Mari kita mulai pada kalender 2008 tatkala mesin cetak buku merek Toko datang pertama kali ke Nologaten. Bagi lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta ini, Nologaten di Depok, Sleman, yang menjadi rumah mesin-mesin bekas itu bukan sekadar alamat percetakan, tetapi juga dari mana semua memori masa kecilnya terpupuk.
Mesin cetak Toko itu oleh dirinya tersebutkan sebagai tapal paling awal lahirnya sebuah percetakan buku bernama Fajar Utama Offset. Toko itu adalah tonggak setelah ia melewati gemuruh, up and down-nya dunia penerbitan dan percetakan yang ia kelola berkongsi dengan yang lain-lain.
Pada 2008, ia ingin mendirikan usaha sendiri. Sisa uang yang ia punyai sebisa mungkin ditukar dengan alat produksi. Sesederhana apa pun itu. “Tanpa alat produksi, kita bisa apa,” katanya.
Di tahun awal itu, ia masih berambisi seperti sebelumnya. Jadi pencetak juga, jadi penerbit juga, jadi pemasar buku juga.
Tidak salah, sih. Ketiganya ia punya ilmunya, setidaknya pernah ia suntuki. Di percetakan, ia sehari-hari sejak 2001 masuk keluar rumah percetakan.
“Order pertama saya dari Mas Uceng (Zainal Arifin Mochtar, pegiat anti korupsi UGM, pen). Di gerai Kopma UNY, depan kantor redaksi Persma Ekspresi, Mas Muhidin merekomendasikan kepada Mas Uceng untuk menghubungi saya yang paling paham di mana nyetak buku-buku. Ia ingin mencetak biografi ayahnya yang anggota dewan di Sulsel. Saya mencetaknya di Libe Offset milik Pak Lutfi,” kisahnya.
Soal penerbitan? Sudahlah, selain teman-teman mainnya pemain buku indie yang marak sejak 1999, ia juga tergabung dalam banyak rumah penerbitan seperti Melibas.
Bagaimana dengan pemasar buku? Dari lapak kecil hingga melapak dalam skala besar ia juga lakukan.
Hingga 2012, artinya empat tahun, impian punya penerbitan, percetakan, sekaligus distribusi buku ia jalankan dengan sepenuh keyakinan.
Lumbung Kita berperan sebagai pemasaran, Utama Offset sebagai percetakan, dan Lukita sebagai penerbitan.
Pada 2010, ia heran, mengapa omset usahanya tidak pernah lewat dari 10 juta. Ia susah sekali menembus plafon resisten 10 juta itu.
Lama ia berpikir dan pada akhirnya menemukan hidayah, sebuah pencerahan, jadi manusia itu jangan serakah. Mau semuanya.
“Saya tidak fokus. Dengan semuanya, saya tidak bisa berkembang,” ujarnya.
Ia pun memilih, apakah tetap mempertahankan penerbitan, pemasaran buku, atau percetakan saja.
Hatinya berbisik bahwa ia manusia yang sangat suka berhitung.
“Walau saya itu dari Sastra Indonesia, mencetak itu seni menghitung. Seperti mekanik mengutak-atik mesin. Ukuran buku menentukan ketepatan penggunaan jenis mesin. Dan kertas ukuran macam apa yg dipakai. Perlu lelakon. Berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Mencari yang pas. Ilmu laku. Ilmu berjalan,” ujarnya dan kini ia mulai berfilsafat.
Ditambah lagi, hasrat awalnya ketika mengenal dunia buku adalah mengantar naskah-jadi ke percetakan. Itu terjadi bahkan kala ia masih menjadi pemimpin umum di lembaga pers mahasiswa UNY bernama Ekspresi.
Ia pun memutuskan melikuidasi Lumbung Kita dan Lukita. Tersisalah Utama Offset.
