Perkenalannya dengan buku justru dimulai dengan dendam. Semuanya bermula saat ia lulus dari SMA Negeri 1 Kasihan, Bantul, lalu masuk dan diterima di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi UGM.
Di sana ia menemukan diri sebagai mahasiswa dengan ekonomi keropos. Langkah pertama dilakukannya sebagai mahasiswa berbalung kere adalah memburu beasiswa. Sesuai dengan status ekonominya, beasiswa yang bisa ia dapatkan dalam perburuan itu, ya, beasiswa keluarga tidak mampu.
Karena ekonomi yang demikian itulah ia tak pernah bisa beli buku-buku daras perkuliahan seperti Pengantar Akuntansi, Auditing, Manajemen Keuangan, Anggaran 1, Anggaran 2, dan lain-lain. Apalagi, semua buku itu tebal dan tentu harganya sangatlah mahal.
Ia mengikuti semua upacara perkuliahan itu semata bagaimana ia mendapatkan kerja. Kerja yang real. Kerja yang nyata. Walau kuliah di bidang hal-hal terkait dengan keuangan, ia sama sekali tidak percaya dengan dunia pasar modal. Walaupun, ia mendapatkan studi itu dan berpraktik dalam bentuk simulasi di kampus AA YKPN. Di kampus itu, ada “mesin saham” di mana mahasiswa bisa belajar.
“Gak nyata, jadinya saya gak tertarik. Menghitung keuntungan dari selisih harga. Jadinya kek judi. Selain itu, saya tidak punya modal untuk masuk,” katanya.
Sampailah ia berjumpa dengan buku Poor Put Dead Rich Dad karya Robert T. Kiyosaki. Buku itu mengguncang jiwanya dan sekaligus mengubah pola berpikirnya. Ia memutuskan untuk tidak mau menjadi pegawai negeri.
Layar menjadi pengusaha dibentangkan. Tetapi, usaha apa?
Di kampungnya, Desa Gathak, Gabusan, Sewon, Bantul, ada koperasi yang mau mengeluarkan biaya untuk membantunya menjadi pengusaha ayam petelur dan potong. Ia hanya perlu menyediakan lahan saja, sementara semua pembiayaan pembangunan kandang dan ketersediaan bayi ayam atau DOC ditanggung koperasi desa.
Tetapi, usaha itu mati di atas kerja rencana. Tidak ada realisasinya. Setelah bertanya ke pengusaha yang sudah jalan, sistem ala koperasi di Desa Gathak itu, bila untung sangat sedikit. Sebaliknya, bila rugi, sangatlah besar. Sistem itu mencekik peternak atau mereka yang terjun serius ke dalam bisnis poultry ini.
Ia pun disuruh mandiri. Tetapi, mandiri bagaimana, sementara ia tak punya modal. Soal bisnis ayam petelur dan potong itu ia simpan dulu di kepalanya.
Konsentrasi utamanya adalah memburu modal dengan cara bekerja menjadi pegawai. Apa boleh buat, pernyataan awalnya emoh jadi abdi setelah membaca buku Robert Kiyosaki itu dicampakkannya karena ia miskin.
Perburuan kerja pun dimulai. Demi menjadi pengusaha ayam, ia memasukkan map-map ke beberapa perusahaan. Termasuk, ke BNI 46 yang berkantor besar di Km 0 Yogyakarta.
DI BNI, ia dites hingga tahap akhir. Saat calon tinggal enam orang yang tersisa, ia pun terlempar karena pertanyaan apakah ada saudara yang bekerja di bidang perbankan. “Saya jawabnya gak punya. Gagallah saya. Oh, harus punya saudara ternyata kalau bekerja di perbankan itu. Tujuannya karena pegang uang,” ceritanya.
Ia tak menyerah. Di Baciro, ia bertemu dengan sebuah perusahaan jasa periklanan. Namanya Galang Titian Kreasi. Untuk bisa diterima, ia mesti melewati wawancara Butet Kartaredjasa. Ia baru tahu kemudian betapa kagumnya Butet karena ada lulusan UGM yang mau mendaftar di perusahaannya.
Sebelum ia masuk dan bergabung, akuntan yang ada adalah Julius Felisianus. Inilah sosok yang menjadi cikal bakal membawa Galang Press ke puncak pencapaiannya dalam hal penjualan buku.
