40 Tahun Galam Zulkifli Melukis (Ide) Indonesia (8): Bersama Dipo Andy, Melayari Baratsiwa, Mempertimbangkan Warna “40”

Untuk pertama kalinya Galam Zulkifli berpameran bersama dengan Dipo Andy. Pameran bertitel Baratsiwa yang diadakan sepanjang Juli 2022 di IniSeum Art Space Yogyakarta ini nyaris tak direncanakan.

Untuk mengisi dinding IniSeum yang kosong karena karya serial Indonesia Idea dan Nusa Tenggara Face dipamerkan di Nusa Tenggara (Sumbawa), Galam membongkar gudang.

Dan, eureka, berjumpa dengan lima panel lukisan tak bernama (untitled). Tak bernama karena setelah dikerjakan langsung masuk kotak dan nyaris tak lagi diingat, tak lagi diungkit.

Bayangkan, sepuluh tahun, satu dekade. Sebuah kolaborasi yang hanya berhenti berkolaborasi, tapi tak diniatkan untuk diperlihatkan kepada publik. Seperti mengguratkan persahabatan yang dalam. Di dalam. Persahabatan erat dalam diam yang tak perlu dikoarkan kepada khalayak.

Taufik Rahzen, setelah berjalan dari Nusa Tenggara lewat perjalanan laut (kapal Oasis (Lembar/Lombok~Perak/Surabaya) dan dilanjutkan dengan bus travel (Surabaya-Yogya), cukup kaget dengan lima panel lukisan yang tergantung di dinding galeri tanpa nama.

Ia bereaksi cepat. Bukan saja karena dua perupa ini ia ikuti perkembangannya sedari awal sampai matang hingga hari ini, tetapi juga karena ari-ari keduanya berasal dan tertanam di Nusa Tenggara. Galam Zulkifli dari Sumbawa Besar, Dipo Andy dari Seteluk di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB).

Ia bereaksi cepat lantaran didorong oleh pengalaman “barusan” yang datang dari Nusa Tenggara untuk mengingat kembali masa-masa bermain di usia dini.

Dan, “nama karya ini Baratsiwa,” kata Rahzen. Ia mengatakannya kepada Galam Zulkifli. Galam mengabarkannya kepada Dipo. Dan, hap, lalu jadilah pameran bertajuk “Baratsiwa, Gerimis Ingatan dari Angin Nusa Tenggara”. Sebuah tajuk melankolia dan mengandung sedikit bawang.

Termasuk, pameran kolaboratif ini merupakan pernyataan Galam dan Dipo bahwa mereka terikat oleh sebuah kesamaan passion. Tak semata sama-sama berasal dari Nusa Tenggara. Mereka sama-sama melayari bagaimana kerasnya dunia seni rupa (di) Indonesia.

Sebelum kolaborasi artistik pertama ini terselenggara, samar-samar Galam mengingat perjumpaannya dengan Dipo Andy pertama kali terjadi di asrama putra Sumbawa di Kampung Suryatmajan, Yogyakarya. 

“Dipo datang saat saya sedang menyelesaikan lukisan Monalisa dengan memakai gaya pointilis yang saya selesaikan selama hampir setahun. Agus Jaya bilang ia punya keluarga yang kuliah di ISI,” ingat Galam.

Itu tahun saat Dipo memasuki Institut Seni Indonesia (ISI) sehabis lulus dari Madrasah Mu’allimin Yogyakarta. Sementara, Galam sudah menyandang status drop out dari IKIP Yogyakarta.

“Saat di Mu’allimin saya sudah pernah ke asrama Sumbawa dekat Malioboro itu. Karena, saya masih punya ikatan keluarga dengan Agus Jaya,” kata Dipo. Agus Jaya adalah seniman yang juga berasal dari Sumbawa, tinggal di asrama. Seterusnya, ia tak jauh dari asrama karena istrinya adalah gadis setempat di Kampung Suryatmajan.

Perjumpaan Galam dan Dipo berikutnya terjadi di Bugisan. Galam lupa tahun tepatnya. Mungkin antara 1996 dan 1997. Yang ia ingat seorang yang mengorder gambar kepadanya membayar dengan memberikan dana kontrakan di daerah Bugisan, di selatan SMSR Yogya.

Kebetulan, kontrakan itu hanya sepanjang lapangan sepak bola jauhnya dari kontrakan Dipo Andy di Tegal Kenongo.

Di kontrakan Tegal Kenongo itulah Galam kemudian kerap bertemu dengan teman-teman Dipo yang lain, seperti Rain Rosidi, Didik Nurhadi, Eddy Susanto, dan lain-lain.

“Jika Galam datang ke kontrakan Dipo, kita-kita ini seperti nggak dianggap. Datang langsung berbicara dalam bahasa Sumbawa. Kayak dunia Tegal Kenongo itu cuma milik mereka berdua. Apalagi, perawakan Galam lebih tepat seperti gentho. Bukan seniman. Badan besar. Tatoan. Rambut kribo kek Achmad Albar, vokalis God Bless favorit pelukis Didik Nurhadi,” saksi Eddy Susanto.