Instingnya benar. Bukan insting, sebetulnya. Sebab, keputusan itu lahir dari mizan pengalaman yang panjang, laku satu dekade menjalani hidup dalam dunia perbukuan Yogyakarta.
Konsekuensi dari pilihan itu, ia mesti menambah alat produksi. Alat produksi seadanya segaris dengan nasib omset seadanya juga.
Di sinilah berlaku jiwa pedagang yang orisinal. Berani mengutang. Yang tak berani ngutang, belumlah kaffah jadi pedagang, jadi pebisnis.
Ia lalu menghitung. Dua mesin Toko yang ia punyai dianggapnya sebagai basis. Setelah hitung dihitung, ia perlu membeli mesin Oliver 58. Inilah varian mesin cetak yang paling banyak diterima ukuran buku.
“Makananmu apa, belilah mesin cetak yang tepat,” katanya.
Becermin sebelum 2013, ia dipercayakan konsumen yang juga kebanyakan kakak-kakak tingkatnya di kampus.
Di mesin kalkulatornya, uang, sih, banyak, tapi profit tidak signifikan. Dia lalu sadar kondisi itu terletak karena ketiadaan alat produksi. Jika tidak punya alat produksi ditinggal konsumen lantaran generasi berubah.
“Alat produksi adalah kunci. Tanpa alat produksi, profit sangat rendah, sementara ongkos produksi konsumen naik,” sambungnya. “Jika mau menang, kuasai alat produksi.”
Tetapi, dari mana uang membeli alat-alat produksi itu? Ya, tiada cara lain selain dengan jalan mengutang. Di saat yang sama, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menyebar program kredit usaha rakyat (KUR). Program KUR itu jaminannya sertifikat tanah yang harganya ⅓ dari jumlah utang.
Dengan KUR itu, ia tak hanya membeli Oliver, tapi juga mesin potong dan jahit. Baginya, semakin tidak banyak pekerjaan yang dilempar keluar alias dikerjakan sendiri, omset bisa digenjot.
Ia tak pernah melihat uang pinjaman dari bank itu. Pihak banklah yang membelanjakan kebutuhan ini dan itu setelah ia menunjukkan harga dan di mana mesin itu didapatkan.
Ini fase usaha yang ia sebut sebagai usaha lebih serius karena ada pihak yang turut mengawasi. Pihak bank bukan hanya membelikan, tapi sekaligus membuatkannya surat izin usaha.
Di tahap ini pula, ia memastikan bahwa hobinya hitung-hitungan itu dipertaruhkan. Salah hitung, tak bisa bayar cicilan di bank. Jika itu terjadi, tanah bisa wassalam.
Dan, jalan yang ia ambil benar. Jalan hidup dan tinggal bersama deru mesin segala merek yang sampai tulisan ini dibikin sudah ada 32 mesin dengan segala merek dan peruntukan.
Ia yang dari Sastra Indonesia, kini jadi ahli “Sastra Mesin”. Tak pernah disangkanya bahwa ia bisa sedekat dan seintim ini dengan mesin-mesin. Dalam lingkaran pertemanannya, hanya Umar Tajuddin yang lulusan Teknik Mesin.
Seperti sastra, mesin itu juga menyimpan misteri. Berbicara dari hati ke hati dengan mesin membuatnya selalu rindu dengan suara-suara mesin. Karena baginya, suara mesin yang sudah mengaum dari jam 8 hingga terkadang sampai subuh pertanda uang dan uang.
Tapi, mesin tidak sekadar soal uang. Seperti manusia, ia sehat, tapi juga bisa sakit.
Dengan ilmu permesinan hasil dialog intim sehari-hari, ia bisa mengenali dan mengobati sendiri.
Tapi, terkadang ia menyerah. Pernah suatu kali, ia bersama dua staf kantor yang jauh dari ilmu mesin menyerah dengan kerusakan. Teknisi pun dipanggil. Tetap tak bisa. Ia pun mengambil keputusan, buanglah mesin itu. Mesin itu pun berubah status dari mesin produksi menjadi besi rongsokan.
