Di Antara Pegangsaan Timur dan Rengasdengklok

Tak ada satu pun siswa yang tak mengenal frase ini: “Rengasdengklok”. Bahwa, ia adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Karawang, tidak terlalu penting. 

Rengasdengklok bagian tak terpisahkan dari rantai peristiwa lahirnya suatu negara baru. Bahkan, letak rantainya dekat sekali. Hanya “sehari” jaraknya dari Pegangsaan Timur di Jakarta Pusat di mana ari-ari Indonesia sebagai negara ditanam.

Tapi, Rengasdengklok tak ada dalam bayangan manusia serasional seperti Hatta bisa hadir dan “penting” dalam kertas skenario kelahiran Indonesia. Berbulan-bulan berdebat di sidang-sidang BPUPKI merupakan rantai rasional. Indonesia dibayangkan lahir dari ide dan pikiran yang diperdebatkan.

Semua itu buyar saat “Rengasdengklok” ikut campur.

Di sini, Rengasdengklok bukan sekadar tempat, melainkan interupsi separuh mistik dan separuh dusta di tengah kasak-kusuk informasi takluknya Jepang atas Sekutu. 

Rengasdengklok, misalnya, tidak bakal ada dalam narasi Proklamasi seandainya saja Sukarno dan Hatta tidak bisa dibobol oleh argumen “revolusi bodong” dari mahasiswa dan pemuda yang berkumpul di Prapatan 10 dan Menteng 31.

Mari. Rengasdengklok itu lahir dari drama tanggal 15 Agustus sore di Laboratorium Bakteriologi yang tak jauh dari kediaman Sukarno. Pegangsaan Timur. Sukarno di 56, mahasiswa berapat di nomor 15.

Rapat yang dipimpin Chaerul Saleh itu menegaskan satu hal: proklamasi kemerdekaan tidak boleh ada campur tangan Jepang. Dan, dilaksanakan hari itu juga: 15 Agustus.

Sementara, PPKI dianggap sebagai representasi Jepang. Di sana, sialnya, berkumpul “para pemimpin” yang punya nama dan dikenal rakyat.

Jalan miring pun ditempuh: kita butuh ketua dan wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI, Sukarno dan Hatta, tapi buang lembaganya. Keduanya harus diinsyafkan dan bersihkan dari semua unsur PPKI.

Percobaan pertama menginsyafkan Sukarno dan Hatta gagal total. Wikana, misalnya, pulang dengan kesal karena dimaki-maki dengan Sukarno. 

Kata Wikana, sebagaimana terkutip di Memoir Hatta, “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.”

Sukarno yang tak mau kalah, balik menggertak, “Ini leherku, seret aku ke pojok sana. Sudahi nyawaku. Malam ini. gak usah nunggu besok”.

Wikana gemetar dan buru-buru memperbaiki posisi argumentasinya. “Maksud kami bukan membunuh Bung. Kami cuman mau ngingetin, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda.”

Begitu pula utusan yang melobi Hatta. Cekcok mulut hebat terjadi antara Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto. Keduanya, setengah putus asa pulang sambil melempar kata terakhir, “Di saat revolusi, kami rupanya tidak bisa membawa Bung serta. Bung tidak revolusioner. Bung Hatta gak bisa diharapkan untuk revolusi.”

Nyaris saja Rengasdengklok tak pernah ada dalam sejarah, jika tidak ada Sukarni yang melakukan percobaan terakhir jelang dini hari. Sebelum berangkat menginsyafkan Sukarno dan Hatta, tampak Sukarni merogoh saku dan memberi semacam “jimat” kepada Djohar Noor. Sebuah batu pualam bulat. “Ilmu isyarat,” kata Sukarni.

Berkat “ilmu isyarat” itulah, Sukarni menembus pertahanan Sukarno-Hatta dan mau mengikuti Sukarni dan serombongan tentara PETA ke arah timur, ke tempat yang sudah disiapkan: Rengasdengklok.

Tahu apa yang dikatakan Sukarni kepada Sukarno?

“Karena Bung tidak mau memimpin kami, kami sendiri yang akan mengambil tindakan. Siang nanti, jam 12, lima belas ribu rakyat memasuki dan menyerbu kota. Karena itu, Bung kami amankan dan bawa keluar kota.” 

Yang bikin Sukarno jerih adalah membayangkan angka “15 ribu” hasil hayalan Sukarni. Itu buwesar sekali. Mungkin, karena kelelahan, Sukarno goyah juga atas “informasi” yang lebih dekat dengan “bualan” itu.

Sukarno akhirnya mau ikut asal Hatta juga mau. Dengan cepat, Sukarni menyambar, “Sudah, Bung!” Bung Hatta setuju.”

Padahal, ya, nyatanya belum. Barulah setelah Sukarno luluh, Sukarni berangkat menaklukkan Hatta dengan cara yang sama ia melumpuhkan nalar Sukarno. Hatta yang mula-mula tampak kukuh disumpal sebaris kalimat Sukarni, “Sudahlah. Ini sudah menjadi keputusan kami dan tidak bisa dipersoalkan lagi. Apalagi, Bung Karno sudah oke. Bung ikut saja.”

Lalu, lahirlah Rengasdengklok. Apa isi Rengasdengklok? Kosong. Sepanjang hari 16 Agustus hanya diisi dengan duduk-duduk saja Sukarno dan Hatta. Juga, kedongkolan Fatmawati yang turut membawa bayinya dengan tanpa persiapan.

Seperti itulah prosesi bagaimana negeri ini dilahirkan. Mula-mula dengan cara rasional hingga di tengah jalan yang krusial, ya, berserah ke “batu pualam” juga, ke “ilmu isyarat” ala Sukarni. 

Hal itu tecermin dari teks proklamasi yang dibuat tergesa-gesa, dengan pikiran yang kusut karena badan lelah diisap perjalanan sia-sia ke Rengasdengklok. Nyaris debat hebat di BPUPKI tak termanifestasi dalam naskah Proklamasi yang dibacakan di Pegangsaan Timur itu.

Tanggal 17 Agustus yang ditetapkan sebagai hari lahirnya bangsa baru ini, oleh karena itu, gabungan dari Rengasdengklok dan Pegangsaan Timur. Percampuran antara klenik batu kecil pualam yang keluar dari saku Sukarni dan ketergesa-gesaan. Inilah negeri yang didirikan dari campuran klenik dan rasionalitas yang rapuh. Rengasdengklok, lalu Pegangsaan Timur, adalah monumen tentang hal itu. Kita mewarisinya.

*Pertama kali dipublikasikan Harian Jawa Pos, 13 Agustus 2022, H. 4