Ketika Yayat Surya menginisiasi pameran bersama yang kelak bernama Namnama, Galam tak berpikir panjang lagi untuk mengajak Dipo Andy untuk turut serta di dalamnya. 

Formasi yang sudah terbentuk adalah Yayat Surya mengajak Jumaldi Alfi, Yunizar, Alpha Tejo Purnomo. Juga, Galam Zulkifli yang memang tinggal di kamar paviliun di sisi kiri rumah kontrakan Yayat Surya di Jalan Patehan Wetan No. 3, Alun-Alun Selatan, Keraton, Yogyakarta.

Jadi, lumayan lama Galam tinggal dan menjadi warga nDalem Sinuwun, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Walau, berstatus ngontrak.

Tentu saja, perjumpaan yang paling intensif Galam dan Dipo terjadi saat keduanya menjadi dua dari tujuh nama perupa yang tercatat sebagai pendiri kelompok seni Gelaran Budaya. 

Gelaran Budaya didirikan di Patehan Wetan No. 3 setelah tujuh perupa intensif berdiskusi dan curah gagasan dengan Taufik Rahzen. Lantaran ruang percakapan berada dalam pagar kasultanan, nama kelompok pun memakai frase yang tak jauh dari dunia istana: pagelaran, gelaran (budaya). Slogannya: ruang budaya, waktu publik.

Dana yang dipakai untuk mengontrak rumah yang kelak menjadi “galeri” Gelaran Budaya di Menukan adalah “patungan” hadiah setelah Galam Zulkifli dan Dipo Andy secara bersamaan menang dalam sayembara yang sama: Philip Morris Art Award.

Dalam sejumlah perjumpaan itu, mulai dari asrama Sumbawa hingga Gelaran Budaya, tak pernah sekalipun Galam dan Dipo berkolaborasi dalam satu ruang budaya, ruang pameran. Kalau berpameran bersama dengan lain-lain nama cukup sering. Tapi, berpameran berdua, belum pernah. Hingga Gelaran Budaya “bubar dengan sendirinya” pada 2004, kolaborasi itu tak pernah ada. Dipikirkan pun tidak.

Keduanya, Galam dan Dipo, sibuk berkarya masing-masing. Pada 2006, Galam berpameran tunggal di Jakarta bertajuk “Her-Story”. Ia menampilkan lukisan pensil di atas kanvas dengan menampilkan wajah-wajah perempuan. Lukisan hitam-putih yang di beberapa bagian disapu warna merah itu, Galam menampilkan karakter wajah perempuan dan narasi kekuasaan yang ada di belakangnya.

Di tahun yang sama, Dipo Andy sudah mulai mengambil ancang-ancang mula melukis wajah dunia pop dengan menggunakan genom sebagai metode bekerja.

Dipo Andy meyakini, warna wajah di atas kanvas memiliki genetikanya sendiri. Dipo rupanya menyambut arus besar di mana dunia saintis sedang gandrung dengan wacana genetika. Apalagi, buku Genom: Kisah Spesies Manusia Dalam 23 Bab karya Matt Ridley mulai memasuki toko buku Indonesia.

Meminjam cara kerja para saintis, Dipo memindahkannya dalam cara kerja perupa saat berhadapan dengan warna. Soal warna, Dipo menghabiskan nyaris waktu kreatifnya untuk mengkaji dan bereksperimen. 

Mula-mula ia menyuntuki warna lewat kuliah nirmana. Pada nirmana—juga bahan—mata dan tangan dilatih sedemikian rupa hingga mencapai tahap craftsmanship. Terlatih. Terampil.

Pada tahapan selanjutnya, ia terpukau dengan warna pop-art Andy Warhol maupun ekspresi warna dari Willem de Kooning.

Dipo kadang berpikir bahwa warna itu punya karakter, tapi bagaimana merumuskannya. Apakah sapuan warna di atas kanvas itu sekadar bisikan hati, pendaran rasa semata, ataukah punya rasionalitas. Samar.

“Dipo Andy jenius dalam mengomposisi warna,” aku Taufik Rahzen.

Sampailah ia berjumpa dengan wacana genom. Sungguh, Dipo terpukau dengan kode-kode dalam genom itu. Warna itu rasional. Warna itu ilmu. Warna itu pengetahuan. 

Maka, ia pun mengadopsinya. Jadilah di atas kanvas, di atas wajah tokoh populer, tampak garis-garis warna barkode dan sederet angka.

Angka itu adalah angka genetika warna yang disusun sedemikian rupa oleh Dipo untuk menunjukkan karakter tokoh. Barkode itu diciptakan sendiri oleh Dipo.

“Untuk bisa menentukan garis dan warna dominan, saya perlu melakukan riset biografis sang tokoh, mulai dari yang paling dasar seperti gender, ras dan benua asal, hingga tafsir atas karakter,” jelas Dipo.

Selain itu, Dipo dalam menyusun komposisi warna dan garis dipandu teoretisi warna terkemuka asal Jerman bernama Joseph Albers. Artinya, bukan ngawur-ngawuran. Asal-asalan.

