karya seni secara terhormat–menggantungnya di dinding–adalah apresiasi.

Bukan soal apakah karya itu dibeli atau diberi percuma. Galam punya pengalaman yang terus melekat di belakang kepalanya bahwa sangat sedikit orang di sekitarnya memandang lukisan sebagai karya seni yang pantas dihormati. Bahkan, diberi gratis pun mereka bakal membuangnya karena bukan barang penting.

Karena itu, apa yang dilakukan Didi itu adalah sebuah apresiasi yang murni di mana Galam belum punya nama dan posisi sebagai perupa di mana-mana kecuali manusia yang tetap membakar impi-impinya dengan hal-hal besar.

Didi adalah kolektor awal yang sekaligus temannya. Teman tapi kolektor. Galam sangat ingat proses awal seperti ini. Jika ada yang mengapresiasimu ketika semua orang mengabaikanmu, orang itu layak dicatat dan diberi tempat.

Budayawan Taufik Rahzen dan lukisan Galam Zulkifli di Hotel Mekarsari

Dan, harga lukisan pun meledak yang titik mulanya dari 2005 hingga 2009.

Apa yang dilakukan Didi atas karya Galam membawa berkah. Lukisan yang bagi sebagian orang dianggap sampah tiba-tiba menjadi aset yang bernilai tinggi.

Tak pernah dilupakan Didi bahwa pada suatu hari ia ditelepon sosok yang memperkenalkan diri “Rudi” dari Magelang. Ia mencari serial lukisan yang beberapa Didi koleksi.

Tahulah Didi, lukisan adalah aset mahal. Tak pernah disangkanya bahwa lukisan kecil yang ia rawat, pigura, dan ia selalu bawa ke mana pun ia pindah tempat tinggal, ada yang menawarnya dengan harga yang tak pernah ia bayangkan. Bahkan, oleh orang-orang Sumbawa yang akrab dengan “dongeng seniman lukis Sukidi”.

“Lukisan saya lepas 105 juta,” kata Didi.

Insting dagang Didi terlecut dengan grafik harga lukisan Galam. Betul, bukan cuma Didi di kalangan teman yang mengoleksi karya Galam.

Sebut saja Deden. Setelah berbasa-basi, spik-spik gukguk di rumah Deden, Didi langsung menunjuk lukisan Galam di dinding. Mula-mula menanyakan dijual. Lalu, memasuki tahapan harga. Deden menyebut 35 juta. Didi menekannya sekuat-kuatnya karena yakin Deden masih belum menyadari grafik sesungguhnya karya Galam. Deal, 17 juta. Didi langsung angkut. Harga koleksi Deden itu dilepas Didi 75 juta. Saat bertemu Didi mengenai perkara ini, Deden hanya bisa memaki dan masam karena merasa “dikadali”.

Abud lain lagi. Ia memiliki dua lukisan Galam. Keduanya dibeli Didi 35 juta dan dilepas kembali kepada kolektor di Jawa masing-masing seharga 85 juta dan 40 juta.

Didi yang paham ekonomi karena memang belajar di bidang ini menjadi makin kaya saja. Tidak hanya Deden dan Abud, koleksi Denho dan Yosi dimakelarinya juga.

Total jenderal, Didi bisa mengumpulkan duit cash nyaris setengah miliar yang kemudian bisa ia putar kembali dalam bentuk investasi ke sapi, tanah, rumah, dan macam-macam.

Tapi, bukan soal jumlahnya ini, tetapi Didi adalah saf kecil awal dari teman-teman masa diniahnya yang memberi tempat “mewah” atas karya yang diyakininya sepenuh hati bisa mengubah hidupnya entah kapan. Saat pengabaian didapatkannya di mana-mana, bahkan dalam ruang keluarga, ada sosok-sosok yang percaya dengan apa yang dilakukannya walau itu hanya dalam impi-impi di kepala.

Karena itu, saat Didi ingin membagi harga dari lukisan yang dijualnya, Galam menolak pemberian seribu rupiah pun. Galam berprinsip bahwa setiap mereka yang ia beri karya dianggap sebagai pemilik penuh aset itu.

Itulah cara Galam mengikat pertemanannya. Dengan lukisan dan apresiasi. Selain, karena Didi juga jadi wali/saksi atas pernikahan Galam di Pacitan, Jawa Timur. 

Tapi, Didi bukan seorang teman yang greedy. Ia memang kolekdol, koleksi dan dijual lagi. Tapi, ia juga pengoleksi karena ini karya temannya. Aset berharga. Karena itu, Didi masih menyimpan karya awal Galam di losmen yang ia kelola. Sosok wajah yang dibeliti mesin. 

Didi barangkali tak sadar bahwa kini saat Galam berpameran tunggal di Sumbawa bersamaan dengan MXGP di Sirkuit Samota, Galam tengah menggarap tema yang persis seperti koleksi Didi itu. NFT atau non-fungible token adalah wajah baru mesin dan wajah itu. (Bersambung)