Ia menjadi saksi dari pecah kongsinya usaha ini akibat untrust dalam penggunaan uang, manajemen kas yang tak terkontrol. Di tahap ini, lini penerbitan Galang Titian Kreasi mulai dibangun.
Berdirinya lini penerbitan Galang Press karena Yayasan ingin membukukan semua kegiatan yg dibiayai Ford Foundation. Selain Galang Press, dibuat juga Galang Printika sebagai usaha di bidang cetak. Nah, sebagai akuntan lulusan UGM yang memeriksa, dana hibah Ford inilah yang ia temukan banyak status pengunaannya bersifat prive. Ada ketakseimbangan keuangan yang menyebabkan ketimpangan.
Karena banyak prive yang keluar itulah Butet memutuskan tiga lini usaha itu–penerbitan, percetakan, periklanan–berdiri sendiri-sendiri agar keseimbangan keuangan divisi bisa dikontrol.
Ternyata, setelah berdiri dan berjalan sendiri, Galang Press sehat, Printika sehat. Justru, bagian advertising sakit. Sementara, bantuan hibah untuk Yayasan diputus oleh Ford Foundation.
Perpecahan pun tak terelakkan. Ia memilih ikut Julius ke Galang Press karena “dendam lama”. Ia yang fakir buku sejak mahasiswa ingin bekerja justru membuat buku. Ia ingin berkontribusi dalam dunia buku. Baginya, Julius adalah guru utamanya dalam hal cara berpikir dan menjalankan usaha. Di matanya, sangat tertata dalam manajemen. Ditambah lagi, relasinya dengan penulis juga bagus.
Di fase inilah ia berjumpa dengan pengalaman yang tak terlupa saat menerbitkan Jakarta Undercover. Waktu itu, ia menjadi kepala divisi promosi dan diminta Julius untuk turut bertanggung jawab jika “ada apa-apa” karena buku karya Moammar Emka ini masuk kategori “sensitif”. Buku berisiko tinggi. Saking berisikonya, penulisnya sudah menawarkan ke banyak penerbit, tetapi selalu ditolak.
Tanpa pikir panjang, ia menyanggupi. Setelah buku terbit dengan percobaan–sebanyak 300 eksemplar–ia mulai menjalankan tugasnya sebagai orang pertama yang mengetuk pintu gudang satu demi satu distributor dan toko buku.
Ia berkisah bagaimana dengan menggunakan kereta api membawa 30 eksemplar Jakarta Undercover dengan tujuan utama tiga toko utama Gramedia di Jakarta: Gramedia Matraman, Gramedia Mall Taman Anggrek, dan Gramedia Bintaro.
“Baru diletakkan di Matraman, belum sampai ke Taman Anggrek, buku 10 eksemplar langsung ludes. Ditelepon Matraman, buku habis. Kembali ke Matraman, semua sisa dikasih aja,” ceritanya.
Respons yang sangat baik itu ia ceritakan kepada Julius dengan hati berbunga. Bahwa, pasar bereaksi positif. Buku yang ia bawa 30 eksemplar langsung habis. Ia pun memberanikan diri mengusulkan untuk cetak ulang. Sementara itu, Gramedia sendiri melakukan kontak langsung ke Julius.
Buku pun dicetak lagi 3 ribu eksemplar. Lalu, tiga tiga bulan kemudian Jakarta Undercover sudah tercetak 100 ribu eksemplar.
“Gila, ‘kan. Kepala toko Gramedia saja antre di Galang Press mendapatkan buku itu,” ujarnya.
Ia ingat bagaimana ketika ia membaca buku Jakarta Undercover pertama kali. Instingnya membimbingnya pada kesimpulan buku ini bakal laku. Ini buku yang bagus. Informasi di dalamnya, kata dia, banyak yang masih tertutupi. Betapa, menu seks di Jakarta itu luar biasa ragamnya. Dia merasa masih buta aksara soal itu.
Sukses Jakarta Undercover, Galang Press mencoba peruntungan ke buku yang sejenis dengan topik yang lebih tabu. Soal LGBT. Buku Merlyn Sopjan berjudul Jangan Lihat Kelaminku seperti palu yang menggedor tabu. Dunia waria adalah sesuatu yang abu-abu.