Seperti halnya Dipo, Galam juga demikian. Dan, sungguh, Galam terpesona dengan “Genom Project Series” Dipo yang ia mulai saat masih mengontrak di kompleks perumahan mewah (mepet sawah) di Druwo, sisi timur kampus ISI Yogyakarta.

Galam pun mengajukan gagasan kolaborasi. Kolaborasi itu melewati tiga alur: lukisan awal dikerjakan Galam dan direspons oleh Dipo Andy. Lalu, lukisan itu kembali digarap Galam atau menjadi alur final.

Mari melihat salah satu dari lima panel lukisan yang menjadi titik temu kolaborasi gaya melukis Galam dan Dipo Andy. Secara kebetulan, keduanya menjadikan panel ini sebagai contoh bagaimana tafsir warna atas wajah sang tokoh bekerja secara maksimum.

Panel yang dimaksud adalah karya wajah Mata Hari. Dalam komposisi lima panel, jika disejajarkan dalam satu bidang dinding, lukisan Mata Hari ini berada tepat di tengah.

Galam melukis wajah Mata Hari berbeda dengan empat tokoh yang lain. Wajah empat tokoh lain berlapis. Atau, dalam bahasa Galam, tokoh lain saling berhimpitan dengan tokoh lain yang diperankan via sinema. Si pemeran dan tokoh yang diperankannya hanya dibatasi oleh tirai cahaya.

Elizabeth Taylor yang memerankan Cleopatra dalam Cleopatra (1963). Cut Nyak Dien oleh Christina Hakim dalam Tjoet Nja’ Dhien (1988). Aung San Suu Kyi diperankan Michelle Yeoh dalam The Lady (2011). Meryl Streep memerankan Margareth Thatcher dalam The Iron Lady (2011).

Khusus tokoh Mata Hari, jika lampu dimatikan, yang tampak adalah gelap total. Tak ada apa pun dalam gelap. Gerhana. Lain dengan lukisan Christina Hakim yang jika lampu dimatikan tampak wajah Cut Nyak Dhien.

Mata Hari, kata Galam, bagian dari emansipasi di mana tubuhnya ia majukan ke publik. Dunia lelaki mengerangkainya ke dalam warna pornografi. Di tubuh militer di banyak negara, termasuk Hindia Belanda, ia dianggap mata-mata. Mata Hari sempurna sebagai perempuan awal yang sadar bahwa ia berada dalam pusat gravitasi industri benda.

Bahkan, sampai dieksekusi mati pun oleh militer Prancis, tubuhnya tak punya alamat kuburan. Nasib Mata Hari sungguh pekat.

Karakter seperti inilah yang menggiring Galam untuk melukis Mata Hari dengan metode terbalik: pensil putih di atas kanvas hitam. Putih di atas hitam. 

Yang normal adalah kanvas putih kemudian diwarnai apa pun, termasuk hitam. Esensi putih sejatinya adalah bayang.

Khusus Mata Hari, dari hasil pengamatan yang serius dan ketat, Galam melukis di atas kanvas hitam. Hitam itu adalah bayang yang melingkupi takdirnya.

“Garis putih adalah biografi Mata Hari. Garis putih itu nasibnya dengan latar jelaga dunia. Saat lampu mati, ia berada dalam hitam sepenuhnya,” jelas Galam.

Dipo Andy, ketika berhadapan dengan lukisan Mata Hari ini berpikir keras. Ia mesti menghormati warna dasar dan tafsiran Galam atas sosok Mata Hari.

Hasilnya, ia membuang warna kuning, misalnya, agar komposisi dasar Mata Hari tetap solid. Ia juga mengurangi dan bahkan membuang garis kecil yang terlalu detail yang ada di barkode. Mengambil garis utama saja agar karakter lukisan realis dengan metode “CMYK” Galam tetap kuat dan menunjukkan karakternya.

“Hitam putih itu warna karakter Galam. Ia punya pengetahuan tentang warna lain. Tapi, setiap seniman memiliki warnanya. Galam itu punya warna utama dan dia banget, ya, hitam putih, warna pensil itu. Gak aneh-aneh. Gak nyentrik. Itu warna yang dibawanya sejak kecil. Warna pensil,” tutur Dipo.

Maka, garis barkode  dan kode genom dari Mata Hari adalah ini: 

0 55 40 09704921 002 12

0 ~ gender (perempuan)

55 ~ ras kaukasoid, Eropa

40 ~ hitam putih, warna dominan lukisan

09704921 ~ misteri dan powerfull

002 ~ nomor urut karya

12 ~ tarikh lukisan dibuat

Demikianlah, Baratsiwa bukan saja gerimis kenangan dan melankolia, tapi juga perjumpaan pikiran dan metode melukis. Saling menghormati dalam gaya dan menguatkan dalam warna adalah sukma kolaborasi, jiwa dari Baratsiwa.

Satu dekade dalam gudang adalah nasib persahabatan Galam dan Dipo. Intrinsik. Lebih ekspresif di dalam ketimbang di luar. Seri Genom Her-Story adalah Baratsiwa. Adalah, ejawantah persahabatan di gelanggang kreatif. Dalam kode warna “40”. Itu. ****