Galam Zulkifli pada akhirnya meninggalkan Bali. Ia kembali ke Yogyakarta dengan membawa uang banyak dan sekaligus “amarah”.
Ini perpisahan keduanya dengan kota di luar Yogya. Sebelumnya, Jakarta, saat Taufik Rahzen membawanya untuk melihat satu demi satu seni pertunjukan di mana di sana ia bersua kembali dengan teman masa kecilnya di Sumbawa, Mujib Hermani.
Ia tak betah dan memilih “pulang” ke Yogya. Selain tak memiliki minat apa pun atas pertunjukan, Taufik Rahzen saat itu sedang sibuk mempersiapkan diri menjadi relawan anti-Perang Teluk dengan berangkat dengan one way ticket.
Di Bali, Galam mengikuti Taufik Rahzen. Semacam pertaruhan dan “uji bakat” bagaimana menghadapi galeri. Saat itu, tahun 1992, seorang pencinta seni yang sedang membangun galeri membutuhkan seniman pembuat sketsa.
Dengan niat belajar melukis dengan para seniman Bali, Galam meninggalkan “tambang uang” di Yogyakarta.
Dikatakan “tambang uang” karena ia mengerjakan “proyek besar”. Ia diminta Yayat Surya lewat seniman Lombok bernama Dale untuk bergabung dalam proyek menggambar dengan obyek sungai Niagara. Di Malioboro, Yayat punya stand tak jauh dari Gedung DPRD, sementara Galam tak jauh dari Perpustakaan Malioboro.
“Saya menyanggupi membuat yang tersulit dari proyek Niagara itu. Membuat master gambar dengan gaya pointilis,” akunya dengan gembira. Sebab, menggambar dengan pena dan pensil adalah gayanya sejak kecil di Sumbawa.
Tak dinyana, Russel Warwick dan Dan Skala dari dari Kanada yang memesan karya menyenanginya. Galam hanya menggambar master, sementara proses mewarnai diserahkan kepada yang lain.
Saat ditanya, berapa lama membuat gambar Niagara dengan teknik pointilis, Galam menjawab dengan sangat meyakinkan: 4 hari.
Artinya, dalam sebulan Galam menyelesaikan master gambar lebih kurang enam. Artinya lagi, ia mendapatkan bayaran sebulan seribu persen ketimbang kiriman nominal wesel normal dari teman-temannya di asrama.
“Di masa itu, saya merasa sangat kaya. Sekaligus, sangat royal,” ujarnya.
Sepulang dari Teluk, Taufik Rahzen menemui lagi Galam di Asrama Sumbawa. Ia menawarkan kerja di Bali.
Tak bisa ditolak, Galam pun ikut hijrah. Dalam benaknya, di Bali ia bisa belajar banyak dengan seniman-seniman yang sudah jadi.
Galam via Taufik Rahzen ditawarkan pemilik galeri AW untuk membuat sketsa. Berhari-hari ia ngumpet dalam kamar untuk membuat sketsa. Sial, sketsa hitam-putihnya enggak direken pemilik galeri.
Betapa malunya Taufik Rahzen. Dalam kendaraan yang ditumpanginya dengan Galam, keduanya hanya bisa terdiam. Senyap. Menahankan rasa malu yang teramat sangat.
Galam memang direkrut oleh AW untuk bekerja dengan gaji luar biasa besar. Enam bulan ia bekerja layaknya karyawan. Membuat sesuatu yang jauh dari bayangan awalnya menjadi seniman.
Hingga pada suatu waktu, ia menginterupsi dirinya bahwa jika hanya kerja menjadi tukang gambar untuk orang lain, di Yogya pun ia bisa lakukan. Mengapa harus di Bali.
Suatu siang, Galam memutuskan putar badan ke Yogyakarta. Bagi Galam, Bali bukan dunianya. Entahlah, ia tak tahu. Ataukah ada kekuatan sejarah yang gaib yang membuatnya tak menaruh hati dan rasa di Bali. Ia tak mendapatkan apa yang disebutnya ber-“seni lukis” di sana.
Yogya menariknya kembali, memulangkannya ke halaman kedua kehidupannya setelah Sumbawa. Saat pulang, Taufik Rahzen menitipkannya sebuah nama, sebaris alamat, dan sejumput memo untuk Galam belajar seni desain.
Galam memang mendatangi nama dan alamat itu. Nalurinya benar, ia tertolak oleh sambutan yang tak hangat. Terutama saat ditanyakan bisa mengoperasikan komputer.
Jangankan komputer, tetikusnya pun ia tak pernah sentuh.
Ingat, selain itu, Galam memiliki problem berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki kuasa lebih di atasnya dan ia tak punya pamor apa pun.
“Saya meninggalkan Sumbawa karena mau jadi pelukis, bukan desainer,” demikian inti suratnya kepada Taufik Rahzen yang berdomisili di Jl. Hayam Wuruk, Denpasar.
Namun, ia tertantang untuk belajar komputer. Ia menjajal rental sewa secara mandiri untuk mengenal seperti apa komputer itu, seperti apa program Ms Dos itu.
Sebagai pemburu pengetahuan yang lebih nyaman sendiri, Galam kembali ke dunia awalnya di Malioboro. Menjadi seniman jalanan. Apa saja ia lakukan untuk bertahan hidup dan tak putus-putus melukis.