Justru, di sinilah misterinya. Karena tak lagi ada ketakutan untuk menyentuh mesin itu, dua staf non teknisi itu–sebut saja Santos dan Tugirin–mencoba peruntungan sekali lagi mencari tahu mengapa mesin ini bisa lumpuh.
Eureka.
Ketemu biang keroknya. Tahulah ia, mesin seberat, sekokoh, dan sebesar itu bisa lumpuh hanya karena faktor elektrik kecil. Dalam dunia permesinan, itu yang disebut crack. Retakan kecil yang melumpuhkan.
Menemukan “crack” dalam mesin seperti itu seperti menemukan kata atau metafora tertentu dalam sastra.
“Pesona saya itu dengan mesin seperti sastra karena uang sedang bekerja di sana. Saat mesin itu bersuara, itu semua adalah duit. Duduk tiga menit sambil merokok, mesin berbunyi, itu tandanya ada kehidupan usaha bekerja. Saat mesin jalan, di situ ekonomi dan perusahaan sedang sehat,” tuturnya.
Sebaliknya, tatkala mesin cetak berhenti karena satu dan lain hal, semua mesin yang lain ikut terdampak. Di situlah ia tahu bagaimana antara satu dan mesin saling tergantung. Seperti kehidupan sosial kita. Di situ, ia temukan bagaimana mesin itu bermusyawarah. Juga saling negosiasi dan menikung.
Contoh, tatkala mesin CTP (computer to plate) tidak jalan, berdampak kepada mesin berikutnya, yakni mesin cetak yang pasti tidak beroperasi. Mesin cetak tergantung pada plat. Atau, saat mesin cetak yang ngambek, berimbas pada nganggurnya mesin bending. Terus merembet ke mesin potong yang nganggur, mesin laminasi anteng, mesin jahit benang dan kawat diam, hingga mesin plastik ikut rebahan karena tak ada yang dikerjakan. Semua mesin saling berkait satu dengan lainnya.
Sekali lagi, ada 32 mesin yang menjadi anggota keluarga Utama Offset. Termasuk, mesin print on demand (POD) merek Xerox 700i untuk warna dan C70 mesin print warna, juga Canon 2 unit untuk cetak hitam putih.
Pada mesin-mesin ini, ia menjalankan rutinitas hidup. Dulu, saat masih dalam rintisan, biasanya ia sudah bertemu mesin-mesin itu pada jam enam pagi dan baru pulang ke rumah pukul dua dini hari.
Untuk pakan mesin-mesin itu, ia berlangganan listrik dengan menghabiskan bujet lebih kurang 9 juta untuk 83 ribu watt.
Semuanya terkumpul di rumah belakang rumah orang tuanya yang terbeli saat 2018 dengan jalan dicicil.
Tak lupa ia menegaskan, tanah tempat mesin-mesin itu bekerja juga sangat penting karena bisa menggerus omset dan membangkrutkan usaha. Dan yang terpenting pula, suara mesin yang mengaum tiap waktu itu “berdamai” dengan lingkungan sekitar. Maklumlah, kedudukannya sebagai the local youth.
Saat inilah kondisinya saat ia tak lagi pening kepala kalau ada pelanggannya mengemplang. Dulu, saat mesin-mesin jauh dari hayat usahanya, lima juta saja gagal bayar dari pelanggan, ia bisa jalan sempoyongan.
Dulu, saat mesin-mesin minimum jumlahnya dalam kehidupannya, 80% produksi buku dikerjakan di luar.
Sehebat-hebatnya menghitung, jika situasinya seperti itu, tetap omset kecil.
