40 Tahun Galam Zulkifli Melukis (Ide) Indonesia (6): Seperti Listrik, Ia Pelintas Sendirian dari Kutub Negatif ke Positif

Galam Zulkifli meninggalkan Sumbawa dan memasuki Yogyakarta saat Malioboro Mall di Jl. Malioboro masih dalam proses penancapan pondasi.

Sebagai manusia yang bertekad memasuki Yogya untuk menjadi seniman, Galam berharap ia mendapatkan banyak. Memang, mula-mula ia fokus memasuki gerbang ISI Yogyakarta sebagai candradimuka seni rupa Indonesia.

Sial, Galam gagal dalam dua kali ujian. Ujian pertama, ia lupa jadwal. Ia berangkat ke lokasi ujian setelah kelompok antreannya baru saja selesai. Ujian kedua, ia tidak mengisi salah satu bagian soal yang tidak ada hubungan dengan gambar.

Dengan energi tersisa belajar secara “disiplin dan teratur dalam sistem universitas”, Galam mendaftar ke IKIP Yogyakarta. Diterima. Orang tua tentu senang karena IKIP adalah kampus kader bagi calon guru. Ya, paling tidak, Galam bisa menjadi guru seni di sekolah. Kelak.

Namun, semuanya berantakan saat semester empat ketika Galam merasakan bahwa jiwanya tidak cocok dengan sistem persekolahan. Ada suara serigala dalam jiwanya yang melolongkan pembebasan diri dari ikatan himpunan.

Galam menimbang bahwa ia lebih bahagia di jalanan ketimbang di kampus. Bahwa, apa yang didapatkannya di kampus lebih sedikit ketimbang di Malioboro.

Pilihan pun diputuskan. Galam men-DO-kan diri. Ingat, ia keluar dari kampus bukan berarti berhenti belajar. Ia hanya tidak cocok untuk didisiplinkan oleh sistem dalam kampus. Ia ingin menciptakan sistem dalam dirinya sendiri.

“Walau saya tidak kuliah, diktat mata kuliah di ISI tetap saya ikuti. Mata kuliah yang saya rasa menjadi kuda-kuda dasar dalam melukis. Saya yang menambahkannya. Karena saya tidak mengikuti matkul yang tidak ada hubungannya dengan seni rupa seperti Pancasila, saya tambahkan sendiri beban tugas. Contoh, untuk lulus dari mata kuliah sketsa, mahasiswa perlu menyetorkan 500, saya kerjakan dua kali lipatnya,” cerita Galam.

Bila saat di Sumbawa ia sudah terlatih melukis wajah yang realis, di Yogya, Galam lebih gigih lagi. Ia sadar, ia datang dari kawasan yang tidak akrab dengan seni rupa. Ia lebih gigih berkali lipat untuk mendapatkan posisi.

Terkendala tata komunikasi dengan orang lain, Galam mengambil sikap belajar “yang aneh”. Ia belajar dari karya-karya yang kerap disebut terbaik dan dari maestro. Caranya, ia memaksakan diri untuk melihat atau “membaca” karya-karya itu sebanyak-banyaknya di perpustakaan. Karya-karya itu menghuni katalog-katalog yang dicetak dengan kertas berwarna dan luks.

Galam memaksimalkan anugerah penglihatannya untuk melihat warna dan komposisi. Dengan mata terus berkontak intens dengan “karya-karya bagus”, tersistem dalam kepala untuk mencoba gaya ini gaya itu, warna ini warna itu. Bukan hanya memperkaya (referensi), tetapi cara itu adalah siasat Galam untuk menemukan cara dan gayanya sendiri yang khas.

Jalan otodidak tanpa guru langsung seperti ini tentu saja tidak mudah.

Betul, keahliannya menggambar bisa mendapatkan uang, tetapi tidak dengan apresiasi dalam bentuk wacana.

“Siapa, lu” adalah energi negatif yang membuat Galam makin terpuruk dan berusaha menabung dendam itu dalam karya.

Pada medio 1990-an, Galam termasuk pemuda yang punya banyak uang karena proyek melukis “Niagara” yang proyeknya dipimpin seniman Yayat Surya asal Cirebon. Sebulan ia bisa mengantongi uang 3 jutaan yang di saat yang sama mahasiswa Sumbawa yang tinggal di asrama mendapatkan kiriman dari orang tua 200 ribu rupiah.

