“Kerstening Politiek” dan Ratulangi

Tiap Natal tiba, salah satu yang rutin tersuguhkan adalah kekuatan tribal yang terus menggerogoti kekudusan ibadat. Intoleransi dan terorisme atas nama Islam tiba-tiba membubung, lalu lesap dengan bergantinya tahun. Diulangi lagi di pamungkas tahun berikutnya. Terus saja begitu.

Tentu saja, fenomena ini bukan terjadi dengan sendirinya. Ia bukan sesuatu yang tiba-tiba ada. Ini sesuatu yang laten, sesuatu yang datang dari masa yang jauh.

Ormas-ormas Islam semacam Sarekat Islam (1912) dan Muhammadiyah (1912) muncul ke permukaan dan mengeras kepada kolonial salah satunya lantaran “kerstening politiek” yang ditiupkan dari Istana Risjwijk atau Istana Merdeka saat ini.

Karstening politiek itu bagian dari politik kanan Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg. Arus kristenisasi seperti air bah itu mendapatkan penentangan di akar rumput.

Kerstening politiek atau politik zending (misionaris) yang masif di kota-kota besar Pulau Jawa mengonsolidasikan kekuatan pedagang Islam. Salah duanya Sarekat Islam dan Muhammadiyah.

Untuk kasus Muhammadiyah, silakan dibuka buku disertasi Alwi Shihab yang dari judulnya saja sudah terang benderang misinya: Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia.

Tapi, bagaimana dengan Sarekat Islam. Di sinilah kita berjumpa dengan brosur yang ditulis pemuda Indonesia asal Tondano yang berusia 23 tahun yang sedang kuliah di Amsterdam, Sam Ratulangi. Judul brosurnya sederhana, Sarekat Islam.

Brosur yang ditulis dalam bahasa Belanda dan dipublikasikan pada 1913 ini pernah diresensi dengan sangat baik oleh T.H. Sumartana (1997) dan dimuat kembali di buku Cahaya di Timur Merambah Pasifik.

Nama Sam Ratulangi memang tak terlalu terkenal di kalangan pemikir Kristen, seperti J. Leimena maupun Arnold Mononutu. Tetapi, brosurnya tentang Sarekat Islam adalah jawaban bagaimana mestinya sikap kalangan internal kalangan Kristen yang sewaktu pemerintah kolonial berkuasa sangat kuat mendapatkan privilege luar biasa.

Alih-alih berpandangan ultra kanan untuk menggasak dan “bersih jalan” kepada seluruh penentang politik zending, Ratulangi melihat Sarekat Islam adalah wajah baru politik kebangsaan, baik dari sisi ekonomi maupun keagamaan.

Sam Ratulangi sudah mengintrodusir bahwa agama kontra agama adalah produk propaganda kolonial. Dan, kontradiksi ini sangat menakutkan. “En krijgen wij de situatie: Islam tegen niet-Islam,” tulis Ratulangi.

Disebut menakutkan karena dalam Islam tak ada pemisahan yang tegas antara politik dan agama. Geen scheiding van godsdienst en politiek.

Maka dari itu, Ratulangi tak mau mengikuti arus utama permainan kerstening politiek dan ketakutan atas Islam yang sangat berlebihan, seperti dilakukan Van Haastert. Redaktur koran HNDVNI ini secara terang benderang meminta Idenburg untuk tidak bersifat lembek terhadap gejala Sarekat Islam yang disebutnya sebagai veelkoppige hydra, ular berkepala banyak yang berbahaya.

Ratulangi menyodorkan proposal untuk melihat kekuatan Islam sebagai pembebas dari keterhinaan sebagai manusia. Mereka tak ubahnya “hewan penanggung beban”, zoo echt inlandsch.

Pandangan mesianistik Ratulangi tahun 1913 ini menjadi kenyataan bagaimana bandul dan langgam politik Islam bergerak ke titik sebaliknya.

Sarekat Islam terbukti menjadi pemanggul utama pergerakan nasional. Ormas ini memasok kader-kader terbaik untuk berlaga di garis depan perjuangan.

Mereka memang bereaksi atas politik kristenisasi. Tetapi, kata Ratulangi, ada yang lebih patut dikedepankan dari kehadiran ormas seperti Sarekat Islam–termasuk Muhammadiyah. Yakni, mengangkat derajat bumiputra yang teramat hina dalam struktur politik identitas kolonial.

Galur pemikiran Ratulangi ini kelak kita temukan dalam politik cendekiawan Kristen yang bahu-membahu untuk memperjuangkan pembebasan nasional. Mereka tersadarkan bahwa Islam tegen niet-Islam tidak saja irelevan, melainkan masuk dalam jebakan politik kolonial.

Demikianlah, Islam versus non-Islam adalah warisan kolonial yang sudah berurat akar di batang otak sejarah kita. Reaksi keras terhadap politik perizinan rumah peribadatan, teror Natal, politik hijab, dan beragam model pertunjukan sosial yang mempertentangkan agama satu dengan lainnya adalah perangkap politik kolonial. Ratulangi sudah memperingatkan bahayanya sejak 1913 lewat brosur.

Bahwa, kristenisasi itu ancaman dalam sejarah adalah real adanya. Tetapi, memutuskan rantai peninggalan kolonial itu juga mutlak diselenggarakan.

Ratulangi sudah mencontohkannya lebih dini saat ormas-ormas Islam itu melayari tahun pertama pembentukannya. Yakni, apresiasi dan menggeser medan tempur ciptaan kolonial, dari segregasi keagamaan menjadi keadilan politik ekonomi.

Kolaborasi untuk pembebasan nasional dari perasaan terhina dan dipapahkan oleh sistem politik sebagai manusia mulia adalah jalan bermartabat untuk memutus rantai kerstening politiek.

Saya kira, tak ada jalan lain. Dan, kita akan terus menyaksikan perayaan Natal sebagai momentum merenungkan martabat kemanusiaan yang tak boleh dirudapaksa oleh sistem politik apa pun di mana di sana Yesus adalah Mesias sang pembebas. Itu. ****

Dipublikasikan pertama kali Jawa Pos, 24 Desember 2022.