Sebagaimana Jakarta Undercover yang dijajakan dari kota ke kota, buku Merlyn juga diperlakukannya sama. Berkeliling Jawa. Bahkan, penulisnya diundang sebagai tamu di salah satu televisi swasta nasional dalam program “Good Morning”. Ia ingat betul topik perbincangan saat itu adalah “Tiga Waria Menguak Takdir”. Satunya Merlyn, sementara dua lainnya adalah waria berjilbab.
Sukses dari booming buku seks dan tabu itu, ia diangkat menjadi manajer pemasaran. Selama ia memegang posisi ini, omset naik sangat tinggi. Penjualan buku markotop.
Sampai di situ ia sadar bahwa itulah puncak kariernya di Galang Press. Dari sewaktu dulu sulit, sekarang sudah mudah. Bahwa, terlalu mudah mengerjakan promosi buku. Banyak buku best seller. Baginya, itu membosankan.
Sampailah ia pada momentum tertentu mewakili Galang Press terlibat dalam pameran buku sebagai panitia di IKAPI Jogja pada 2005.
Selama dua tahun berkecimpung di dunia pameran buku IKAPI ini, ia gelisah. Mengapa pameran hanya diselenggarakan di kota besar. Kenapa tak ada di kota kecil. Sebab, ketika pameran, buku terjangkau bagi mahasiswa kere pemburu beasiswa sepertinya. Pameran adalah momentum buku “berharga bagus” mudah ditemui.
Kegelisahan itu membatu menjadi sebuah tekad bahwa “manusia daerah” harus mendapatkan hak mengakses buku. Bukan lewat keberadaan perpustakaan daerah, melainkan pameran buku dengan kualitas buku yang sama dengan yang dipamerkan di kota-kota besar “langganan pameran buku” oleh penerbit yang sama juga.
Ia pun mengajukan ke Galang Press untuk membikin divisi pameran buku. Sayang, tidak disetujui.
Dengan berbagai pertimbangan, terutama karena sudah berada di puncak performa sebagai manusia pemasaran di Galang Press, ia pun memutuskan mengundurkan diri. Lalu, ia belajar di lini usaha pemasaran Buka Buku Production yang merupakan patungan dari Galang Press, Agro Media, Penebar Swadaya, dan Media Pressindo. Buka Buku inilah yang berwujud Patjar Merah saat ini.
Setahun ia “magang” sebelum benar-benar membikin usaha sendiri yang kemudian ia namakan 3G Production.
Tujuan 3GP jelas agar ia bisa membawa ratusan kardus dari ratusan penerbit secara bebas ke daerah-daerah. Tekadnya sudah sampai pada tahap implementasi bahwa semua kota/kabupaten memiliki atau pernah berpameran buku. Jika di Buka Buku Production pilih-pilih kota dan hanya kota besar yang disinggahi, 3G Production berkebalikan. Makin tak diminati, makin penasaran untuk dimasuki.
Baginya, sebagai akuntan dan sekaligus pelaku perbukuan, pameran buku di daerah itu sekadar bisa jalan, bisa hidup. Jika biayai operasional tertutupi oleh pihak pemerintah daerah sudah lebih dari cukup. Yang lain-lain adalah bonus. Meraup keuntungan sebesar-besarnya bukan wataknya. Asalkan semua penerbit bisa hidup dari pameran yang 3GP jalankan, sudah lebih dari lumayan.
Tak pernah ia lupakan, pameran daerah pertama kali diselenggarakan 3GP dalam rangka “Nusantara Berpameran Buku” dimulai di Purwokerto pada akhir 2007. Mula-mula, ia menghubungi dinas perpustakaan, meminta dukungan anggaran berupa fasilitas gedung gratis. Omset pameran pertama itu memang tidak meledak. Yang penting, itu tadi, masyarakat senang dan tahu bahwa ada buku masuk kota/kabupaten.
Yang paling seru dan responsnya luar biasa adalah Kota Semarang. Selama sembilan tahun, dua kali setahun, ia mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Aneh juga baginya IKAPI tak pernah masuk ke kota besar ini. Mungkin dianggap “tidak potensial” secara literasi. Malah IKAPI Jawa Tengah lebih memilih Solo sebagai lokasi pameran.
Pameran buku di mana lagi yang paling berkesan dan tak bisa dilupakan, seperti sulitnya medan pengiriman buku?
Ya, yang tersulit adalah Berau di Kalimantan Timur. Kota ini berbatasan langsung dengan Kalimantan Utara. Sudah dua kali 3GP berpameran di Berau.