“Harga motor di tahun itu sekitar 3 jutaan. Dan, itu sudah bagus sekali,” kata Galam.

Tapi, itu tadi, ia mudah mendapatkan uang, mudah juga hilangnya. Apalagi jika teman-teman masa kecilnya yang kuliah di Jawa menggelar “reuni” di Yogyakarta. Bisa beberapa hari ia tidak bertemu dengan air mineral, melainkan “air bening” yang panas.

Terkadang, saat uang sudah ludes, baru ia ingat bahwa ia tidak menyisakannya untuk membeli peralatan melukis seperti cat dan kanvas. Karena itu, sistem finansial ia ubah: dahulukan dulu beli alat produksi, sisanya dihamburkan sesuka-sukanya.

“Saya tidak belanja banyak baju. Habis untuk traktir teman-teman makan enak, minum enak. Baju saya biasanya dua saya pakai. Itu saja yang saya pakai sekuat baju itu bisa bertahan. Kalau sudah kolaps, saya buang. Beli lagi kaos baru yang kadang seminggu sayan pakai terus dan tak pernah diganti. Di kamar, saat melukis, saya lebih banyak buka baju. Jadi, buat apa juga,” lanjutnya.

Nah, baju-baju rongsokan dan cawat segala bangsa itu kemudian pada suatu hari dikumpulkan Galam dan ia baurkan di kanvas.

Jadilah karya raksasa pertamanya yang ia beri judul “Rekayasa Mesin”. Lukisan ini terbagi dalam 33 panel dan dipamerkan bersama karya Yayat Surya di Bentara Budaya Yogya.

Lihat, Galam sangat terpesona dengan dunia mesin, dengan dunia komputasi. Atau, dalam konteks saat ini adalah kecerdasan buatan, algoritma mesin, dan jaringan blok komputer (blockchain). Kepada mesin-mesin itu segala yang pribadi ia serahkan. Karena cawat adalah sesuatu yang sifatnya pribadi, ia pun turut sertakan dalam rekayasa mesin.

Mungkin, dari segi penampakan, ia lebih tampak sebagai berandal, tapi tidak dengan berpikir dan bekerja. Mahasiswa yang tinggal di asrama Sumbawa tentu tak lupa nyaris saja Galam baku hantam dengan preman-preman kampung karena salah paham. Galam sudah berwudhu karena posisinya terjepit: ia yang mati atau kampung ia bakar.

Perihal apa musababnya, lain kali diceritakan.

Keranjingan melukis dan berpikir hal-hal yang besar itulah ia berjumpa dengan Taufik Rahzen. Jika proses kreatif diniah di Sumbawa Galam berjumpa dengan Ibu Guru Rahmani, proses kreatif tahap usia matang berjumpa dengan pemikir dan pemimpi kebudayaan yang tak kalah ilusifnya dengan Galam, yakni Taufik Rahzen.

Salah jika ada yang mempersepsikan bahwa Galam menggeluti tema-tema besar yang kemudian dituangkan dalam karya karena Taufik Rahzen. Yang terjadi adalah keduanya berdialog. Terkadang saling melengkapi. Namun, terkadang pula saling menyembunyikan.

Namun, yang tak dapat dimungkiri adalah bahwa Taufik Rahzen adalah saksi yang tak saja dekat, tetapi juga melihat secara jernih bagaimana Galam mengatasi segala peremehan yang diubahnya menjadi kekuatannya. Galam yang menjadi sosok petarung dalam kesendirian mengatasi asumsi negatif dari dunia seni rupa yang ia cintai hingga ke tulang sumsumnya.

Kecintaan terhadap dunia mesinlah yang kemudian menyadarkan Galam bahwa energi negatif tak boleh dilawan dan jangan dibiarkan menghancurkan segala yang sudah dibangun di kepala.

Caranya, jadilah seperti arus listrik, yang bergerak dari arus negatif (persepsi publik) ke arus positif (berkarya hingga kemampuan teknis maksimal). Gunakan semua yang negatif pelecut arus positif. (Bersambung)