Galam bisa punya uang sangat banyak di suatu waktu, bisa pula ia habis sehabis-habisnya. Seperti dunia seniman: bisa kaya dengan sangat pada suatu waktu, sementara di waktu lain bisa melarat dengan sangat pula.
Di masa itulah, ia menyuntuki lagi dunia seni lukis. Di asrama Sumbawa, nyaris semua gaya lukis, mulai dari kubis hingga abstrak, disapukannya di atas kanvas. Kamar asrama yang sempit disulapnya menjadi studio.
Ia sangat tertantang ucapan salah satu seniman bahwa untuk mendapatkan “KTP Seniman” di Yogya, tembusilah pameran seni rupa di gelaran tahunan FKY.
Jika dalam situasi tertantang, sekali lagi, Galam bekerja dalam diam dan habis-habisan berkarya sampai batas kemampuannya.
Galam memang mencobanya. Ia terbakar rasa penasaran. FKY ke-V karyanya ditolak. Setahun kemudian ia coba lagi dan ditolak lagi. Barulah FKY ke-VIII tahun 1996 karyanya bergaya abstrak diterima di mana sebelumnya, ia juga menjajal berpameran bersama di Tanjung Priok dalam acara “Arung Samudra” untuk menyambut Tahun Emas Indonesia.
Untuk bisa ke Jakarta, ia dan teman-temannya yang sedang memburu nama di belantara raya dunia seni rupa patungan menyewa truk pengangkut karya. Karena tak punya dana transportasi, ia turut serta dalam bak truk. Bayangkan, sepanjang 500 kilometer menuju ibu kota, Galam seperti sapi sembelihan yang tak pernah bisa tidur karena terus terlempar ke sana kemari mengikuti kontur Jalan Daendels.
Saat itulah Galam tahu bahwa menjadi pelukis mesti memiliki manajemen keuangan. Yang ia sebut manajemen adalah dahulukan beli peralatan lukis seperti cat, kanvas, kuas, baru untuk lain-lain. Sebab, dunia seni rupa itu mahal. Bahannya mahal, pamerannya mahal.
Dari satu pameran ke pameran lain, Galam pun menemukan “gayanya”. Kesenangannya kepada teknologi kemudian membawanya kepada obyek-obyek mesin.
Seri lukisan “Rekayasa Mesin” itu dicobainya berkali-kali pada pameran kelompok Namnama yang diinsiasi Yayat Surya. Kelak penghuni kelompok ini menjadi seniman-seniman kontemporer dengan harga selangit. Selain Galam, nama lain yang berada di dalam Namnama adalah Jumaldi Alfi, Dipo Andy, Yunizar, Yayat Surya,dan Tejo Purnomo.
Tatkala di rumah Yayat Surya di Kampung Patehan, Keraton, Yogyakarta itulah Galam kembali berjumpa dengan Taufik Rahzen. Patehan No. 3 menjadi laboratorium ide di mana Taufik Rahzen menjadi “pusat”, sementara yang lain-lain mereaksinya dengan berbagai tanggapan dan cakapan. Patehan seperti inkubasi ide yang kemudian masing-masing seniman meresponsnya dengan karya.
Pada medio 1999, saat hendak pulang lewat Stasiun Tugu, Yogyakarta, Taufik Rahzen merogoh saku dan memberi nyaris semua uang yang bertapa di dalamnya untuk membuat karya. Taufik Rahzen menyumbang garis besar ide berupa wajah tokoh ikonik Amerika yang dipahat di permukaan granit di Gunung Rushmore, tetapi jika bisa dikontekstualisasikan dengan reformasi di Indonesia
Galam menyambar ide itu. Yang tak pernah diduga oleh Taufik Rahzen adalah semua tokoh dalam “Gunung Rushmore” ala Galam Zulkifli botak semuanya. Soeharto yang botak, Habibie yang botak, Wiranto yang botak, Sri Sultan HB X yang botak, Megawati Soekarnoputri yang botak, Abdurrahman Wahid yang botak, dan Amien Rais yang botak.
Jadinya, “tokoh-tokoh ikonik” reformasi itu tampak “lucu”. Dan, mereka tidak berada di permukaan granit, tetapi di atas sulur mesin yang saling membelit. Galam seperti menujum bahwa kelak ikon-ikon itu akan berhadapan dengan dunia rekayasa mesin (algoritma digital) dengan dua pilihan hitam-putih: mereka tetap menjadi ikon ataukah badut di hadapan simulakra mesin.
Karya yang berjudul “The Day After” yang dilukis di atas kanvas dengan pensil dengan ukuran 1,45×2 meter itu, tak diduga masuk dalam lima besar Philip Morris Award. Artinya, juara.
Dari sini, Galam Zulkifli kian menggebu kepercayaan dirinya. Bukan hanya “KTP Seniman” ia sudah kantongi di celana lepis bututnya, tapi juga apresiasi publik. Bahwa, karyanya juara nasional.
Tapi, publik elite seni rupa kasak-kusuk, siapa sosok Galam Zulkifli ini. Di luar dirinya, Galam seperti ada dan tiada dalam peta besar. Apalagi, ia tidak datang dari lingkungan sekolah agung dan legendaris seperti Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.
Karyanya ada, hadir, tetapi sosoknya memiuh ke belakang layar dalam jarak sangat jauh. Blur.
Walau blur, ia terbakar lagi oleh penasaran bagaimana seni membuat galeri. (Bersambung)