Untuk menuju lokasi, kendaraan biasa tak bisa sampai karena jalan darat di Berau belum beraspal. Pengiriman buku tergantung cuaca. Jika seminggu itu cuaca cerah, pengiriman buku lewat lima truk kontainer besar bisa sampai. Tetapi, jika hujan, buku bisa berminggu-minggu tertahan karena menunggu jalan kering.
Agar tidak habis diongkos, pameran di Berau itu seperti rantai pameran. Tidak hanya fokus di satu kota, melainkan kota-kota lain yang disinggahi. Sekali mendayung, empat kota pameran sedapat mungkin dilaksanakan. Jika berangkat dengan 15 truk, sedapat mungkin pulangnya tinggal separuhnya terangkut.
Maka, seusai dari Berau, pameran juga dilangsungkan di Bontang, Samarinda, lalu menyusul Balikpapan.
Dengan demikian, selama setahun buku tidak kembali ke Jawa, melainkan berputar di kota/kabupaten yang saling kait-mengait. Dalam hal ini, Pulau Kalimantan.
Mungkin perusahaan distributor buku dan perusahaan yang bergerak di pameran buku tak pernah mengalami apa yang menimpa 3GP. Yakni, kapal buku yang terbakar.
Ia bercerita, waktu itu, truk kecil yang memuat buku tambahan dari Jawa juga turut membawa barang kerajinan. Alasannya, supaya hemat. Ini hanya buku “repeat order” untuk pameran di Sampit dan berlanjut ke Pangkalan Bun. Sesaat sebelum kapal yang mengangkut truk berlabuh di Banjarmasin, kapal terbakar bersama lima truk buku.
Itulah kisah Hinus O.S. perihal upayanya melihat Nusantara berpameran buku. Jauh sebelum Penajam Pasir Utara dijadikan Ibu Kota Nusantara, ia sudah berpameran buku di sana. Jika Anda mengenalnya sebagai panglima perang pembajakan buku di Yogyakarta, ada yang lebih menggetarkan darinya: membawa buku hingga ke pelosok-pelosok daerah yang selama ini tak terbayangkan ada pagelan pameran buku di sana.
Saya pun memintanya menyebutkan kota-kota kabupaten maupun kecamatan yang pernah ia dan 3GP singgahi. Sembari menutup mata dan sesekali kedua tangannya menggenggam selangkangannya yang masih sakit akibat “turun berok”-nya belum lama diganyang dukun peler di Madukismo, Kasihan, Bantul, ia mengeja satu demi satu kota Nusantara yang masuki bersama bertruk-truk buku:
Bontang
Samarinda
Banjarbaru
Penajam Pasir Utara
Pangkalan Bun
Sampit
Palangkaraya
Kuala Kapuas
Singaraja
Pangkalpinang
Belitung
Prabumilih
Palembang
Metro
Pringsewu
Serang
Tasikmalaya
Jatinangor
Garut
Purwokerto
Kebumen
Purworejo
Indramayu
Tegal
Pekalongan
Rembang
Pati
Nganjuk
Ngawi
Madiun
Ponorogo
Malang
Probolinggo
Bojonegoro
Jember
Blitar
Majalengka
Kepanjen
Kediri
Pare
Sragen
Muntilan
Gresik
Pasuruan
Banyuwangi
Situbondo
Dari daftar kota-kota itu, ia sudah mencanangkan bakal memasuki pulau-pulau seperti Nusa Tenggara, Papua, dan Sulawesi.
Baginya, biarpun hernia menyakitinya secara terus-menerus, biarpun “turun berok” mengadangnya, Nusantara Berpameran Buku tak pernah tercabut dari pikirannya.
Sakit “turun berok” itu, katanya mengibaratkan, seperti sakit gigi yang berpindah di ujung k*nt*l. Tapi, ada yang lebih menyakitkan dari itu semua, yakni Indonesia yang timpang dalam persebaran buku. Apa yang dilakukannya adalah salah satu jalan kecil yang dilakukan dengan konsisten.
Jadi, jika di kotamu yang tak pernah ada sebelumnya ramai-ramai pameran buku, kini tiba-tiba ada, tandai bahwa kemungkinan Hinu O.S. dari Yogya telah tiba bersama bertruk-truk buku. ****