Tapi, mesin saja tidak cukup. Faktor gulung tikarnya usaha cetak adalah pengelolaan SDM. Jadi, bukan karena kekurangan order, melainkan. kesalahan manajemen. Ketaktelitian dalam menghitung pengeluaran. Mungkin receh, tapi kalau rutin, bisa membangkrutkan. Ingat adagium lama, kebocoran sedikit bisa menenggamkan kapal besar.
Ia lalu memberi ilustrasi orderan cetak buku dengan bujet 10 juta. Menurutnya, mencetak buku itu kertas yang menjadi bahan baku memakan persentase terbesar, 45%. Bila kita memakai mesin sendiri, kita mendapat 65%. Angka itu dipecah lagi, 35% habis untuk belanja tinta, listrik, dan gaji. Kita bisa profit 20% jika tak ada kesalahan produksi yang membuat percetakan mengganti.
Dulu, ia tak pernah bisa untung seperti itu. Kalaupun iya, pastilah konsumen yang terbebani karena dipaksa membayar harga mahal. Lain cerita jika buku proyek.
Demikianlah, ia menginsyafi prinsip berusaha bahwa, “Jika ingin hidup panjang, berkomitmenlah pada penghargaan pasar. Dunia cetak itu dunia pasar. Walau teman saya punya proyek dari pemerintah, tetap mereka saya hargai seperti pasar alias saya tidak mengambil persenan yang mencekik mereka.”
Jika mesin telah menjadi kehidupan sehari-harinya yang kini, menjadi basis ekonomi utamanya, dunia unggas, dunia ayam-ayaman membuatnya seperti pulang ke ranah asal.
Ia ingat, ayam adalah latihan dasar awalnya di masa diniyah bagaimana praktik merawat. Jadi, sedari kecil, ayamlah yang melatihnya bahwa merawat adalah bagian inheren dalam kehidupan.
Menyapu kotoran ayam dalam kandang menjadi pelajaran pertamanya tentang usaha yang dirawat yang kini ia praktikkan pada mesin-mesin. Beternak mesin sejatinya adalah kerja merawat.
Kini, di belakang rumahnya di Purwomartani, ia menyewa lahan milik desa. Di sanalah ia membangun rumah-rumah ayam, kamar-kamar unggas. Bedanya, di Nologaten, di rumah masa kecilnya, ia merawat ayam kampung–juga burung dara/merpati–di Purwomartani, ia merawat unggas-unggas berharga puluhan juta.
Seperti masa kecilnya dengan ayam-ayam, ia tak terbiasa dengan dunia blantik, dunia makelar ayam. Induk unggas-unggas berharga selangit itu ia beli memang. Misal, sepasang merak ia beli dengan harga seperti motor Nmax. Bervariasi. tetapi antara 20 sampai 50-an juta.
Selanjutnya, ia menjadi konduktor merawat dan mengikuti proses bagaimana unggas-unggas itu, bagaimana ayam-ayam itu bertelur, lalu telur itu menetas dan menjadi makhluk baru. Itulah kebahagiaan tertinggi menurutnya. Ah, betapa berbunganya hatinya saat telur-telur itu bergerak, retak, dan paruh makhluk baru itu keluar perlahan-lahan. Krak.
Saat pandemi menggasak, boleh dibilang ia lebih banyak berdiam di belakang rumah. Ia mengamati dan mempelajari pola dan tingkah laku ayam-ayam itu, unggas-unggas itu.
Ia ingat bagaimana ia pertama kali masuk dunia unggas hias ini via grup media sosial. Ia juga belajar otodidak di YouTube. Atau, berkenalan dan silaturahmi dengan tetangga se-kota, lalu antar kabupaten.
Seperti mesin-mesin pencetak buku yang bernama, di kandang unggasnya, ada banyak varian ayam. Sebut saja, golden pheasant yang bermula dari sepasang kini dengan melewati tangan dinginnya saat ini sudah 20-an pasang.
Ada pula silver pheasant, lady amres pheasant, maupun ring neck pheasant yang ia sebut sebagai pendeteksi gempa.
Untuk kelompok merak, ia memiliki merak putih, merak blorok, dan merak biru. Yang lain-lain ada ayam jenis american silky maupun ayam white-faced black spanish.
Jangan lupa, ada ayam-ayaman jenis satpam bernama kalkun.
Dari kehidupan unggas inilah ia belajar tentang arti kebahagiaan dan penantian. Juga, bagaimana perasaan waswas bekerja.
Ternyata, demikian ia bercerita dengan sangat lancar, merak itu hanya bertelur setahun sekali. Itupun jelang musim dingin. Jika unggas nyaman dengan rumah tinggalnya, satu musim bisa menghasilkan 30 telur. Tapi, terkadang hanya ada lima. Menurutnya, itulah misteri dalam kandang ternak. Di kandang sini sukses pheasant, tetapi di sana merak.
Baginya, tahun 2022 adalah tahun keberhasilannya beternak pheasant karena limpahan telur fertil. Tahu berapa harga telur fertil pheasant? 250 ribu sebutir Anakan 1,5 juta rupiah sepasang, sementara remaja 2,5 juta.
Kebahagiaan meneropong telur dengan cahaya dan bila terbukti fertil, sekali lagi, menurutnya, tak terkatakan kebahagiannya. Betapa bermaknanya hidup selama proses menunggu telur itu jadi makhluk, betapa bermaknanya perjalanan usaha dari rumah mesin ke mesin tetas unggas.
Waswas paling mengerikan, kata dia, adalah ketika menggabungkan ayam. Bisa digabung, tapi perlu pengawasan ketat. Pernah peliharaannya mati lima karena kepalanya dimangsa kawannya dalam koloni. Dari situ ia jadi tahu bahwa ada unggas berkarakter penakut, dominan. Ada yang ditakdirkan untuk jadi perisak. Ada yang selamanya jadi korban.
Perhatian penuh ia percayai jadi vaksin alami untuk unggas-unggasnya. Cinta tanpa batas adalah vaksinasi yang dahsyat. Tiga tahun hidup bersama unggas di belakang rumah, tak sekalipun ia memberi vaksin. Tak ada dokter hewan yang masuk ke kandangnya.
Sebab, terkadang kematian merak yang berharga itu menjadi penting sebagai pelajaran hidup.
“Saya panik menemukan merak mati lima. Panik. Kena bakteri. Kebiasaan makan yg tidak sama. Mungkin stres dengan tempat. Kita belinya dari kandang yang terbiasa luas, diletakkan di ruang sempit. Stres. Pindah kandang stres. Saat stres tak mau makan. 10 hari saya pernah menyuap,” kisahnya.
Dengan riang, ia menceritakan pheasant miliknya yang belum ada statistik kematian karena sakit. Sekali pernah, tetapi karena bertarung.
Pada unggas dan mesin, ia bisa berkisah tentang apa arti waswas.
Di percetakan buku, rasa waswas itu terjadi pada momentum mempertahankan hasil yang konsisten. Patokannya adalah pengeleman, pemotongan, lalu isi cetakan (tinta). Di fase-fase itu terdapat potensi untuk tidak konsisten.
Waswas yang lain adalah saat mesin ngadat, tak ada spare part, sementara pesanan melimpah.
Seperti mesin-mesin cetak buku, pada unggas pun waswas yang sama juga berlaku.
Termasuk pertemuan keduanya. Serupa sastra, dalam dunia mesin dan unggas, terdapat keindahan. Ada lango. Kalangwan.
Bukankah hidup juga seperti itu, seperti mesin yang mengairi usaha, seperti unggas yang memanjakan mata dan indera dengar?
Ada waswas, ada pula keindahan. Itulah perikehidupan yang disebut kalangwan; saat mesin menderu, saat merak jantan putih seperti malaikat merentangkan bulu-bulu putihnya untuk mendapatkan balasan cinta. Itu. ****
#TemankuOrangBuku
